Energi Geotermal di Flores, Investasi Masa Depan atau Ancaman Lokal?

Salah Satu Proyek Geothermal di Flores. (Foto:IG/@floresupdate)

PARBOABOA, Jakarta - Flores, pulau kecil di timur Indonesia, tengah menjadi sorotan nasional.

Pemerintah ingin menjadikannya pionir energi terbarukan lewat panas bumi. Diketahui, pulau Flores memiliki potensi energi panas bumi yang signifikan, dengan kapasitas hampir mencapai 1.000 Megawatt (MW) dan cadangan sekitar 402,5 Megawatt (MW).

Potensi ini tersebar di 16 lokasi, dengan salah satu yang terbesar berada di kawasan Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Penetapan ini didasarkan pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2268 K/30/MEM/2017, yang menetapkan Pulau Flores sebagai “Pulau Panas Bumi” atau Flores Geothermal Island.

Walau demikian, masyarakat lokal, organisasi adat, hingga gereja menyuarakan penolakan keras terhadap rencana pemerintah pusat ini.

Diketahui, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan Flores, Nusa Tenggara Timur, sebagai Geothermal Island, pulau berbasis energi panas bumi.

Hal ini didorong potensi besar penggantian pembangkit listrik tenaga diesel yang selama ini membebani anggaran negara.

“Mudah-mudahan, Flores itu Insya Allah bisa jadi Geothermal Island, jadi di situ panas buminya luar biasa,” kata Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, saat konferensi pers The 11th Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2025, di Jakarta,  Senin, (14/04/2025).

Menurut Eniya, panas bumi adalah satu-satunya sumber energi terbarukan yang layak untuk Flores.

Alternatif seperti PLTA dan PLTS dianggap kurang cocok karena kondisi alam Flores yang panas dan tandus.

PLTA sulit dikembangkan karena minimnya air, dan PLTS membutuhkan lahan luas untuk menyaingi kapasitas listrik dari diesel.

“Satu-satunya anugerah dari alam itu panas bumi,” ujarnya.

Eniya mengungkapakan, penggunaan diesel di Flores menimbulkan beban subsidi negara hingga Rp1 triliun setiap tahun.

Hal ini menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk mendorong pengembangan panas bumi.

“Untuk Flores saja, sekecil itu. Inilah yang mendorong kami untuk bisa menggolkan proyek panas bumi,” tegas Eniya.

Namun, proyek panas bumi tak serta-merta diterima. Masyarakat, tokoh adat, dan gereja lokal menunjukkan penolakan kuat.

Aksi protes berlangsung sejak keluarnya SK No. 2268 K/30/MEM/2017 yang menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Proyek-proyek seperti di Mataloko, Poco Leok, dan Wae Sano menjadi pusat ketegangan.

“Terus terang, saya sedang didemo di Flores,” kata Eniya. Ia menyebut tengah berkoordinasi dengan Gubernur NTT dan pihak gereja agar komunikasi menjadi lebih terbuka dan situasi mencair.

Gereja Katolik Tegas Menolak

Penolakan resmi juga datang dari enam Uskup di Provinsi Gerejawi Ende lewat Surat Gembala Prapaskah 2025.

Mereka menilai proyek geothermal di Flores dan Lembata berisiko merusak lingkungan serta bertentangan dengan arah pembangunan daerah.

“Kami dengan tegas menolak pembangunan proyek geothermal Flores dan Lembata,” demikian salah satu isi surat yang ditandatangani oleh enam uskup, termasuk Uskup Agung Ende Mgr. Paulus Budi Kleden.

Selai itu, para uskup menyatakan bahwa wilayah seperti Flores memiliki ekosistem yang rapuh.

Dengan kontur berbukit dan pasokan air terbatas, eksploitasi panas bumi dianggap tidak sesuai.

Mereka menekankan bahwa wilayah ini lebih cocok dikembangkan untuk pariwisata, pertanian, peternakan, dan kelautan.

Lima seruan moral juga disampaikan, seperti menjaga lingkungan, memberantas perdagangan manusia, mencegah stunting, dan mendorong pembangunan berkelanjutan.

Kekhawatiran lingkungan juga disuarakan oleh Walhi NTT. Deputi Yuvensius Stefanus Nonga memperingatkan potensi pencemaran air tanah oleh zat beracun dari pengeboran, serta risiko kebocoran gas berbahaya seperti H2S.

Ia mencontohkan kasus di Lahendong, Sulawesi Utara, serta Sarulla di Sumatera Utara, di mana proyek geothermal menimbulkan kerusakan lingkungan dan geologis. Bahkan, aktivitas serupa di Pohang, Korea Selatan, memicu gempa besar.

Risiko Bisa Dimitigasi

Meski begitu, Surya Darma dari ICRES menyatakan bahwa PLTP jauh lebih ramah lingkungan dibanding pembangkit fosil. Ia menyebut bahwa secara umum, PLTP tidak menghasilkan polutan udara berbahaya dan emisi gas rumah kaca relatif rendah.

Namun, ia mengakui potensi gempa mikro bisa terjadi akibat reinjeksi fluida ke dalam kerak bumi.

Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya kajian risiko geologis mendalam sebelum proyek dimulai, agar dampak dapat diminimalkan.

Menanggapi situasi ini, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena menyatakan bahwa proyek geothermal akan ditinjau ulang dan bahkan dihentikan sementara.

“Kami akan menyesuaikan kebijakan berdasarkan masukan masyarakat,” ujarnya usai bertemu Uskup Agung Ende.

Pemerintah daerah berencana memanggil pihak-pihak terkait, termasuk kontraktor dan PLN, untuk memastikan proyek berjalan dengan pertimbangan sosial dan lingkungan yang matang.

Geothermal di Flores memang menjanjikan solusi energi masa depan. Namun, tanpa dialog dan keterlibatan masyarakat, harapan bisa berubah jadi konflik. Jalan tengah dan keterbukaan menjadi kunci mengurai simpul panas di pulau ini.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS