Indonesia Gandeng Kanada hingga Korea Selatan: Langkah Strategis Kembangkan PLTN

Pembangkit listrik tenaga nuklir Flamanville, dioperasikan oleh Electricite de France SA (EDF), di Flamanville, Prancis. (Foto: Dok. Bloomberg)

PARBOABOA, Jakarta -  Dalam upaya memperkuat ketahanan energi nasional, Indonesia mulai membuka peluang kerja sama lintas negara untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Dengan menggandeng mitra strategis seperti Kanada, Korea Selatan, hingga Rusia dan China, pemerintah bertekad menjadikan energi nuklir sebagai bagian dari solusi energi bersih jangka panjang.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menegaskan langkah Indonesia menjalin kerja sama dengan sejumlah negara untuk mengembangkan PLTN bukanlah rencana yang muncul tiba-tiba.

Dalam penjelasannya, Yuliot memaparkan bahwa Indonesia sudah meresmikan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan negara-negara maju di bidang nuklir, seperti Amerika Serikat, Kanada, Argentina, Rusia, China, serta Korea Selatan.

Kesepakatan ini juga menanggapi usulan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang mendorong pemerintah menggandeng Kanada dan Korea Selatan sebagai mitra teknologi.

Usulan ini muncul sebagai antisipasi dinamika politik global, khususnya perang tarif resiprokal yang digulirkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

“Kita akan lihat teknologi mana yang lebih maju dan sekaligus sebagai penyedia teknologi utama,” kata Yuliot, di sela acara Peluncuran Kelembagaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Selasa (15/7/2025).

Mitra yang Aman

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang ESDM Kadin Indonesia, Aryo Djojohadikusumo, menyatakan bahwa kerja sama dengan Kanada dan Korea Selatan dinilai paling aman secara politik dan teknologi.

Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025—2034, pemerintah menargetkan pembangunan PLTN dengan kapasitas total mencapai 500 megawatt (MW).

Aryo mengungkapkan, Kadin terus menerima banyak pertanyaan dari mitra luar negeri terkait potensi pengembangan nuklir di Indonesia.

Meski selama ini diskursus tenaga nuklir sering dikaitkan dengan negara besar seperti AS, Rusia, dan China, Aryo melihat Kanada sebagai negara yang patut diperhitungkan karena memiliki cadangan uranium yang melimpah serta teknologi yang kompetitif.

“Ada teknologi menarik dari Kanada dan Korea Selatan. Menurut saya, opsi ini lebih dapat diterima di tengah situasi politik global, dan kita tidak ingin membuat pihak AS merasa terancam,” ujarnya melalui siaran pers pekan lalu.

Menimbang Teknologi

Pakar energi juga turut memberikan masukan. Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Nanang Hariyanto, menekankan bahwa pengembangan PLTN di Indonesia sebaiknya dimulai dengan teknologi reaktor modular kecil atau small modular reactor (SMR) yang ditargetkan bisa beroperasi pada 2030 dengan kapasitas 500 MW.

Nanang menilai teknologi SMR dari China sangat canggih, didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni dan dukungan keuangan yang kuat.

Sementara Rusia juga menawarkan teknologi reaktor SMR dengan sistem floating atau terapung, meski skema pendanaannya perlu dikaji lebih mendalam.

“China punya teknologi, SDM, dan pembiayaan yang memadai. Rusia juga maju, tapi kita harus lihat bagaimana skema keuangannya. Ini persoalan geopolitik juga,” jelas Nanang.

Ia menambahkan, Indonesia dapat menggabungkan teknologi dari beberapa negara untuk PLTN skala kecil. Konsepnya bisa menggunakan basis reaktor darat atau terapung yang dapat didock ke pantai.

Dalam tahap awal, PLTN terapung dengan kapasitas sekitar 30 MW dinilai tepat untuk memperkenalkan operasi reaktor nuklir di Tanah Air.

Nanang menekankan, pengembangan PLTN berbasis SMR sebaiknya dilakukan secara bertahap, mulai dari unit berkapasitas kecil hingga besar.

Strategi ini akan meminimalkan potensi risiko sosial dan teknis. Ia juga merinci bahwa beberapa teknologi SMR yang sudah beroperasi dan memiliki lisensi dapat menjadi pilihan kerja sama.

China dengan ACP100 dan HTGR, Korea dengan SMART/iSMR, Amerika Serikat dengan NuScale, serta Rusia dengan reaktor terapung LWR, semuanya menjadi opsi teknologi yang bisa diadopsi Indonesia.

Meski demikian, pembangunan unit pertama akan membutuhkan biaya investasi yang relatif tinggi. Namun, jika pemerintah konsisten membangun beberapa unit di lokasi tapak yang sama, biaya produksi listrik diproyeksi menjadi lebih kompetitif.

Dengan rencana kerja sama lintas negara ini, Indonesia menunjukkan komitmen serius dalam membuka jalan menuju pemanfaatan tenaga nuklir sebagai sumber energi bersih, stabil, dan berkelanjutan.

Di tengah dinamika politik global yang penuh tantangan, sinergi teknologi dan diplomasi menjadi kunci mewujudkan ambisi Indonesia memiliki PLTN pertama di dekade mendatang.

Semoga langkah strategis ini menjadi pondasi kokoh bagi ketahanan energi nasional dan membuka peluang transfer teknologi serta peningkatan kapasitas SDM dalam negeri.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS