PARBOABOA, Jakarta - Perempuan seringkali menghadapi stereotip dan marginalisasi di ranah publik dan politik, khususnya selama pemilihan umum (pemilu).
Hal ini diungkapkan Direktur Institut Studi Resiliensi dan Advokasi (ISRA), Ahmad Taufiq, dalam sebuah diskusi daring pada Kamis (11/1/2024) sore.
Menurut Taufiq, perempuan sering kali dipinggirkan dan dinilai berdasarkan personalitas daripada kapasitas dan kapabilitas mereka, khususnya di media sosial dan ketika mereka maju sebagai calon legislatif (caleg).
“Peminggiran, baik itu yang sifatnya soft sampai yang hard misalnya. Di media sosialnya, perempuan yang mustinya dinilai dari sisi kapasitas dan kapabilitasnya di ranah publik itu masih saja kita menilai perempuan dari sisi personalitasnya,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa objektifikasi perempuan bukan hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi ironisnya sering diamini oleh perempuan itu sendiri.
Senada dengan Taufiq, Intan Pratiwi, peneliti ISRA, juga mengungkap bahwa diskriminasi dan labeling terhadap perempuan masih kerap terjadi.
“Itu memang kerap terjadi, bahkan tidak hanya dalam pemilu pemilihan presiden, tetapi juga biasanya di legislatif juga pemilihan kepala daerah itu juga kerap terjadi gitu,” ungkapnya.
Intan juga mengungkap hasil kajiannya dari 1258 tweet yang mengandung 1513 kata selama Pemilu 2019.
Ia menemukan beragam bentuk labelisasi terhadap perempuan, termasuk sebutan ‘janda sexy’ dan penekanan pada atribut keagamaan seperti cadar dan kerudung.
“Temuan kami menunjukkan bahwa serangan dan misinformasi yang bersifat kekerasan terhadap perempuan mencakup berbagai aspek, termasuk ideologi,” ungkapnya.
Misinformasi hingga Literasi Rendah Perparah Diskriminasi
Intan mengungkap, masalah misinformasi ini diperparah dengan adanya akun buzzer dan influencer yang sering kali menyebarluaskan informasi salah atau menyesatkan.
“Pertama faktor pengaruh mis informasi. Memang kita nggak bisa pungkiri ya kalo lagi pemilu ini kan akun buzzer dan influencer itu kan banyak sekali ya mendapatkan project project ini gitu,” katanya.
Akun-akun tersebut, menurut Intan dapat memberikan kebingungan bagi khalayak untuk mendapatkan informasi yang benar akuntabel.
“Itu juga jadi misinformasi gitu. Kita kesulitan untuk mendapati, mana nih yang bisa kita percaya dan bisa Informasi yang bisa kita jadikan acuan,” jelasnya.
Selain itu, ia menekankan bahwa rendahnya literasi digital dan kesadaran politik di kalangan masyarakat memudahkan penyebaran misinformasi.
“Didukung juga dari literasi warga, literasi masyarakat kita, netizen kita yang emang rendah, literasi baca yang rendah, informasi tingkat pendidikan dan awareness terhadap situasi politik dan situasi masyarakat juga menjadi pengaruh,” paparnya.
Intan menambahkan, situasi menjadi semakin sulit bagi caleg perempuan yang menghadapi perundungan dan misinformasi, terutama ketika mereka perlu merespons atau membantah informasi yang menyesatkan.
“Mereka sering kali terjebak dalam situasi di mana mereka harus memilih antara mengklarifikasi misinformasi atau melanjutkan kegiatan kampanye yang padat, seperti bertemu dengan konstituen atau mengurus berbagai dokumen yang rumit,” jelasnya.
Politik Patriarkis Sebabkan Kekerasan Perempuan dalam Pemilu
Olivia Chadidjah dari Komnas Perempuan menyoroti bagaimana struktur sosial dan politik yang didominasi patriarki seringkali membuat perempuan menjadi sasaran kekerasan dan diskriminasi, terutama selama proses pemilu.
"Dalam lingkungan politik yang didominasi patriarki, perempuan yang berkecimpung di politik sering kali diragukan identitas dan kemampuannya. Apakah mereka sudah siap atau apakah mereka akan membuat kesalahan?" kata Olivia.
Ia menjelaskan bahwa situasi ini sering kali berakar pada pemahaman domestifikasi yang kuat dan menimbulkan berbagai bentuk misinformasi tentang perempuan.
Menurutnya, ini mengarah pada berbagai bentuk kekerasan potensial terhadap perempuan, seperti kekerasan struktural, sosial, dan narasi yang bias gender.
"Contoh kekerasan struktural termasuk kebijakan pemerintah yang tidak mendukung keterlibatan penuh perempuan dalam politik dan masih membatasi peran mereka," ungkap Olivia.
Ia menyebut, politik yang patriarkis juga potensi kekerasan berdimensi sosial "Misalnya, kasus di mana caleg perempuan ditolak oleh masyarakat karena prasangka terhadap status perkawinan atau pakaian yang tidak sesuai dengan tafsir agama tertentu.”
Terakhir, ia menyoroti kekerasan naratif atau tekstual yang bias gender yang dapat berdampak pada kekerasan fisik perempuan.
"Ini termasuk narasi di media massa atau yang disampaikan oleh tokoh agama yang bisa berujung pada kekerasan fisik, seperti pemukulan atau bahkan pembunuhan, yang semata-mata ditujukan untuk menghalangi perempuan tampil di pemilu," ucapnya.
Karena itu, ia menuntut pemerintah dan partai politik untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan aman bagi perempuan dalam politik.
Dukungan tersebut termasuk melalui pendidikan politik dan sistem perlindungan bagi korban kekerasan berbasis gender.