PARBOABOA, Pematangsiantar - Meski disampaikan secara daring dari Bogor, materi yang dibawakan Abdon Nababan, pendiri-pegiat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tetap disimak dengan saksama oleh para peserta Sekolah Jurnalisme Parboaboa, Kamis (17/4/2025).
Pagi itu di kantor redaksi Parboaboa, Jl. Toba Pematangsiantar, para peserta tampak duduk serius dan fokus menyimak, mencatat poin-poin penting dari sesi bertajuk “Menegakkan Hak Masyarakat Adat”.
Ini bukan sekadar sesi belajar, tetapi perkenalan awal dengan kenyataan bahwa jurnalisme juga menyangkut keberpihakan—terutama pada suara-suara yang jarang terdengar.
“Mengenal dan memahami konsep serta persoalan yang dihadapi masyarakat adat penting bagi jurnalis muda, apalagi yang masih di awal perjalanan,” ujar Abdon kepada Parboaboa lewat pesan WhatsApp, Kamis (17/4/2025).
Menurutnya, hal itu penting agar mereka mengenali bentuk-bentuk diskriminasi dan penindasan yang masih dialami masyarakat adat. Sebuah pemahaman yang perlu, baik secara etis maupun profesional.
Lebih jauh, Abdon memaparkan bahwa mengenal persoalan masyarakat adat sejak dini bukan sekadar menambah wawasan. Baginya, hal itu menyangkut cara pandang jurnalis dalam memahami realitas sosial secara mendalam. Ketika jurnalis memahami konteks, akan tersampaikan cerita lebih akurat dan tidak terjebak pada sudut pandang bias.
Pemahaman seperti ini, lanjut Abdon, perlu agar jurnalisme tak hanya berputar di permukaan, tetapi sungguh menyentuh lapisan keadilan sosial.
Ia melihat jurnalis sebagai jembatan antara masyarakat adat yang sering kali terpinggirkan dengan ruang publik yang lebih luas. Karenanya jurnalisme bisa turut memberi dorongan pada perubahan sosial yang lebih adil dan setara.
Abdon pun mengingatkan risiko peliputan yang tanpa sadar melanggengkan stereotip. Banyak jurnalis masih menulis mengedapankan asumsi atau narasi umum yang merugikan kelompok adat. Baginya, ini adalah bentuk ketidakadilan lain yang lahir dari ketidaktahuan.
Sehingga memahami latar belakang budaya, konflik agraria, hingga sejarah penindasan menjadi bekal penting agar jurnalis tak ikut-ikutan membungkam lewat tulisan. Sebab dalam proses itu, membangun kepercayaan sangat penting.
Menurutnya, masyarakat adat cenderung lebih terbuka kepada jurnalis yang datang dengan rasa hormat dan kemauan untuk mendengarkan. Relasi semacam ini bukan hanya memperkaya laporan yang ditulis, tetapi juga menunjukkan tanggung jawab etis dari seorang jurnalis.
Ia juga mengingatkan bahwa jurnalis bukan sekadar pencatat kejadian, tetapi bisa menjadi penggerak empati. Melalui tulisan yang sensitif dan adil, seorang jurnalis bisa membuka mata publik terhadap realitas yang selama ini tersembunyi. Di situlah jurnalisme menjalankan fungsinya sebagai alat edukasi dan perubahan.
"Pada akhirnya, kepedulian terhadap kelompok rentan atau korban itu mencerminkan komitmen seorang jurnalis terhadap prinsip-prinsip etika jurnalistik: kejujuran, keadilan, dan keberpihakan pada kebenaran," tuturnya.
Selama ini kesalahan terbesar media dalam meliput isu masyarakat adat, menurutnya, terletak pada bias yang kerap muncul dalam pemberitaan konflik agraria.
Ia melihat banyak liputan masih berpihak pada kepentingan pemerintah atau industri—baik itu investor maupun pengusaha. Sudut pandang cenderung positivistik, legalistik-formal, jauh dari pendekatan historis maupun antropologis.
“Akibatnya, berita yang ditulis justru memperkuat diskriminasi dan melemahkan posisi masyarakat adat. Sebagian jurnalis bahkan tanpa sadar masih mereproduksi stereotip dan label negatif dalam narasi mereka," terang Abdon.
Sehingga satu hal yang dianggapnya sangat penting untuk dibawa para peserta sebagai jurnalis kelak adalah bekal pemahaman sejarah dan pengenalan budaya masyarakat adat. Agar tak tergelincir menjadi pengulangan ketidakadilan yang sama.
Membuka Wawasan
Bagi Triveni Gita Lestari Waloni (26), jurnalis asal Manado yang turut ikut dalam Sekolah Jurnalisme Parboaboa, sesi bertajuk ‘Menegakkan Hak Masyarakat Adat’ membuka ruang berpikir yang selama ini terasa sempit.
“Bagian yang paling membuka wawasan saya adalah ketika disinggung bahwa masyarakat adat sebenarnya belum merdeka,” tuturnya.
Ungkapan itu baginya bukan sekadar metafora, tetapi sebuah kenyataan yang selama ini luput dari perhatian banyak orang, termasuk dirinya.
Selama ini, masyarakat adat sering dipandang hanya dari sisi kebudayaannya saja: pakaian, tarian, atau ritual eksotis. Setelah mendengar pemaparan Abdon, Ia melihat sisi lain perihal bagaimana masyarakat adat terus kehilangan tanah, ruang hidup, dan suara, bahkan hingga hari ini.
“Saya jadi sadar bahwa mereka masih berjuang untuk hal-hal yang seharusnya sudah menjadi hak dasar,” lanjutnya.
Kelas ini, menurut Triveni, menjadi pengingat bahwa tulisan seorang jurnalis bisa membawa dua arah, yakni membebaskan atau justru menindas. Karenanya Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati saat menulis tentang masyarakat adat.
Demikian dengan peserta lainnya, Indah Cahyani (19), mahasiswa UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, datang ke Sekolah Jurnalisme Parboaboa dengan bayangan bahwa masyarakat adat hidup damai di tengah hutan—jauh dari hiruk pikuk kota, lepas dari ketegangan dunia luar.
“Saya pikir mereka hidup tenang, ternyata tidak. Mereka justru sangat menderita karena kapitalis yang membabat habis hutan tempat tinggal mereka," katanya pada Parboboa, Kamis (17/4/2025)
Pemahaman itu menghentaknya. Ia baru menyadari bahwa berada jauh dari pusat kota bukan berarti mereka terbebas dari luka. Justru karena hidup berdekatan dengan alam, mereka menjadi pihak pertama yang kehilangan segalanya saat pohon-pohon tumbang, saat tanah adat berubah menjadi kebun-kebun industri.
"Saya akan mengubah pola pikir saya selama ini tentang masyarakat adat, dan ingin sekali berkontribusi menulis berita tentang mereka, agar mereka lebih terlihat sehingga pemerintah akan lebih memerhatikan mereka," ungkapnya.
Baginya, jurnalisme bisa menjadi cara untuk menghidupkan kembali nama-nama disembunyikan dari peta, tempat-tempat yang dianggap tidak penting, dan suara-suara yang dibungkam.
Editor: Rin Hindryati