Huta Siallagan, Kepingan Surga yang Terabaikan

Wisatawan saat mengunjungi Huta Siallagan. (Foto: PARBOABOA/Ronald Sibuea)

PARBOABOA, Samosir – Banyak cerita sejarah yang terjadi di wilayah Danau Toba. Mulai dari kisah cinta romantis dan sadis, hinga cerita kanibalisme yang membuat pendengarnya terkesima.

Salah satu wilayah yang memiliki catatan sejarah di kawasan Danau Toba adalah Huta Siallagan. Kampung adat Batak Toba di Pulau Samosir ini memiliki daya magis selain cerita sejarah yang mengelilinginya.

Huta Siallagan memiliki luas sekitar 2.400 meter persegi dengan tembok setinggi 1,5 sampai 2 meter mengelilinginya. Huta Siallagan sendiri terbagi menjadi beberapa titik yang disusun dengan maksud dan fungsi tersendiri.

Salah satu yang membuat Huta Siallagan istimewa adalah adanya batu besar yang dibentuk menjadi kursi dan meja yang dikenal dengan nama Batu Persidangan. Saksi bisu persidangan yang terjadi ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu.

Situs bersejarah ini berbentuk susunan batu yang terdiri dari sembilan kursi. Di mana ada tempat duduk untuk raja, dukun dan pelaku kejahatan. Tindak kejahatan yang umumnya disidangkan mulai dari mencuri, membunuh, memperkosa sampai mata-mata musuh.

Hasil persidangan di batu ini tidak main-main, pasalnya hukuman yang diberikan bisa berupa pasung sampai pancung atau potong kepala.

Salah satu cerita sejarah yang cukup menyeramkan adalah, para penjahat yang dihukum pancung dan meninggal maka organ tubuhnya seperti hati dan jantung akan dimakan untuk menambah kekuatan raja.

Sedangkan bagian kepala akan diletakkan di meja bulat. Sementara bagian badannya akan diletakkan di meja persegi.

Bagian badan akan dibuang ke Danau Toba. Di mana setelah pembuangan bagian tubuh itu, masyarakat di sekitar dilarang melakukan aktivitas apapun di Danau.

Bagian kepalanya, biasanya akan diletakkan di depan gerbang masuk Huta Siallagan sebagai peringatan kepada masyarakat atau raja daerah lainnya agar tidak melakukan perbuatan yang sama.

Setelah bagian kepala itu membusuk kemudian akan dibuang ke hutan. Selanjutnya masyarakat akan dilarang beraktivitas di hutan selama tiga hari.

Cerita betapa sadisnya hukuman bagi pelaku kejahatan di Huta Siallagan berakhir pada abad ke-19. Saat agama Kristen mulai masuk diperkenalkan oleh misionaris asal Jerman yaitu Ludwig Ingwer Nommensen.

Sayangnya, kisah bersejarah ini hanya bisa didapatkan di Huta Siallagan langsung melalui pemandu wisatanya. Apabila turis yang memang berencana untuk datang ke Huta Siallagan, maka bisa mencari kisah sejarahnya di internet.

Pasalnya, setiap prasasti yang ada di sana tidak dilengkapi dengan cerita sejarahnya. Layaknya lokasi wisata lain di Indonesia atau bahkan di dunia, setiap situs sejarah akan dilengkapi dengan papan penjelasan.

Pengunjung harus menyewa jasa dari seorang pemandu wisata untuk membantu menjelaskan setiap cerita sejarah yang ada. Harga jasa pemandu ini sekitar 100 ribu rupiah. Jasa pemandu ini sudah terpampang di depan posko penjualan tiket.

Petugas penjualan tiket di Huta Siallagan, Ani mengaku pengunjung lokasi bersejarah ini cukup banyak setiap harinya. Bahkan, pernah mencapai dua ribuan pengunjung dalam satu hari.

Terkait papan penjelasan tentang situs sejarah, menurut Ani tidak terlalu diperlukan. Pasalnya sudah ada layanan pemandu yang ditawarkan. “Kalau kita buat plang keterangannya, kerjaan mereka (pemandu wisata) apa? Berkurang lapangan pekerjaan jadinya,” ucap Ani ketus sambil menyusun beberapa berkas yang berserakan di mejanya.

Diakui, posisi pemandu wisata lokal memang menjadi cara bagi pengelola Huta Siallagan untuk mempekerjakan penduduk sekitar.

Biasanya, dengan jasa pemandu di lokasi hanya dibutuhkan untuk 40 menit mengelilingi lokasi wisata. Pemandu ini akan menjelaskan setiap cerita sejarah dari bebatuan yang ada di sana. Ditambah pengunjung bisa mempraktikkan langsung rekayasa ritual adat dengan ditemani pemandu lokal ini.

Sementara itu, ada dua orang pengunjung yang ditemui Tim PARBOABOA saat mendatangi lokasi wisata itu. Lena dan Hery berasal dari pulau dan suku lain. Keduanya berharap akan mendapatkan informasi tentang sejarah apa saja yang terjadi di Huta Siallagan.

Kedatangan keduanya ke Huta Siallagan karena haus akan sejarah dan budaya di Indonesia, salah satunya suku Batak. Namun, keduanya mengaku kurang puas karena tidak mendapat jasa pemandu yang bisa memberikan cerita sejarah.

Mengingat keduanya datang pada saat momen bulan Ramadan. Di samping itu, saat mereka berkunjung para pemandu wisata sedang tidak berada di tempat.

“Kita bingung juga sampai di sini. Ini patung apa? Batu apa? Apalagi kami bukan Batak,” ungkap Lena kebingungan.

“Tadi juga mau duduk di sini, tapi bingung. Batu ini bisa dipakai duduk atau peninggalan sejarah juga,” timpal Hery.

Sore itu, saat senja mulai menutupi sinar matahari, para pengunjung mulai meninggalkan lokasi. Kepingan surga di Danau Toba itu sangat berharga untuk dikunjungi. Sayangnya, banyak persoalan yang melingkupinya, salah satunya papan penjelasan sejarah Huta Siallagan.

Editor: Fika
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS