PARBOABOA, Jakarta - Jakarta kembali diguncang oleh maraknya aksi tawuran yang menghantui hampir setiap sudut kota.
Laporan Polda Metro Jaya mencatat terdapat peningkatan aksi tawuran pada April 2025 yang mencapai 45 aksi, di mana para pelaku umumnya adalah kelompok remaja.
Bukan hanya menjadi tontonan mengerikan di jalanan, aksi brutal ini juga merambah dunia maya di mana muncul sebagai konten mengerikan di platform seperti YouTube.
Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Pramono Anung, pun angkat suara. Ia mengaku ngeri melihat para remaja bertarung membawa senjata tajam seolah-olah nyawa bukan lagi sesuatu yang berharga.
Pernyataan itu disampaikan Pramono saat meninjau perkembangan Rusun Jagakarsa di Jakarta Selatan pada Kamis (08/05/2025).
Lebih ironis lagi, fenomena tawuran kini bukan lagi sekadar konflik antarwarga atau antar pelajar. Aksi terbaru di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, menunjukkan keterlibatan tiga kelompok berbeda dalam satu bentrokan.
Situasi ini membuat Pemerintah Provinsi DKJ bergerak cepat. Pramono menegaskan bahwa penanganan aksi tawuran antara kelompok remaja tidak bisa dilakukan setengah hati.
Pramono sendiri telah menghubungi Kepala Satpol PP dan meminta mereka untuk tidak ragu-ragu dalam "menindak tegas siapapun yang melakukan tawuran itu.”.
Ia pun secara khusus menginstruksikan Kepala Satpol PP DKJ, Satriadi Gunawan, untuk bekerja lebih proaktif, serta menjalin koordinasi erat dengan pihak kepolisian dalam upaya penindakan.
Namun, ketegasan bukan berarti kebrutalan. Dalam pernyataannya, Pramono menekankan pentingnya pendekatan manusiawi dalam proses penanganan. Ia tidak ingin solusi jangka pendek menimbulkan luka sosial yang panjang.
“Pendekatannya juga harus manusiawi. Karena di sana tadi Kepala Satpol PP juga melaporkan sedang didalami penyebab utama kenapa terjadi tawuran itu,” katanya.
Apa yang ditakuti Gubernur Pramono bukanlah tanpa alasan. Video-video tawuran yang viral memperlihatkan remaja bersenjatakan celurit, pedang, hingga gir motor, saling serang di jalanan.
Bahkan, beberapa di antaranya justru memperlakukan aksi kekerasan itu sebagai ‘konten’ untuk ditonton dan dibanggakan di media sosial.
Dalam laporan yang diterima Pemprov DKJ, penyebab tawuran bukan sekadar soal konflik wilayah atau dendam lama.
Beberapa di antaranya didorong oleh sensasi ingin viral di internet, pencarian identitas kelompok, atau bahkan bentuk pelampiasan frustasi sosial.
Fenomena Sosial?
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ratna Sari, menilai bahwa maraknya tawuran di Jakarta mencerminkan adanya kekosongan ruang ekspresi positif bagi generasi muda.
“Anak-anak muda butuh tempat untuk merasa dilihat dan diakui. Ketika ruang itu tidak tersedia, mereka akan menciptakan ruangnya sendiri, termasuk lewat kekerasan,” ujar Ratna dalam sebuah keterangan, Jumat (09/05/2025).
Ratna menambahkan bahwa penindakan penting, namun harus diikuti oleh program rehabilitasi sosial dan pembinaan karakter di sekolah maupun lingkungan komunitas.
Langkah lain juga diupayakan Pemprov DKJ yang tengah menyusun skema kolaboratif yang melibatkan sekolah, organisasi kepemudaan, dan tokoh masyarakat untuk mengedukasi serta membina anak-anak muda agar tidak terjerumus dalam budaya kekerasan jalanan.
Kepala Satpol PP DKJ, Satriadi Gunawan, mengonfirmasi bahwa timnya tengah memetakan daerah-daerah rawan konflik dan menjalin komunikasi dengan warga setempat untuk deteksi dini potensi bentrokan.
“Tugas kami bukan hanya menindak. Kami juga ingin mencegah, membangun komunikasi, dan hadir di tengah masyarakat sebelum semuanya terlambat,” ujar Satriadi dalam keterangan pada Jumat (09/05/2025).
Satriadi juga berharap agar masyarakat dapat mendukung upaya tersebut dengan bersama memantau, melaporkan dan mencegah aksi serupa. Semua bertujuan untuk mendukung terciptanya keamanan dan ketertiban sosial.