parboaboa

Ironi Santri Jayakan Negeri dengan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Ponpes

Faisal Bachri | Nasional | 24-10-2023

Anggota Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (Formujeres), Tsamrotul Ayu Masruroh menceritakan kisah advokasi korban yang berlangsung sejak 2018 sampai 2022. Gambar diambil pada Februari 2023. (Foto: PARBOABOA)

PARBOABOA, Jakarta - Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (Formujeres) menyoroti tema ‘santri jayakan negeri’ untuk memperingati Hari Santri Nasional setiap tanggal 21 Oktober.

Menurut Anggota Formujeres, Wahyu Agung Prasetyo, ada ironi dalam tema yang diusung saat peringatan hari santri tahun ini. Ironi tersebut dikaitkan dengan kenyataan soal maraknya kekerasan seksual yang menghantui santri di pondok pesantren.

Oleh karenanya, Wahyu mengajak santri seluruh pesantren di Indonesia untuk berani menyuarakan kebenaran, terutama bagi mereka yang mengalami pelecehan seksual.

"Selain pelaku kekerasan yang masih berkeliaran, pemerintah juga masih menggunakan berbagai pencitraan untuk menutupi ketidaktegasan menangani kasus pelecehan seksual di pesantren ini,” katanya saat dihubungi PARBOABOA, Senin (23/10/230).

Formujeres bahkan menciptakan forum, sebagai ruang aman lintas pesantren untuk korban kekerasan seksual. Forum itu, kata Wahyu untuk menampung cerita-cerita penyintas soal kekerasan seksual yang mereka alami di pondok pesantren.

“Jadi kita bikin ruang bareng. Kalau misal si penyintas belum berani speak up atau apa, yang penting ada ruang yang aman buat dia bercerita dulu gitu,” ungkap Wahyu.

Ia tak menampik, relasi kuasa di lingkungan pesantren merupakan salah satu kesulitan Formujeres menjalankan advokasi terhadap korban kekerasan seksual.

“Sulitnya kalau pesantren, kita harus manut kan, kita ngadepin pelakunya tuh macam-macam ya. Dari yang punya pondok, pimpinan, terus kyai, anak kyai, ustadz itu juga banyak,” keluh Wahyu.

Ia mengungkapkan, salah satu kasus kekerasan seksual di pesantren yang mendapatkan advokasi hingga berhasil mempidanakan pelaku adalah pemerkosaan santri oleh Moch Subchi Azal Tsani yang juga putra dari seorang kyai terkenal di Jombang. 

Moch Subchi Azal Tsani alias Bechi merupakan putra dari pemilik Pondok Pesantren Majma'al Bahroin Hubbul Wathon minal Iman Shiddiqiyyah atau yang akrab disebut dengan pesantren Shiddiqiyyah.

Bechi divonis 7 tahun penjara dalam kasus pelecehan seksual terhadap santriwati di Pengadilan Negeri Surabaya. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan JPU yang menuntutnya 16 tahun penjara.

Bechi diketahui sempat banding, namun Pengadilan Tinggi Surabaya tetap menguatkan putusan PN surabaya tersebut.

Advokasi terhadap santriwati korban Bechi ini dilakukan anggota Formujeres yang juga pendamping korban, Tsamrotul Ayu Masruroh.

Ia mengatakan, saat melakukan advokasi, ia masih duduk di kelas IX.

“Tahun 2012 itu aku sekitar umur 12 hingga 13 tahun, itu aku tahu kalau teman-temanku itu jadi korban kekerasan seksual oleh si pelaku Bechi. Itu satu orang mengalami kekerasan yang sangat parah. Dia diculik dari kami dan dia mengalami kekerasan. Dia enggak bisa keluar dari lingkaran kekerasan itu,” jelasnya kepada PARBOABOA.

Namun, Masruroh tidak menampik pelaku dikenal sebagai tokoh pemuka agama yang dihormati di kalangan masyarakat.

Selain itu, sosok Bechi dan keluarganya dianggap memiliki kekayaan dan kontribusi sosial kepada masyarakat Jombang, yang dimanfaatkan oleh pelaku sebagai modus kekerasan seksual.

Masruroh mengungkapkan, kejadian tersebut berlangsung pada 2017 dimana ia juga sempat akan dijadikan korban selanjutnya oleh pemilik klinik atau Rumah Sehat Tentrem Medical Center (RS TMC), bagian dari pesantren milik keluarga Bechi.

“Waktu itu aku jadi sekretaris klinik dan direktur pemilik klinik yang merekrut orang-orang untuk menjadi calon korban. Diseleksi dengan sangat ketat,” jelasnya.

Baru di 2018, korban berani melaporkan Bechi ke Kepolisian. Hanya saja, di tahun itu, polisi cenderung pasif, hingga akhirnya korban melapor ulang ke Kepolisian pada 2019.

"Selama proses ini juga, salah satu korban sempat mendapatkan berbagai intimidasi dan akhirnya dalam mediasi, korban dijanjikan uang Rp100 juta namun hanya menerima Rp60 juta," kata Masruroh.

Ia pun sempat mendapat kekerasan dari orang tak dikenal dan disebut tukang fitnah. 

Beruntungnya, kekerasan yang diterima Masruroh menjadi salah satu pemberat tuntutan Bechi.

“Aku sempat ditanya, didatangi enam orang. Waktu itu aku sampai benar-benar babak belur. Kepala aku kena tembok sama orang orang itu, HP ku dirampas, Aku dituduh fitnah, aku ngomong sebenarnya. Dan setelah dilerai warga, minta untuk enggak bikin onar. Akhirnya si pelaku ini kabur dan sempat mengancam ‘mungkin kamu selamat saat ini, tapi nanti malam tidak akan,” ungkap Masruroh.

Ia mengatakan, pelaku baru ditetapkan dalam daftar pencarian orang oleh polisi pada Januari 2022 dan ditangkap pada 7 Juli 2022 setelah terjadi bentrokan polisi dan jemaah Shiddiqiyyah  .

Maraknya Kekerasan Seksual karena Relasi Kuasa di Pesantren

Sementara itu, peneliti hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, Jorgiana Augustine tidak menampik kuasa pelaku ditentukan oleh relasi ekonomi, sosial, dan politiknya.

Jorgiana menyebut penelitiannya terkait penegakan hukum di Shiddiqiyyah dan Pesantren Sirojul Ulum, menemukan perlakuan hukum yang berbeda antara keduanya.

Jorgiana melihat kasus Shiddiqiyyah yang berlarut-larut sejak pelaporan 2018 sampai 2022 menunjukan kuasa pelaku yang besar.

Sementara penegakan kasus kekerasan seksual terhadap santri di Pesantren Sirojul Ulum yang hanya butuh waktu enam bulan.

Menurutnya, forum korban berfungsi untuk menampung suara dan membantu korban untuk bersuara terkait masalah kekerasan seksualnya.

Hal tersebut berkaitan erat dengan timpangnya relasi kuasa antara pelaku dan korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan berbasis agama.

“Ini jadi sarana buat kurban untuk menyatakan keresahan mereka. Karena (jika) mereka tampil secara langsung pasti kan identitasnya langsung keliatan. Kalo Formujeres adalah wadah yang mereka bikin, perkumpulan santri melawan kekerasan seksual. Jadi mereka bisa berlindung untuk menyuarakan suara yang dibungkam,” pungkas Jorgiana.

Editor : Kurniati

Tag : #hari santri nasional    #kasus kekerasan seksual    #nasional    #kekerasan seksual di ponpes    #formujares    #pondok pesantren   

BACA JUGA

BERITA TERBARU