PARBOABOA, Pematang Siantar – Kekhawatirannya akan berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi di masyarakat membuat Namira Sinarta Purba (23) terjun ke dunia aktivis.
Perempuan asal Dusun IX Timbang Lawan, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatra Utara (Sumut) ini aktif menjadi aktivis lingkungan sejak 2019.
Bagi Namira, isu lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerhati atau aktivis, tapi juga setiap manusia yang hidup di bumi.
"Peduli terhadap lingkungan bukan karena kita sebagai aktivis lingkungan. Namun kita harus menanamkan pemikiran jika bukan kita yang jaga, siapa lagi yang menjaganya," ujarnya kepada PARBOABOA, Sabtu (15/7/2023).
Namira mencontohkan, perilaku membakar sampah yang meski kelihatan efektif memusnahkan sampah, namun ternyata hal ini hanya akan menambah emisi karbon.
Selain itu, perilaku membuang sampah ke sungai yang hingga saat ini masih dilakukan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di tepian sungai.
“Meskipun sudah banyak wawasan tentang pengelolaan sampah yang baik dan benar, tapi tidak semua orang mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,” kesalnya.
Berangkat dari permasalahan sampah tadi, Namira lantas mendirikan sebuah Yayasan bernama Proyek Sayap Sumatra, atau yang lebih dikenal dengan istilah Project Wings of Sumatra.
Di proyek tersebut, Namira pun melibatkan relawan dan simpatisan dari Jerman. Yayasan ini merupakan lembaga non-pemerintah yang bertujuan memperjuangkan isu-isu lingkungan di Indonesia.
Perempuan kelahiran tahun 2000 tersebut bahkan menjadikan Desa Timbang Lawan sebagai proyek percontohan, terutama isu daur ulang sampah. Dengan begitu ia merasa turut mempromosikan kesadaran dan perlindungan lingkungan.
"Saat ini mitra berasal dari Sumatra Trust Bank, Preman Nasi Bungkus, Bukit Lawang Green, Green Class, Enak Compos House sebagai manajemen sampah dan kegiatan kebersihan. Simpatisan kita menerima dari negara mana saja. Saat ini Skotlandia, Amerika Serikat, Jerman, Italia dan Prancis," ungkap Namira.
Pendekatan yang ia lakukan lebih ke arah personal, yaitu dari pintu ke pintu atau door-to-door memberikan edukasi dan sosialisasi kepada setiap keluarga, mulai kepala keluarga hingga anak-anak di desanya.
Pendekatan tersebut mampu menghubungkan Namira dan warga desanya ke kegiatan yang memberdayakan ekonomi masyarakat.
"Semuanya diberitahu bagaimana cara mengelola dan memilah sampah dengan baik, termasuk memberikan edukasi kepada masyarakat bagaimana menciptakan sampah yang ber-value dan bermanfaat bagi mereka sendiri," imbuh dia.
Ajak Masyarakat Cinta Lingkungan Lewat Program Ecobrick
Jalan menuju kebaikan tidak selalu mulus. Hal itu lah yang juga dialami Namira. Apalagi ia sadar, masalah ekonomi menjadi tantangannya menjalankan tujuan ini.
Namun Namira tak pantang menyerah. Mimpinya membangun desa daur ulang terbesar di dunia pelan-pelan ia wujudkan lewat Project Wings of Sumatra. Di proyek tersebut, Namira dan masyarakat desa menyelesaikan beberapa bangunan publik yang terbuat dari batu bata ramah lingkungan atau ecobrick.
Ecobrick merupakan botol plastik yang diisi dengan sampah plastik padat dan digunakan sebagai bahan bangunan alternatif.
Saat ini, bangunan publik yang dibangun yaitu pusat pendidikan hijau, atau green education center, ruangan kerja hijau atau working office serta auditorium dan area olahraga. Seluruh bangunan public tersebut hampir selesai dibangun.
Ecobrick juga memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar, karena mereka mendapatkan insentif dari pembuatan ecobrick.
“Project Wings of Sumatra memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menghasilkan produk yang berakhir ekonomis. Mereka dibayar Rp5.500 untuk satu ecobrick seberat minimal 500 gram,” jelas Namira.
Ia juga menggalakkan bank sampah atau trash bank, di mana jika masyarakat menjadi anggota bank sampah dan menyumbangkan plastik bersih, mereka akan mendapatkan Rp1.000 per kilogram. Sementara plastik kotor dihargai sebesar Rp500 per kilogram.
Dengan cara ini, Project Wings of Sumatra, lanjut Namira, mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengumpulan dan pemilahan sampah.
