Membandingkan Whoosh dan Boten, Dua Proyek Kereta Cepat Garapan Cina di Asia Tenggara

Kereta cepat Whoosh melintas di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (31/7/2025). (Dok. Katadata)

PARBOABOA, Jakarta - Pemerintah Indonesia tengah disibukkan dengan pembahasan restrukturisasi utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh.

Isu ini menjadi penting karena menyangkut keberlanjutan proyek raksasa lain yang sudah menunggu di depan mata: kereta cepat Jakarta–Surabaya.

Di sisi lain, publik juga menyoroti bagaimana proyek serupa di Asia Tenggara, seperti kereta cepat Boten–Vientiane di Laos, dikelola dengan pola pendanaan yang tak jauh berbeda, sama-sama menggandeng Tiongkok sebagai mitra utama.

Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan bahwa pemerintah masih menggodok berbagai opsi terbaik agar penyelesaian utang proyek Whoosh tidak membebani keuangan negara.

Ia menekankan pentingnya kebijakan yang berkelanjutan, terutama agar restrukturisasi tidak menghambat proyek besar selanjutnya, yakni rencana pembangunan jalur cepat Jakarta–Surabaya.

“Utang yang harus segera diselesaikan ini juga tidak boleh menghambat rencana besar pengembangan konektivitas nasional,” ujar AHY di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (20/10).

Ia menambahkan, keputusan final masih menunggu arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto sambil terus mengkaji berbagai skema restrukturisasi, termasuk keterlibatan Danantara dan Kementerian Keuangan.

Belajar dari Laos

Sebelum Indonesia memiliki Whoosh, Laos dan Tiongkok telah lebih dahulu meresmikan kereta cepat Boten–Vientiane pada Desember 2021.

Jalur sepanjang 414 kilometer itu menghubungkan kota perbatasan Boten dengan ibu kota Laos, Vientiane.

Menggunakan teknologi Electric Multiple Unit (EMU) CR200J, kereta ini mampu memangkas waktu tempuh dari 15 jam menjadi hanya 4 jam.

Proyek ini menelan biaya US$5,9 miliar, setara sepertiga dari produk domestik bruto (PDB) Laos.

Dari total biaya itu, sekitar 60% dibiayai lewat pinjaman Bank Exim China, sementara 40% sisanya berasal dari ekuitas perusahaan gabungan Cina–Laos.

Jalur Boten–Vientiane melewati 75 terowongan dan 167 jembatan, dengan kecepatan operasi mencapai 160 km/jam untuk penumpang dan 120 km/jam untuk angkutan barang.

Whoosh Kebanggaan

Di Indonesia, proyek Kereta Cepat Whoosh sepanjang 142,3 kilometer resmi beroperasi pada Oktober 2023, menghubungkan Jakarta dan Bandung hanya dalam 45 menit.

Jalurnya terdiri dari 82,7 km lintasan layang, 42,7 km di atas tanah, serta 13 terowongan sepanjang total 16,8 km.

Dengan kecepatan hingga 350 km/jam, Whoosh termasuk kategori kereta cepat sejati menurut standar International Union of Railway (UIC).

Namun di balik kemegahan teknologinya, proyek ini juga dibayangi tantangan keuangan besar.

Total utang Whoosh mencapai US$7,3 miliar (sekitar Rp120 triliun), mayoritas berasal dari pinjaman China Development Bank.

Proyek dijalankan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), konsorsium antara PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan China Railway International Co. Ltd, dengan komposisi saham 60% – 40%.

PSBI sendiri beranggotakan sejumlah BUMN seperti PT KAI, Wijaya Karya, Jasa Marga, dan PTPN VIII.

Sayangnya, laporan keuangan menunjukkan kerugian berlanjut — Rp4,2 triliun pada 2024 dan Rp1,6 triliun pada semester pertama 2025.

Meski sama-sama dikerjakan oleh perusahaan Tiongkok, Whoosh dan Boten–Vientiane memiliki perbedaan mencolok.

