Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh: Antara Bom Waktu dan Tanggung Jawab Finansial

Proyek kereta cepat woosh tengah mendapat sorotan tajam karena menyisihkan hutang yang besar (Foto: dok. Wisata Sekolah)

PARBOABOA, Jakarta - Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh, yang digagas di era Presiden Joko Widodo sebagai simbol kemajuan infrastruktur, kini menghadapi sorotan tajam. 

Di balik klaim keberhasilan teknologi dan efisiensi waktu tempuh, proyek ini menyisakan persoalan pelik terkait beban utang yang menumpuk dan dugaan mark up biaya pembangunan.

PT Kereta Api Indonesia (KAI), sebagai pemimpin konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang menjadi pemegang saham mayoritas di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), kini berada dalam posisi sulit. 

Dalam rapat dengan Komisi VI DPR pada Agustus 2025, Direktur Utama PT KAI, Bobby Rasyidin, menyebut proyek kereta cepat itu sebagai “bom waktu” yang tengah menghantam keuangan perusahaan. 

Ia menegaskan, KAI akan berkoordinasi dengan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) untuk mencari jalan keluar dari beban utang yang terus membesar.

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Darmadi Durianto, bahkan menyoroti bahwa dalam waktu singkat, beban utang yang harus ditanggung KAI melonjak tajam. 

Ia memperkirakan pada 2026, total utang bisa mencapai Rp6 triliun jika tidak segera direstrukturisasi. Kondisi ini, menurutnya, berpotensi menyeret anak perusahaan lain yang seharusnya mampu mencatat keuntungan.

Sementara itu, data keuangan menunjukkan bahwa PSBI telah merugi Rp4,19 triliun sepanjang 2024 dan kembali mencatat rugi Rp1,62 triliun pada paruh pertama 2025. Situasi tersebut membuat Danantara, sebagai holding BUMN, harus memutar otak mencari solusi pembiayaan.

Chief Operating Officer Danantara, Dony Oskaria, menjelaskan bahwa salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah suntikan modal baru. 

Menurutnya, secara operasional KAI sebenarnya mencatat EBITDA positif, namun ekuitasnya terlalu kecil dibanding nilai pinjaman untuk proyek Whoosh. 

Karena itu, Danantara tengah mempertimbangkan berbagai skema, mulai dari penambahan modal hingga kemungkinan mengubah sebagian aset KCIC menjadi aset negara dengan pola serupa Badan Layanan Umum (BLU).

Pemerintah sendiri, melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, menegaskan bahwa beban utang proyek Whoosh tidak menyangkut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Ia menegaskan di Bogor, Jawa Barat, pada Rabu (10/10/2025) bahwa proyek ini sepenuhnya dijalankan dengan skema business to business antara konsorsium Indonesia dan China. “Tidak ada utang pemerintah di dalam proyek ini,” ujarnya kala itu.

Pandangan serupa juga disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa seusai menghadiri rapat Dewan Pengawas Danantara di Jakarta, Senin (15/10/2025). 

Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki kewajiban membayar utang proyek Whoosh karena perjanjiannya dengan China Development Bank (CDB) tidak menyebut keterlibatan pemerintah dalam pembayaran. 

Purbaya memastikan posisi pemerintah tetap tegas dan transparan, sembari menunggu hasil kajian lanjutan dari KCIC terkait skema pembiayaan yang akan diajukan ke pemerintah.

Dugaan Mark Up

Di tengah polemik utang yang membengkak ini, muncul pula isu lain yang menambah kompleksitas persoalan, yakni terkait dugaan adanya mark up dalam biaya pembangunan proyek tersebut. 

Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dalam video di kanal YouTube pribadinya pada Kamis (16/10/2025), mengungkap bahwa terdapat selisih mencolok antara perhitungan biaya yang dilakukan pihak Indonesia dan China. 

Menurutnya, Indonesia memperkirakan biaya pembangunan mencapai 52 juta dolar AS per kilometer, sementara China hanya menghitung 17 hingga 18 juta dolar per kilometer. “Selisihnya sampai tiga kali lipat, ini patut diselidiki,” ujarnya.

Mahfud juga menyinggung pembengkakan biaya bunga turut memperparah beban utang proyek tersebut. Ia mengingatkan bahwa awalnya Indonesia sempat hampir bekerja sama dengan Jepang yang menawarkan bunga pinjaman 0,1%. 

Namun setelah kerja sama itu batal dan proyek dialihkan ke China dengan bunga 2%, bunga itu kemudian meningkat menjadi 3,4% karena pembengkakan biaya. 

Kenaikan ini, kata Mahfud, menjadi salah satu penyebab Indonesia kesulitan membayar cicilan kepada China.

Meskipun demikian, Mahfud mendukung langkah Menteri Keuangan Purbaya yang menolak menggunakan APBN untuk menutup utang Whoosh. 

Ia hanya berharap pemerintah segera mengambil langkah strategis dan progresif agar beban bunga tidak semakin besar dan risiko gagal bayar dapat dihindari.

Dengan utang yang telah menembus Rp4 triliun pada 2025, proyek Whoosh kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, proyek ini diharapkan menjadi simbol kemajuan transportasi nasional dan efisiensi logistik. 

Namun di sisi lain, transparansi anggaran, tata kelola utang, dan potensi penyimpangan anggaran masih menjadi bayang-bayang yang perlu segera diurai agar Whoosh tidak berubah dari kebanggaan nasional menjadi beban jangka panjang bagi BUMN dan negara.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS