PARBOABOA, Jakarta - Misi kemanusiaan internasional menuju Gaza kembali dibungkam paksa. Kapal Madleen, yang membawa bantuan penting dan aktivis perdamaian, dicegat secara brutal oleh pasukan laut Israel di perairan internasional.
Sebanyak 12 orang—termasuk aktivis ternama Greta Thunberg—ditangkap, memicu gelombang kecaman global termasuk dari Indonesia.
Tragedi kemanusiaan ini kembali mengingatkan dunia akan urgensi menghentikan blokade terhadap Gaza yang telah memperparah krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Kapal Madleen, yang sedang dalam misi mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, dicegat oleh pasukan militer Israel pada Minggu (8/6/2025).
Informasi ini dikonfirmasi oleh Koalisi Freedom Flotilla, organisasi internasional yang mengkoordinasikan pelayaran tersebut.
Melalui kanal Telegram resminya, mereka menyampaikan pernyataan mengkhawatirkan: “SOS! Para relawan di kapal Madleen telah diculik pasukan Israel.”
Misi damai ini berubah menjadi tragedi diplomatik saat kapal yang membawa pasokan penting untuk warga Gaza itu disergap tanpa peringatan.
Kapal Madleen bukan hanya sekadar pembawa bantuan; kapal ini menjadi simbol perlawanan damai terhadap blokade yang telah memenjarakan 2,3 juta penduduk Gaza selama lebih dari 17 tahun.
Komunikasi Terakhir dari Nakhoda
Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, menjadi saksi hidup detik-detik genting saat kapal Madleen dicegat.
Ia sedang melakukan panggilan dengan sang nahkoda ketika insiden terjadi. "Sang nahkoda meminta saya merekam," ujar Albanese, menjelaskan bahwa ia sempat mendengar suara tentara Israel sebelum komunikasi tiba-tiba terputus.
Dalam percakapan terakhirnya, nakhoda menyebut ada kapal lain yang semakin mendekat—menandakan serangan bersenjata sedang berlangsung.
Walaupun tidak ada korban luka dilaporkan saat itu, ketegangan dan potensi pelanggaran hukum laut internasional menambah ketidakpastian atas nasib para relawan.
Koalisi Freedom Flotilla menyebut bahwa kapal Madleen masih berada di wilayah laut internasional saat Israel melancarkan aksinya.
Dalam siaran langsung dari kapal sebelum komunikasi terputus, terlihat kapal dikepung oleh sejumlah unit angkatan laut Israel.
Tentara bersenjata lengkap naik ke kapal dan memerintahkan seluruh awak serta relawan untuk mengangkat tangan.
Israel berdalih kapal tersebut mendekati “zona terlarang”, namun tindakan intersepsi di perairan internasional menjadi sorotan.
Penegakan hukum internasional pun kembali dipertanyakan. Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), perairan internasional tidak dapat dijadikan alasan sah untuk penyitaan kapal sipil tanpa bukti kuat pelanggaran hukum maritim.
Muatan Kemanusiaan untuk Gaza
Freedom Flotilla telah merancang pelayaran ini dengan detail dan tekad tinggi. Kapal Madleen yang panjangnya mencapai 18 meter membawa muatan vital: susu formula bayi, beras, tepung, popok, alat pemurni air, obat-obatan, kruk, hingga prostetik untuk anak-anak korban konflik.
Bantuan ini merupakan bentuk nyata solidaritas global terhadap rakyat Gaza yang kini hidup dalam kondisi krisis pangan dan kesehatan yang parah.
Laporan PBB terbaru mencatat bahwa lebih dari 50% anak-anak Gaza menderita kekurangan gizi, dan akses terhadap air bersih hampir sepenuhnya terputus sejak meningkatnya agresi militer Israel sejak Oktober 2023.
Misi Madleen seharusnya menjadi jembatan kemanusiaan—namun justru berakhir sebagai sandera kekerasan geopolitik.
Diketahui, Kapal Madleen meninggalkan Pelabuhan San Giovanni Li Cuti di Catania, Sisilia, Italia Selatan pada 1 Juni 2025.
Di dalamnya terdapat 12 awak, terdiri atas 11 aktivis dan satu jurnalis. Nama-nama yang ikut dalam misi ini bukan nama sembarangan. Aktivis iklim Greta Thunberg dari Swedia, anggota Parlemen Eropa Rima Hassan yang berdarah Prancis-Palestina, serta jurnalis Omar Faiad dari Al-Jazeera Mubasher turut bergabung.
Mereka ditemani oleh Yasemin Acar (Jerman), Baptiste Andre, Pascal Maurieras, Yanis Mhamdi, dan Reva Viard (Prancis), Thiago Avila (Brasil), Suayb Ordu (Turki), Sergio Toribio (Spanyol), dan Marco van Rennes (Belanda).
Misi ini memperlihatkan wajah solidaritas lintas negara dan generasi, menantang langsung kebijakan blokade Israel dengan keberanian moral.
Indonesia Bereaksi
Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, menyampaikan kecaman tegas terhadap tindakan Israel.
Dalam pernyataan di akun resmi X pada Selasa (10/6), Sugiono menulis, “Saya mengecam keras intersepsi kapal Madleen oleh Israel di perairan internasional saat mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza.”
Ia menilai tindakan Israel sebagai bentuk pelanggaran nyata terhadap hukum internasional. Terlebih lagi, Israel mengabaikan perintah Mahkamah Internasional (ICJ) yang mewajibkan negara itu menjamin kelangsungan bantuan ke Gaza.
Sugiono juga menyebut blokade darat dan laut Israel sebagai “hukuman kolektif” yang memperparah krisis kelaparan massal di wilayah tersebut.
Sugiono mengapresiasi keberanian para aktivis yang mencoba membuka jalur laut bagi bantuan kemanusiaan.
Namun, ia menegaskan bahwa fokus utama tetap harus pada pembukaan akses bantuan melalui darat yang jauh lebih vital dan efisien.
Menurutnya, jalur darat adalah urat nadi utama pengiriman bantuan dalam skala besar.
Ia juga berjanji akan kembali menyuarakan tuntutan pembukaan seluruh akses bantuan ke Gaza dalam forum internasional, termasuk dalam KTT Palestina mendatang di New York.
“Komunitas internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB, harus bertindak tegas: lindungi warga sipil dan adopsi resolusi untuk akhiri blokade dan jamin akses kemanusiaan,” tegas Sugiono.