"Sejak 2019 sudah ada 70 ton sampah plastik yang telah terserap dikumpulkan, dibersihkan, diproses dan digunakan kembali untuk membuat ecobrick sebagai ruang kelas anak-anak belajar, tempat para bekerja, auditorium dan akan dibangun fasilitas lainnya,” ungkapnya.
Selain berasal dari dana pribadinya dan keluarga, dana operasional Project Wings of Sumatra ini juga berasal dari donatur, hasil jualan suvenir, keuntungan paket program seperti sebagai pembicara, pengajar dan ada kotak donasi bagi pengunjung.
"Untuk per bulan biaya operasional minimal Rp100 juta, dengan jumlah lebih dari 25 orang, yang diperuntukkan sosialisasi langsung turun ke lapangan dan pengelolaan sampah yang berkelanjutan, bukan sebatas campaign di media sosial, terkhusus mengubah kultur masyarakat yang sering membuang sampah sembarangan," tuturnya.
Ada enam divisi pada program Project Wings of Sumatra ini, yaitu Divisi Konservasi, Divisi Sukarelawan, Divisi Pengelolaan Sampah, Divisi Desa Daur Ulang, Divisi Edukasi dan Divisi Kepemudaan.
Divisi-divisi itu, lanjut Namira, fokus mencetak sumber daya manusia yang handal dan peduli terhadap pelestarian lingkungan.
"Bagaimana sumber daya manusia juga kami fokuskan mampu memberikan edukasi sedini mungkin terhadap merawat lingkungan di sekitarnya," jelas dia.
Gampang-gampang Susah Jadi Perempuan Pejuang Lingkungan
Sebagai aktivis lingkungan, Namira menyadari perjuangan perempuan menyelamatkan lingkungan tidak pernah mudah.
"Menyelamatkan lingkungan itu gampang-gampang susah. Ada struggle stres, karena yang kita hadapi juga bukan satu orang, tapi orang banyak, walaupun yang kita lakukan itu hal positif, mungkin orang tidak menerima dan suka, ada gonjang ganjing yang membuat kita patah semangat, ini tidak mudah," ucapnya.
Namira menyebut, ada lapisan relasi kuasa yang harus ia lawan, sehingga perlunya pertahanan dan perjuangan berlapis. Bahkan ironisnya, lanjutnya, perjuangan berlapis ini pun tak diiringi dengan perlindungan hukum yang komprehensif.
"Para perempuan ini tidak hanya melawan para pelaku perusak lingkungan, oknum aparat penegak hukum dan pemangku kebijakan. Tapi juga sahabat, anggota komunitas bahkan kerabat sendiri. Para perempuan tidak dilibatkan dalam setiap tahapan proses keputusan hingga pengalaman perempuan yang dipandang tidak menguntungkan dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan yang seharusnya menjadi tanggung jawab semuanya, tanpa memandang gendernya apa," kesalnya.
Tidak hanya itu, Namira menjelaskan, posisi perempuan yang masih subordinat dalam pengambil keputusan dan perempuan masih dipandang hanya pemangku ruang domestik yaitu urusan pangan, rumah dan kesehatan keluarga.
Hal itu lah, kata Namira, yang menjadi hambatan perempuan untuk melakukan perlawanan dan proses menuju perlawanan itu pun diawali dengan penolakan-penolakan dari sahabat bahkan kerabat.
"Setelah berhasil melewati hambatan klise ini, para perempuan harus dihadapkan dengan upaya-upaya represif saat melakukan aksi perlawanan. Ancaman psikologis, ancaman kekerasan fisik hingga kriminalisasi," tegasnya.
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara (USU) pun tak khawatir dengan berbagai ancaman dan penolakan itu.
Menurutnya, ada Pasal 66 di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menegaskan bahwa orang-orang yang berjuang melindungi sumber daya alam dan lingkungan hidup tidak dapat digugat secara perdata maupun pidana. Meski faktanya, banyak mereka yang berjuang melindungi sumber daya alam dan lingkungan hidup tetap dijerat hukum.
"Tentu sudah menjadi keharusan negara memberikan perlindungan hukum bagi perempuan yang berjuang melindungi lingkungan hidup. Sebab hak memperoleh lingkungan yang sehat, memperoleh rasa keadilan, rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman dan kekerasan merupakan hak asasi manusia sekaligus hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi," kata Namira.
Ia lantas menambahkan, perlunya sinergitas laki-laki dan perempuan untuk mengatasi masalah lingkungan, karena pada dasarnya semua saling membutuhkan.
"Jadi, tidak ada batasan umur dan jenjang serta status sosial. Kita tahu keuntungan dari lingkungan yang bersih itu banyak dan menyelamatkan lingkungan harus berasal dari diri sendiri," pungkas Namira Sinarta Purba.