PARBOABOA – Gulai tikungan atau gultik adalah hidangan yang sangat populer di kawasan perempatan Jalan Mahakam dan Jalan Bulungan, Jakarta Selatan.
Dinamakan sebagai gultik karena banyak para pedagang gulai yang berjualan di tikungan jalan tersebut.
Walaupun tergolong sebagai makanan kaki lima, siapa sangka gultik sudah ada sejak puluhan tahun lalu dan masih populer di era gempuran makanan modern saat ini.
Rasanya yang unik dan menggugah selera, menjadikan makanan ini istimewa bagi para penikmatnya.
Harga yang terjangkau juga membuat popularitas kuliner malam ini tetap melekat di tengah masyarakat.
Yuk, mari menelusuri asal usul gulai tikungan dan belajar membuatnya di rumah. Siapa tahu, makanan ini bisa menjadi ide bisnis di daerah tempat tinggalmu.
Sejarah Gulai Tikungan
Sejarah Gultik (Foto: Instagram/ @glutikblokm_)
Nama gultik berasal dari pedagang gulai yang berjajar di tikungan jalan Mahakam, berdekatan dengan SMA 6, GOR Bulungan, dan Blok M Plaza, Jakarta Selatan.
Meskipun mereka berasal dari Sukoharjo, Solo, dan sudah menjual gulai sejak tahun 1980-an, istilah gultik baru muncul pada tahun 1997, diambil dari sebutan konsumen setia.
Daerah Solo, Jawa Tengah, dikenal akan gulainya. Namun, di Jakarta, tepatnya di kawasan Blok M, terkenal dengan gultik atau gulai tikungan Blok M.
Keunikan Cita Rasa Gulai Tikungan
Keunikan dari Gultik (Foto: Instagram/ @glutikblokm_)
Indonesia memiliki kekayaan budaya dan kuliner. Gulai, makanan dengan kuah santan bumbu rempah seperti kunyit, jahe, dan jintan, menjadi ciri khas.
Daging sapi, ikan, kambing, jeroan, atau sayuran dicampur dalam kuah ini, terutama nikmat disajikan dengan nasi putih.
Gultik merupakan asli makanan khas solo, namun gulai khas Solo yang umumnya memakai daging dan jeroan kambing, sedangkan gultik Jakarta memiliki ciri khas tersendiri.
Di wilayah Blok M, Jakarta Selatan, hidangan kaki lima ini menggunakan potongan daging sapi yang lembut dan lezat.
Pilihan ini sesuai dengan preferensi masyarakat Jakarta terhadap rasa daging sapi yang lebih dikenal.
Alasan lainnya adalah daging dan jeroan kambing sering dianggap berisiko bagi kesehatan, terutama terkait dengan tekanan darah tinggi dan asam urat.
Karena itu, para penjual lebih condong ke daging sapi agar cocok dengan selera dan kebutuhan kesehatan masyarakat Jakarta.