PARBOABOA, Jakarta - Generasi Z (Gen Z) sedang dihadapkan pada ancaman serius terkait kesehatan mental.
Masalah tersebut semakin menjadi sorotan sejak pandemi COVID-19 melanda dunia pada 2019 lalu.
Menurut laporan World Health Organization (WHO), pandemi terbukti secara signifikan memperburuk kondisi kesehatan mental, terutama di kalangan remaja.
Hasil survei Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) pada Januari hingga Juni 2021, menunjukkan 44 persen remaja mengaku merasa sedih atau putus asa hampir setiap hari selama dua pekan atau lebih berturut-turut.
"Lebih mengejutkan lagi, hampir 20 persen dari mereka secara serius mempertimbangkan untuk bunuh diri dalam 12 bulan sebelum survei," tulis laporan tersebut.
Remaja di Indonesia pun diperkirakan menghadapi masalah serupa, meskipun data spesifik mengenai kondisi mereka masih belum tersedia.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebanyak 16 juta atau sekitar 6,1 persen penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental.
Lebih lanjut, survei Indonesia-National Adolescent pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa satu dari 20 remaja di Indonesia mengalami gangguan mental.
Dengan populasi penduduk yang mencapai 275,5 juta, maka terdapat sekitar 13.775.000 orang mengalami gangguan mental atau 5% dari total penduduk Indonesia.
Gangguan kecemasan merupakan masalah kesehatan mental yang paling umum di kalangan remaja, tanpa memandang jenis kelamin atau usia.
Kondisi demikian "sangat memprihatinkan dan membutuhkan penanganan segera," ungkap Ketua Wanita Indonesia Keren (WIK), Maria Ekowati pertengahan 2023 lalu.
Sebab, "hingga kini, penanganan kesehatan mental lebih banyak berfokus pada tahap kuratif, terutama bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)," lanjut Maria.
Ia juga menyoroti kurangnya langkah preventif atau pencegahan. Padahal, model penanganan yang benar seharusnya dimulai dari pencegahan.
Secara umum, kesehatan mental adalah komponen vital dari kesejahteraan individu dan masyarakat, yang mempengaruhi pengambilan keputusan, membangun hubungan, dan membentuk dunia tempat kita hidup.
Kesehatan mental juga merupakan hak asasi manusia (HAM) yang fundamental dan sangat penting bagi perkembangan pribadi, komunitas, dan sosial-ekonomi.
Ia berada pada spektrum yang kompleks, dialami secara berbeda oleh setiap individu, dengan berbagai tingkat kesulitan, penderitaan, serta hasil sosial dan klinis yang bervariasi.
Kondisi kesehatan mental meliputi gangguan mental, disabilitas psikososial, serta kondisi mental lainnya yang berkaitan dengan gangguan fungsi atau risiko melukai diri sendiri.
Orang dengan kondisi gangguan mental, "mungkin mengalami tingkat kesejahteraan lebih rendah, meski semua tetap bergantung pada latar belakang dan situasi sekitar," tutup Maria.
Determinasi Kesehatan Mental
Melansir laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), disebutkan bahwa selama hidup manusia, faktor individu, sosial, dan struktural dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang.
Faktor psikologis dan biologis seperti kehilangan orang tua, perasaan rendah diri, penyalahgunaan NAPZA, serta kerusakan otak membuat seseorang lebih rentan mengalami gangguan mental.
Selain itu, paparan kondisi sosial, ekonomi, geopolitik, dan lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti kemiskinan, kekerasan, dan tekanan lingkungan juga meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental.
Risiko tersebut dapat muncul setiap tahap kehidupan. Namun, jika ia terjadi selama perkembangan yang sensitif seperti di masa kanak-kanak, maka risikonya akan sangat merugikan.
Sebagai contoh, pola asuh yang keras dan hukuman fisik telah terbukti merusak kesehatan anak. Pun demikian, bullying merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi kesehatan mental.
Di sisi lain, WHO menyebutkan bahwa faktor pelindung yang muncul sepanjang hidup manusia berperan penting dalam memperkuat ketahanan diri seseorang.
Faktor-faktor tersebut meliputi keterampilan dan atribut sosial serta emosional, interaksi sosial yang positif, pendidikan berkualitas, pekerjaan dan lingkungan yang aman, serta kohesi sosial.
Risiko dan faktor pelindung kesehatan mental dapat ditemukan di berbagai lapisan masyarakat. Di pihak lain, ancaman lokal dapat meningkatkan risiko bagi individu, keluarga, dan komunitas.
Sementara ancaman global mempengaruhi seluruh populasi, termasuk penurunan ekonomi, wabah penyakit, keadaan darurat kemanusiaan, pemindahan paksa, dan krisis iklim yang semakin meningkat.
Meskipun setiap faktor risiko dan pelindung memiliki kekuatan prediktif yang terbatas, hal tersebut tetap berperan penting dalam meningkatkan atau merusak kesehatan mental.
Perawatan dan Pengobatan
Dalam rangka memperkuat kesehatan mental, WHO menganjurkan agar kebutuhan individu dengan gangguan kesehatan mental dipenuhi secara optimal.
"Pendekatan ini harus dilakukan melalui perawatan kesehatan mental berbasis komunitas, yang lebih mudah diakses dan diterima masyarakat dibandingkan perawatan institusional," tulis WHO.
Pendekatan berbasis komunitas juga membantu mencegah pelanggaran HAM dan memberikan hasil pemulihan yang lebih baik bagi mereka yang mengalami kondisi kesehatan mental.
Perawatan kesehatan mental berbasis komunitas harus disediakan melalui jaringan layanan yang saling terkait dan meliputi tiga tindakan penting.
Pertama, layanan kesehatan mental yang terintegrasi dengan perawatan kesehatan umum.
Layanan tersebut biasanya tersedia di rumah sakit umum dan melibatkan kolaborasi antara penyedia perawatan non-spesialis dan layanan kesehatan primer.
Kedua, layanan kesehatan mental komunitas yang mencakup pusat kesehatan mental komunitas dan tim, rehabilitasi psikososial, layanan dukungan sebaya, serta layanan hunian.
Ketiga, layanan yang memberikan perawatan kesehatan mental di lingkungan sosial dan pengaturan non-kesehatan, seperti perlindungan anak, layanan kesehatan sekolah, dan penjara.
Kesenjangan yang besar dalam perawatan kondisi kesehatan mental yang umum seperti depresi dan kecemasan mendorong semua negara di dunia untuk menemukan cara-cara inovatif.
Tujuannya adalah melakukan diversifikasi dan meningkatkan perawatan untuk kondisi kesehatan mental, seperti melalui konseling psikologis non-spesialis atau bantuan diri digital.
Pemerintah Indonesia juga perlu merumuskan solusi untuk memastikan nasib masyarakat, khususnya remaja agar terhindar dari persoalan serupa di waktu-waktu mendatang.