PARBOABOA,Jakarta - Hotline pencegahan bunuh diri telah menjadi layanan krusial dalam menjaga kesehatan mental masyarakat, terutama di tengah tantangan yang kian kompleks dalam kehidupan modern.
Tekanan sosial, kesulitan ekonomi, serta berbagai tantangan pribadi sering kali membuat seseorang merasa terisolasi dan putus asa.
Dalam situasi inilah, hotline pencegahan bunuh diri hadir sebagai langkah intervensi pertama yang dapat menyelamatkan nyawa.
Tetapi, sejauh mana layanan ini efektif, dan bagaimana regulasi serta dukungan pemerintah mendukung operasionalnya?
Menurut data dari WHO, setiap 40 detik ada satu orang yang meninggal akibat bunuh diri. Fakta ini mencengangkan dan menunjukkan betapa pentingnya upaya preventif yang masif dan berkelanjutan.
Di Indonesia, hotline pencegahan bunuh diri telah diinisiasi oleh beberapa lembaga, baik pemerintah maupun swasta, untuk memberikan akses cepat bagi individu yang membutuhkan bantuan.
Salah satu contohnya, pemerintah Indonesia menyediakan hotline pencegahan bunuh diri melalui layanan SEJIWA pada nomor 119 ext 8.
Namun, para penyintas yang pernah mencoba menghubungi nomor tersebut melaporkan bahwa mereka tidak berhasil tersambung atau tidak mendapatkan respons sesuai harapan.
Layanan telekonseling yang diinisiasi oleh Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) sejak tahun 2020 ini, kini dikelola oleh KSP, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan organisasi seperti Yayasan Pulih.
Sebenarnya, Layanan hotline ini memiliki peran penting dalam menyediakan dukungan emosional serta informasi yang akurat kepada orang-orang yang merasa tertekan.
Penelitian dari American Journal of Psychiatry menyebutkan bahwa layanan hotline dapat mengurangi keinginan bunuh diri secara signifikan, terutama jika diikuti dengan sesi tindak lanjut.
Sebuah studi serupa di Inggris menunjukkan bahwa intervensi semacam ini mampu menurunkan angka bunuh diri sebesar 30% di kalangan peserta penelitian.
Namun, layanan hotline tidak hanya cukup dengan menyediakan nomor telepon dan tenaga konseling.
Perlu adanya dukungan yang lebih komprehensif, seperti penyuluhan masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan mental dan pengenalan tanda-tanda awal krisis mental.
Di Indonesia, payung hukum yang terkait dengan layanan kesehatan mental termasuk dalam UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
UU ini mengatur hak setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mental yang layak, termasuk akses ke layanan konsultasi dan hotline.
Mengapa hotline ini penting? Pada saat krisis, seseorang mungkin merasa enggan untuk berbicara dengan keluarga atau teman karena takut dihakimi atau tidak dimengerti.
Hotline menjadi solusi karena menyediakan ruang aman untuk berbicara tanpa rasa takut. Anonimitas dan kenyamanan berbicara dengan tenaga profesional menjadi alasan utama hotline menjadi opsi pertama bagi banyak orang yang berada di titik terendah hidupnya.
Memang harus diakui bahwa kendala yang dihadapi layanan hotline ini adalah keterbatasan sumber daya manusia dan keuangan.
Tanpa dukungan yang cukup, kualitas layanan dapat menurun, sehingga tidak mampu memenuhi permintaan yang meningkat.
Oleh karena itu, pemerintah dan pihak swasta harus berkolaborasi untuk memastikan kelangsungan dan efektivitas layanan ini.
Dukungan finansial, pelatihan berkala bagi konselor, serta teknologi yang memadai sangat diperlukan agar hotline dapat berjalan optimal.
Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai keberadaan hotline ini.
Kampanye nasional yang efektif, seperti yang pernah dilakukan di Jepang dan Australia, terbukti berhasil meningkatkan penggunaan layanan hotline.
Misalnya, Jepang meluncurkan program kesadaran kesehatan mental melalui media sosial dan acara publik, yang akhirnya menurunkan angka bunuh diri di negara tersebut selama dekade terakhir.
Salah satu contoh penerapan di Indonesia adalah program yang diusung oleh LSM lokal yang bekerja sama dengan rumah sakit jiwa.
Mereka tidak hanya menyediakan hotline, tetapi juga mengadakan workshop dan seminar di sekolah serta kampus untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental.
Langkah ini sejalan dengan tujuan UU No. 18 Tahun 2014, yang menekankan peran pendidikan dan pengawasan dalam mendukung kesehatan mental secara holistik.
Untuk memastikan hotline ini dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, teknologi menjadi kunci.
Aplikasi berbasis ponsel yang dapat diakses 24 jam dan dilengkapi fitur chat dapat menjadi pelengkap hotline konvensional.
Solusi ini telah terbukti efektif di negara maju seperti Amerika Serikat, di mana layanan seperti Crisis Text Line memberikan dukungan cepat kepada mereka yang membutuhkan.
Editor: Norben Syukur