PARBOABOA, Jakarta - Sikap paradoks terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi penghayat kepercayaan masih mewarnai Indonesia di sepanjang 2023.
Hal itu dibahas dalam 'Laporan dan Refleksi Akhir Tahun Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan 2023', yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB), di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2023).
Ketua Program Studi The Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Samsul Maarif, menyampaikan ada kemajuan dalam hal peraturan terkait penghayat, namun di sisi lain ada juga yang mempertahankan paradigma lama yang diskriminatif.
Samsul menjelaskan, terdapat dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menekankan kesetaraan penghayat kepercayaan dan agama-agama.
Pertama yaitu, Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 tentang Undang-undang Pencegahan Penodaan Agama(No.1/PNPS/1965). Sekalipun permohonan judicial review ditolak terhadap UU tersebut, namun aturan itu menegaskan bahwa negara tidak memiliki wewenang untuk mengakui agama tertentu, misalnya enam agama.
"Karena beragama adalah hak alami bagi setiap warga negara," papar Samsul.
Kedua, yaitu Putusan MK 97/PUU-XIV/2016 terkait pengosongan kolom agama di KTP yang memutuskan bahwa pasal yang diuji tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang agama tidak dimaknai sebagai termasuk kepercayaan.
Dari sisi peraturan perundang-undangan, pertanyaan bahwa apakah kepercayaan serupa dengan agama, atau berbeda dari agama, termasuk hak KBB yang melekat padanya, belum terjawab secara tegas dan kongkrit.
Akibatnya kata Samsul, perlindungan dan pemenuhan hak KBB bagi penghayat kepercayaan terus mengundang kontroversi dari kalangan aparat negara dan publik.
Menurutnya, KUHP 2023 yang berlaku pada tahun 2026 itu turut mempertimbangkan kedua Putusan MK tersebut. Hal itu terlihat dalam pasal-pasal tindak pidana terhadap agama atau kepercayaan, di mana pemeluk agama dan penghayat kepercayaan memiliki posisi yang setara.
Termasuk, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Penganut agama dan penghayat kepercayaan memiliki hak, kepentingan dan tanggung-jawab yang setara.
Tumpang Tindih Regulasi
Di sisi terdapat Perpres Nomor 12 Tahun 2023 tentang Kementerian Agama menekankan kembali bahwa Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama yang hanya mengurusi enam agama yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Perpres tersebut berbeda dengan dua Perpres sebelumnya, di mana Perpres 12/2023 tidak mempertimbangkan dua Putusan MK tersebut. Alhasil, agama-agama lain seperti Bahai, Yahudi, Zoroaster dan laininya, termasuk kepercayaan, tidak mendapatkan jaminan pemenuhan hak KBB dari negara.
Senada dengan Perpres ini, terdapat juga dua Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) yang dinilainya cenderung mempertentangkan antara agama dan kepercayaan, yaitu Raperpres Kerukunan Umat Beragama (KUB) dan Raperpres Percepatan Pemenuhan Hak Kepercayaan dan Masyarakat Adat (KMA).
"Raperpres KUB hanya akan mengatur hak-hak dari enam agama karena kepercayaan dipahami sebagai bukan agama tetapi kebudayaan," tegas Samsul.
Termasuk Raperpres KMA hanya akan mengatur pemenuhan hak ekspresi budaya, dalam hal ini tidak termasuk ekspresi keagamaan atau kepercayaan dari penghayat kepercayaan dan masyarakat adat.
Peraturan tersebut memang terkesan membangun komitmen dalam menjalankan tugas layanan pemenuhan hak warga, khususnya kepercayaan, aparat negara terkait tampak partisan.
Namun di sisi lain tidak sedikit penghayat kepercayaan ragu mengakses KTP kepercayaan, adapun mereka yang terpaksa mengubahnya di samping mendapatkan stigma syirik, tidak loyal atau penakut.
Belum lagi soal layanan pendidikan kepercayaan yang telah diperjuangkan sejak 2016, kemudian mengkhawatirkan tempat pemakamannya, hingga membangun sendiri tempat ibadahnya sendiri tanpa bantuan negara.
Kedua penyusunan Raperpres KUB dan KMA kata Samsul, seharusnya perlu melakukan koordinasi lebih komprehensif demi menghindari pertentangan peraturan ke depannya.
Selain itu kedia Raperpres tersebut harus merujuk pada Perpres Nomor 58 Tahun 2023 tentang Moderasi Beragama, KUHP 2023, dan Putusan-Putusan MK terkait. Hal itu demi peraturan perundang-undangan semakin sinkron.
“Dan komitmen negara untuk pemenuhan hak KBB bagi penghayat kepercayaan dan penganut agama selain enam agama yang diurus Kementerian Agama dapat semakin menguat,” tegasnya.
Diperlukan juga sinkronisasi berbagai peraturan, khususnya memberikan efek jera kepada pelanggar hak penghayat kepercayaan dan kelompok agama lainnya.