PARBOABOA, Jakarta - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) resmi mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan pemanfaatan kayu hanyut akibat banjir di sejumlah wilayah Sumatera.
Kebijakan ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk mempercepat pemulihan daerah terdampak, sekaligus memastikan bahwa setiap langkah tetap berada dalam koridor hukum dan pengawasan yang ketat.
Dalam keterangannya, Selasa (9/12/2025) di Jakarta, Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kemenhut, Laksmi Wijayanti, menjelaskan bahwa tumpukan material kayu yang terbawa arus banjir dan mengendap di berbagai titik lokasi bencana sebenarnya dapat menjadi sumber daya penting bagi masyarakat.
Kayu-kayu tersebut bisa dipakai untuk kebutuhan darurat, mulai dari pembangunan hunian sementara, perbaikan fasilitas umum, hingga penyediaan sarana vital lainnya.
“Bahwa pemanfaatan kayu hanyutan untuk penanganan darurat bencana, rehabilitasi dan pemulihan pascabencana, serta bantuan material untuk masyarakat terkena dampak bagi pembangunan fasilitas dan sarana prasarana, dapat dilaksanakan atas dasar asas keselamatan rakyat dan kemanusiaan,” ujar Laksmi.
Namun, Laksmi menegaskan bahwa pemanfaatan kayu ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Meski berasal dari bencana alam, kayu hanyutan tetap memiliki status legal yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Pemerintah mengategorikannya sebagai kayu temuan, sehingga seluruh mekanisme pengelolaan wajib mengikuti Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Dengan demikian, aspek ketelusuran (traceability) dan keterlacakan (provenance) harus tetap dijunjung tinggi.
Setiap pihak yang memanfaatkan kayu hanyut diwajibkan untuk melakukan pelaporan dan pencatatan resmi.
Tujuannya jelas: menutup peluang bagi oknum yang mencoba memanfaatkan situasi bencana untuk melakukan praktik pembalakan liar atau menyelundupkan kayu ilegal dengan dalih material banjir.
Di sisi lain, Kemenhut menegaskan bahwa distribusi kayu kepada masyarakat tidak boleh dilakukan secara sepihak.
Prosesnya harus bersifat lintas-lembaga dan terintegrasi. “Penyaluran pemanfaatan kayu hanyutan untuk penanganan dan pemulihan pasca bencana diselenggarakan bersama secara terpadu antara Kementerian Kehutanan dengan instansi terkait pada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan berbagai unsur aparat penegak hukum,” jelas Laksmi.
Pendekatan bersama ini tidak hanya penting untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, tetapi juga memastikan bahwa kayu benar-benar tersalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan, bukan kepada pihak-pihak yang mencoba menjadikan bencana sebagai peluang bisnis.
Sebagai langkah pencegahan tambahan, pemerintah menghentikan sementara seluruh aktivitas pemanfaatan dan pengangkutan kayu bulat dari lokasi-lokasi pemanfaatan hutan di tiga provinsi terdampak.
Kebijakan ini diberlakukan hingga muncul aturan lebih lanjut. “Kegiatan pemanfaatan dan pengangkutan kayu bulat yang berasal dari lokasi kegiatan pemanfaatan hutan di tiga provinsi tersebut dihentikan sementara,” tegas Laksmi.
Dengan berbagai langkah ini, pemerintah berharap proses pemulihan pascabencana dapat berjalan cepat, aman, dan terarah.
Kayu hanyut yang sebelumnya menjadi hambatan kini justru dapat menjadi aset berharga untuk rekonstruksi wilayah Sumatera yang terdampak banjir besar.
