CELIOS Soroti Risiko dan Peluang di Balik Kebijakan Menkeu Gelontorkan Rp200 Triliun ke Bank Himbara

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat konferensi pers di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (12/9/2025). (Foto: Dok. CNBC)

PARBOABOA, Jakarta– Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengucurkan dana hingga Rp200 triliun ke bank-bank milik negara (himbara) memantik perhatian publik.

Kebijakan yang diatur lewat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 itu diklaim pemerintah sebagai upaya memperkuat likuiditas perbankan agar penyaluran kredit meningkat dan pertumbuhan ekonomi bisa terakselerasi.

Namun, sejumlah ekonom justru melihat adanya sisi lain yang perlu dicermati dengan hati-hati.

Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic Law and Studies (CELIOS), menilai langkah tersebut belum tentu mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara nyata.

Menurutnya, pemindahan dana pemerintah dari Bank Indonesia (BI) ke bank himbara hanya akan efektif jika memenuhi sejumlah prasyarat ketat.

“Kebijakan ini bisa gagal memberi dampak ke ekonomi jika tidak ada kejelasan dalam implementasi,” ujarnya, Sabtu (13/9/2025).

Bhima menekankan, salah satu masalah utama ada pada ke mana arah dana tersebut akan digelontorkan.

Ia mempertanyakan jenis proyek yang akan dibiayai dengan dana besar itu. Jika dana malah dialirkan ke program seperti Makan Bersama Gratis (MBG) atau Koperasi Desa Merah Putih, risiko yang muncul sangat tinggi.

Terlebih, serapan program MBG hingga saat ini masih di bawah 15 persen, bukan karena kurang anggaran, melainkan lemahnya pelaksanaan di lapangan.

Hal itu menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan tidak bisa diukur dari jumlah dana semata, melainkan dari kualitas program yang ditopang.

Risiko lain yang disorot adalah potensi lemahnya selektivitas bank himbara dalam menyalurkan kredit.

Bhima mengingatkan agar bank tidak terjebak pada praktik moral hazard, misalnya kredit fiktif atau pinjaman ke sektor berisiko tanpa kajian matang.

Ia juga menyoroti kemungkinan dana pemerintah justru lebih banyak mengalir ke sektor energi fosil, ketimbang mendukung transisi energi bersih.

Jika hal ini terjadi, Bhima memperingatkan munculnya fenomena aset terlantar (stranded asset) yang bisa menekan stabilitas keuangan dalam jangka panjang.

Selain itu, ada pula dimensi makroekonomi yang tidak bisa diabaikan. Menurut Bhima, tekanan inflasi memang mungkin muncul, meskipun kecil, sebab distribusi kredit tidak akan langsung terealisasi pada tahun berjalan.

Namun, ia mengingatkan bahaya jika pemerintah mendorong bank untuk segera menggelontorkan kredit tanpa perhitungan.

“Kalau dipaksakan cepat, bank bisa sembrono menyalurkan pinjaman ke sektor berisiko, dan ini berpotensi menaikkan rasio kredit bermasalah (NPL),” jelasnya.

Bhima juga menilai bahwa kebijakan Purbaya lebih banyak mengandalkan instrumen moneter ketimbang fiskal.

Di satu sisi, bank himbara mendapat limpahan likuiditas layaknya “uang kaget”. Namun, di sisi lain, permintaan kredit belum tentu meningkat karena daya beli masyarakat masih menurun.

“Akibatnya apa? Likuiditas berlimpah, tapi pelaku usaha ragu untuk pinjam, karena pasar sedang lesu,” tegas Bhima.

Meski begitu, Bhima tidak sepenuhnya menutup peluang. Menurutnya, jika diarahkan dengan tepat, dana Rp200 triliun tersebut bisa menjadi momentum penting untuk transformasi ekonomi.

Likuiditas tambahan tidak hanya harus difokuskan pada pertumbuhan kredit jangka pendek, tetapi juga diarahkan pada sektor-sektor strategis yang menciptakan lapangan kerja baru.

Ia mencontohkan sektor energi terbarukan, yang menurut proyeksi mampu membuka hingga 19,4 juta pekerjaan ramah lingkungan dalam satu dekade ke depan.

Ironisnya, selama ini porsi penyaluran kredit bank himbara ke sektor tersebut masih kurang dari satu persen.

Karena itu, Bhima menegaskan perlunya regulasi yang jelas dan mengikat agar dana pemerintah benar-benar mendukung misi transisi energi.

Ia mengusulkan agar pemerintah menyiapkan aturan turunan berupa Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur secara spesifik arah penggunaan dana.

Dengan cara itu, kebijakan Purbaya bukan hanya menopang perbankan jangka pendek, tetapi juga bisa menjadi fondasi transformasi ekonomi menuju energi bersih dalam 10 tahun mendatang.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS