PARBOABOA, Jakarta - Polemik seputar pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali mencuat.
Di tengah kebutuhan mendesak untuk menjerat pelaku korupsi dan mengembalikan aset negara yang digelapkan, muncul kabar mengejutkan: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mengambil alih inisiatif RUU yang sebelumnya merupakan usulan dari pemerintah.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia akan mengambil alih inisiasi terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang hingga kini tak kunjung rampung dibahas pemerintah.
Hal ini disampaikannya dalam wawancara khusus bersama ANTARA di Jakarta, pada Senin.
Menurut Supratman, pengambilalihan ini menandakan adanya itikad baik dari parlemen untuk menyelesaikan regulasi yang vital dalam mendukung pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi.
Ia menambahkan bahwa keterlambatan dari sisi pemerintah seharusnya tak menjadi penghalang jika kini DPR bersedia melanjutkan estafet pembahasan.
Supratman mengingatkan bahwa publik sebaiknya bersabar dan menunggu hasil evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas), di mana RUU Perampasan Aset telah terdaftar dalam agenda legislatif jangka menengah periode 2025–2029.
Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa DPR hendak menginisiasi RUU ini dan mengajukannya sebagai prioritas dalam Prolegnas 2026, maka pemerintah sama sekali tidak akan menghalangi.
Ia juga mengungkapkan bahwa Prolegnas Prioritas 2026 akan disahkan sebelum RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, yang berarti ada cukup ruang waktu untuk memproses dan mendorong pembahasan RUU tersebut ke tingkat lebih lanjut.
Dalam pernyataannya, Menkum Supratman menegaskan bahwa proses pengambilan alih inisiasi oleh DPR tak akan menimbulkan persoalan, meski kemungkinan besar mereka akan menyusun draf baru atau menggunakan naskah yang telah disiapkan oleh pemerintah.
Ia menyebutkan bahwa konsep RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah rampung disusun oleh pihak eksekutif, sehingga kini tinggal menunggu tahapan konsolidasi politik di internal parlemen.
Bagi Supratman, yang terpenting bukan siapa yang memulai, melainkan bagaimana seluruh proses legislasi berjalan efektif hingga aturan ini resmi berlaku dan dapat diimplementasikan.
Lebih lanjut, Supratman mengungkap bahwa Presiden Prabowo Subianto secara aktif telah bertemu dengan para ketua umum partai politik untuk membicarakan pentingnya pengesahan RUU ini.
Langkah ini dinilai strategis dalam membangun kesepakatan politik lintas partai yang akan memuluskan jalan pembahasan di DPR.
Mengingat RUU ini berpotensi menyinggung kekuasaan ekonomi dan politik sejumlah elite, konsolidasi tingkat tinggi menjadi mutlak diperlukan.
Dukungan penuh dari Presiden menjadi sinyal bahwa negara serius memperjuangkan agenda perampasan aset untuk menyelamatkan kekayaan negara dari para pelaku korupsi dan tindak pidana lainnya.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil memberikan optimisme bahwa RUU Perampasan Aset bisa saja dipercepat dan dijadikan RUU prioritas tahunan, asalkan fraksi-fraksi di DPR menyetujui hal tersebut dalam rapat paripurna.
Dalam sebuah diskusi daring yang dipantau dari Jakarta pada Kamis 12 Juni lalu, ia menjelaskan bahwa walaupun RUU ini belum masuk dalam prioritas Prolegnas 2025, bukan berarti pemerintah atau parlemen mengabaikannya.
Justru, statusnya sebagai RUU jangka menengah menempatkannya pada posisi strategis untuk disorot dalam tahun-tahun mendatang.
Nasir menambahkan bahwa DPR memiliki mekanisme yang memungkinkan untuk mengubah status prioritas suatu RUU.
Jika ada dinamika politik yang cukup kuat, serta dukungan lintas fraksi, maka pembahasan RUU ini bisa dilakukan lebih cepat tanpa menunggu tahun legislasi yang direncanakan sebelumnya.
Di sinilah muncul celah debat yang patut dicermati: apakah DPR benar-benar memiliki komitmen untuk mempercepat legislasi atau sekadar memainkan isu ini sebagai alat tawar-menawar politik?
Aspek Hukum
Dalam konteks yuridis, urgensi RUU Perampasan Aset merujuk pada kebutuhan untuk memperkuat pengembalian aset hasil tindak pidana, tanpa harus menunggu putusan pengadilan dalam perkara pidana terlebih dahulu—sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selama ini dinilai belum cukup kuat.
RUU ini juga menyinggung perampasan aset tanpa pidana (non-conviction based asset forfeiture), sebuah pendekatan yang diadopsi banyak negara maju tapi masih menjadi bahan perdebatan di Indonesia karena dianggap berpotensi bertentangan dengan asas praduga tak bersalah dan hak atas kepemilikan.
Kritik terhadap RUU ini mencuat dari beberapa kalangan, terutama yang menyoroti risiko penyalahgunaan kewenangan aparat dalam menyita harta tanpa dasar putusan pengadilan.
Di sisi lain, para pendukung menilai langkah ini sangat diperlukan mengingat kompleksitas kasus korupsi yang sering kali melibatkan praktik pencucian uang lintas negara.