PARBOABOA, Jakarta - Indonesia menjadi salah satu negara yang kerap dibanjiri kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkapkan fakta mengkhawatirkan terkait kekerasan terhadap perempuan.
Per 1 Januari 2023, tercatat sebanyak 21.886 korban kekerasan. Dari jumlah tersebut, mayoritas korban adalah perempuan, yakni 19.360 orang dan sisanya adalah laki-laki.
Sementara, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan juga menunjukkan tren kekerasan yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2023, tercatat sebanyak 289.111 kasus kekerasan yang terjadi.
Secara keseluruhan, Komnas Perempuan, lembaga layanan, dan Badan Peradilan Agama (BADILAG) mencatat terdapat 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2023.
Jika dilihat dari jenis kasus, data lembaga layanan menunjukkan kekerasan seksual cenderung mendominasi dengan 2.363 kasus atau sekitar 34,80%.
Bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan psikis (1.930 kasus atau 28,50%), kekerasan fisik (1.840 kasus atau 27,20%), dan kekerasan ekonomi (640 kasus atau 9,50%).
Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak menjadi permasalahan sosial yang serius, terutama karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.
Anggota Yayasan Jurnal Perempuan, Maria Noviyanti Meti, menjelaskan bahwa kekerasan seksual kerap dibuat pelaku dengan cara memaksa korban untuk memenuhi hasrat seksualnya.
"Pemaksaan ini sangat merugikan, terutama bagi anak-anak yang sedang berada dalam fase pertumbuhan dan perkembangan," tulisnya dalam sebuah kajian tahun 2024.
Maria juga menyoroti bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak sering kali dipicu oleh ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.
"Relasi yang timpang menyebabkan anak-anak di bawah umur kerap menjadi korban. Ini tentu dilakukan tanpa persetujuan atau melanggar norma sosial di tengah masyarakat," lanjutnya.
Deklarasi PBB tahun 1993 telah mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender yang menyebabkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis.
Definisi serupa disampaikan Komnas Perempuan, yang menegaskan bahwa kekerasan seksual adalah bentuk pemaksaan yang melibatkan ancaman dan pemaksaan salah satu pihak.
Dampak dari kekerasan tersebut sangat mengkhawatirkan, terutama bagi korban yang rentan mengalami gangguan mental serius.
Beberapa anak perempuan yang menjadi korban bahkan menghadapi frustasi berkepanjangan yang dapat menghambat masa depan mereka.
Kewenangan Penyidik
Dalam kaitannya dengan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, kedudukan penyidik memainkan peranan penting untuk memastikan perlindungan terhadap korban.
Pihak penyidik mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kewenangan tersebut antara lain, menerima laporan tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan di tempat kejadian perkara, hingga melakukan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Selain itu, penyidik juga memiliki kewenangan memanggil tersangka atau saksi untuk diperiksa, mengambil sidik jari dan foto tersangka, hingga mengundang ahli untuk membantu penyelidikan.
Tindakan lain yang dapat dilakukan oleh penyidik termasuk penghentian penyidikan apabila dianggap tidak memenuhi syarat kelanjutan perkara.
Di sisi lain, penyidik juga dibebani dengan berbagai kewajiban yang harus mereka penuhi selama proses penyelidikan dan penyidikan berlangsung.
Mereka diwajibkan untuk selalu menjunjung tinggi hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang berkaitan dengan norma-norma sosial dan budaya masyarakat.
Penyidik juga harus membuat berita acara tentang tindakan yang dilakukan, memberitahukan dimulainya atau dihentikannya penyidikan kepada penuntut umum, serta menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan secara tepat waktu.
Tidak hanya itu, jika diperlukan, penyidik juga harus melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan arahan dari penuntut umum, seperti yang diatur dalam Pasal 110 ayat (3) KUHAP.
Dalam menjalankan tugasnya, penyidik dibantu oleh penyidik pembantu, yang memiliki peran penting dalam mempercepat proses penyelidikan.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) KUHAP, penyidik pembantu diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pegawai negeri sipil tertentu sebagai penyidik pembantu.
Wewenang penyidik pembantu hampir sama dengan penyidik, kecuali dalam hal penahanan, yang hanya dapat dilakukan jika ada pelimpahan wewenang dari penyidik.
Situasi pelimpahan ini dapat terjadi jika penyidik menghadapi kendala, terutama di daerah terpencil atau situasi mendesak lainnya.
Melalui pengaturan yang ketat dalam KUHAP, baik penyidik maupun penyidik pembantu memiliki tanggung jawab yang besar untuk memastikan setiap proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan sesuai hukum yang berlaku, demi keadilan dan kepastian hukum.