Dari segi kecepatan, Whoosh melaju hingga 350 km/jam, sementara Boten–Vientiane hanya 160 km/jam.

Dari segi jarak, jalur Laos membentang tiga kali lebih panjang (414 km) dibandingkan jalur Whoosh (142,3 km).

Dari sisi fungsi, Whoosh difokuskan untuk penumpang, sementara Boten–Vientiane juga melayani angkutan barang. Selain itu, Laos hanya menggunakan rel tunggal, sedangkan Indonesia membangun rel ganda — faktor yang turut meningkatkan biaya proyek.

Whoosh juga memakai seri CR400AF, generasi lebih canggih dibanding CR200J milik Laos.

Di sinilah terlihat ambisi Indonesia untuk tak hanya memiliki kereta cepat, tapi juga menjadikannya simbol modernisasi transportasi nasional.

Selain itu, publik kerap membandingkan juga biaya pembangunan Whoosh dengan proyek Haramain High Speed Rail (HHR) di Arab Saudi.

Sekilas keduanya sama-sama bernilai sekitar US$7 miliar, tetapi terdapat perbedaan besar dalam panjang jalur dan kompleksitas medan. HHR membentang sepanjang 450 km, sedangkan Whoosh hanya 142,3 km.

Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Taufik Widjojono menjelaskan, perbandingan biaya antarnegeri tidak bisa dilakukan secara sederhana.

Menurutnya, proyek di Indonesia menghadapi medan yang jauh lebih sulit — mulai dari struktur layang dan terowongan, hingga risiko gempa bumi dan longsor.

Jalur Whoosh bahkan melintasi Sesar Lembang, Baribis, dan Cimandiri, membuat desain konstruksinya harus tahan gempa dan berstandar tinggi.

Struktur layang yang membentang lebih dari separuh rute menjadi penyebab utama tingginya biaya per kilometer — mencapai US$51 juta, jauh di atas rata-rata proyek Tiongkok yang hanya US$17–30 juta/km.

Sebaliknya, proyek Haramain dibangun di atas lanskap gurun datar dengan kepadatan penduduk rendah, sehingga tak memerlukan jembatan atau terowongan rumit.

Mayoritas jalur bahkan memanfaatkan median jalan raya Haramain Road, yang membantu menekan biaya.

Selain faktor teknis, proyek Whoosh juga terbebani persoalan non-teknis seperti pembebasan lahan di kawasan padat penduduk.

Jalurnya melintasi sembilan kabupaten/kota dengan harga tanah tinggi serta resistensi sosial yang menambah waktu dan biaya.

Meski lebih mahal, Taufik menegaskan bahwa tingginya biaya bukan cerminan inefisiensi, melainkan konsekuensi dari kondisi geografis dan tuntutan keselamatan.

 Ia menilai proyek ini menjadi pembelajaran penting untuk pembangunan infrastruktur masa depan Indonesia, terutama dalam konteks adaptasi teknologi di wilayah tropis yang rawan bencana.

Kereta Cepat di Tujuh Negara

Secara global, ada tujuh negara yang memiliki kereta tercepat di dunia: Cina, Jerman, Jepang, Maroko, Spanyol, Korea Selatan, dan Italia.

Cina masih memegang rekor dunia melalui Shanghai Maglev dengan kecepatan hingga 460 km/jam.

Jepang menyusul lewat Shinkansen yang mampu melesat 443 km/jam dalam uji coba. Jerman dengan ICE 3, Spanyol dengan Renfe AVE S103, dan Korea Selatan dengan KTX-Sancheon juga menjadi pemain utama.

Indonesia, lewat Whoosh, kini bergabung dalam jajaran negara dengan teknologi kereta berkecepatan tinggi.

Meski belum masuk tujuh besar, Whoosh dengan kecepatan 354 km/jam menandai babak baru transportasi nasional dan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara berteknologi maju di sektor perkeretaapian.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS