PARBOABOA, Jakarta - Sejumlah fakta diungkap Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terkait gempabumi Sumedang, Jawa Barat.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono menyampaikan, fakta pertama bahwa gempabumi di Sumedang ini berjenis gempa ‘kerak dangkal’ atau shallow crustal earthquake.
Ia menuturkan, gempa semacam ini dipicu aktivitas sesar aktif, yang energinya dilepas dan terkonsentrasi pada wilayah lokal.
Meskipun pada gempabumi terakhir bermagnitudo kecil 4,8, namun gempa Sumedang dapat merusak lebih dari 149 bangunan rumah.
Tidak hanya disebabkan kedalaman gempa yang dangkal, episenter gempa kerak dangkal yang terletak di zona tanah lunak dan tebal juga berpotensi memicu resonansi terciptanya amplifikasi atau penguatan gelombang gempa.
Kondisi itu dapat menyebabkan gempa kerak dangkal alias efeknya sangat merusak dan mematikan.
Bercermin Masa Lalu
Beberapa contoh gempa kerak dangkal mulai dari Gempa Cianjur 2022, yang memakan lebih dari 600 orang meninggal dunia. Kemudian gempa Yogyakarta pada 2006 yang menewaskan lebih dari 6000 orang.
Adapun juga gempa Turki pada 2023 yang menewaskan lebih dari 17,000 orang, gempa Sichuan China pada 2008 yang menewaskan lebih dari 70,000 orang.
“Gempa Sumedang memberi pelajaran pentingnya mitigasi konkret dengan mewujudkan bangunan dengan struktur kuat dan Rencana Tata Ruang Wilayah yang aman, berbasis risiko gempabumi,” papar Daryono melalui keterangan tertulis yang PARBOABOA terima, Kamis (11/1/2024).
Selanjutnya pada fakta Kedua, Gempa Sumedang terjadi di zona kegempaan rendah atau low seismicity. Di mana, dalam Peta Seismisitas Jawa Barat, tampak Kota Sumedang tidak memiliki kluster seismisitas mencolok seperti lazimnya di jalur sesar aktif.
Sehingga, Gempa Sumedang mirip Gempa Kalatoa di Laut Flores Magnitude 7,4 pada Tahun 2021, Gempa Talamau pada 2022, dan Gempa Probolinggo magnitude 4,1 pada 2022 di zona seismisitas rendah.
“Gempa Sumedang memberi pesan akan pentingnya mitigasi gempabumi meski di wilayah dengan aktivitas kegempaan rendah,” sambung dia.
Selanjutnya fakta Ketiga, BMKG mencatat sejumlah gempa kerak dangkal meski magnitudo kecil, namun terbukti merusak.
Hal itu seperti Gempa Madiun magnitude 4,2 pada 2015, Gempa Pangalengan 4,2 magnitude pada 2016, Gempa Garut magnitude 3,7 pada 2017.
Selain itu gempa Banjarnegara magnitude 4,4 tahun 2018, Gempa Lebak magnitude 4,4 pada 2018, dan Gempa Kuningan-Brebes magnitude 4,2 pada 2020.
“Gempa Sumedang memberi pesan kepada kita agar tidak mengabaikan setiap gempa kerak dangkal, meskipun magnitudonya kecil,” ujarnya.
Teringat Tahun 1955
Kemudian fakta Keempat, Gempabumi Sumedang diduga perulangan gempa pada 14 Agustus 1955 lalu.
Melihat hal itu, Daryono meminta agar kita tidak melupakan sejarah, atau dalam seismologi dikenal sebagai return period atau periode ulang gempa, atau gempa yang pernah terjadi di suatu tempat, satu saat akan terjadi lagi.
Dengan hal itu, gempabumi Sumedang memberi pesan agar kita mempelajari sejarah gempa masa lalu di daerah masing-masing.
Sehingga, bisa jadi satu saat gempa akan terjadi lagi menghampiri tempat yang selama ini dianggap aman karena ketidaktahuan akan sejarah gempa merusak masa lalu.
“Periode ulang gempa memberi pesan kepada kita akan pentingnya kesiapsiagaan atau preparedness terhadap bencana gempabumi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang,” paparnya.
Adapun fakta Kelima, Gempabumi Sumedang ini disebabkan aktivitas sesar aktif yang belum terpetakan.
Sehingga gempabumi ini mirip Gempa Solok magnitude 5,3 pada 2019, Gempa Ambon magnitude 6,5 pada 2019, Gempa Kalatoa Laut Flores magnutude 7,4 pada 2021, Gempa Ampana Sulawesi Tengah magnitude 6,5 pada 2021, dan Gempa Cianjur magnitude 5,6 pada 2022.
“Gempa Sumedang menjadi ‘human interest’ terkait nama sesar pembangkit gempa,” ujarnya.
Kluster seismisitas ini cenderung berarah Utara-Selatan, sehingga melintasi Kota Sumedang.
Kondisi itu juga mirip dengan sejumlah kota yang dilalui jalur sesar aktif seperti Palu (Sesar Palu-Koro), Sorong (Sesar Sorong), Aceh (Sesar Aceh), Gorontalo (Sesar Gorontalo), Semarang (Sesar Semarang), Lembang (Sesar Lembang) dan lainnya.
“Nama sesar aktif merujuk nama tempat berisiko sehingga memberikan muatan pesan kesiapsiagaan serta edukasi mitigasi gempabumi bagi masyarakat setempat,” tandas Daryono.
Editor: Aprilia Rahapit