PARBOABOA - Laut Bercerita karya Leila S. Chudori mengajak pembaca seolah berada di dalam masa kelam di Indonesia pada era Orde Baru.
Melalui kisah yang berani dan penuh emosi, Leila berhasil menciptakan sebuah cerita yang membangkitkan rasa simpati terhadap nasib para aktivis yang berjuang di tengah represi politik.
Novel ini menggambarkan bagaimana cita-cita besar yang diperjuangkan oleh anak-anak muda terpaksa harus dihadapi dengan kenyataan pahit, yaitu penculikan, penyiksaan, dan penghilangan paksa oleh aparat negara.
Cerita ini berfokus pada tokoh Biru Laut, seorang mahasiswa yang penuh idealisme, yang bergabung dengan kelompok bawah tanah bernama Winatra.
Kelompok ini berfokus untuk memperjuangkan kebebasan berekspresi, yaitu dengan sesuatu hal yang sangat berbahaya di masa itu.
Laut bersama teman-temannya memanfaatkan ruang-ruang diskusi untuk membangkitkan kesadaran politik masyarakat. Melalui kajian-kajian sastra dan buku-buku yang dilarang, seperti karya Pramoedya Ananta Toer, mereka berusaha menggugat narasi kekuasaan yang menindas.
Namun, perjuangan yang dilakukan tersebut tak luput dari ancaman. Di mana, tak lama kemudian, aktivitas mereka diendus oleh aparat keamanan, yang tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk membungkam perlawanan.
Saat Biru Laut dan teman-temannya mulai menjadi sasaran aparat, suasana dalam cerita perlahan berubah menjadi lebih tegang. Karena, mereka mengalami berbagai bentuk intimidasi hingga akhirnya diculik secara misterius.
Kehilangan nyawa dan ketidakpastian menjadi harga yang mereka bayar demi sebuah perubahan yang belum tentu tercapai. Leila menggambarkan proses penculikan ini dengan cara yang menggugah emosi, tetapi tetap memberikan ruang bagi pembaca untuk merenung tanpa harus dihadapkan pada eksploitasi penderitaan.
Lalu, di sisi lain cerita ini, ada Asmara Jati, adik dari Biru Laut, yang menjadi simbol dari keluarga-keluarga korban penculikan yang tak pernah berhenti mencari keadilan.
Asmara tumbuh dengan rasa kehilangan yang mendalam, namun tetap memelihara harapan akan kepastian nasib kakaknya.
Karakter Asmara ini memberikan perspektif lain dalam novel, yakni bagaimana sebuah keluarga menghadapi trauma berkepanjangan ketika salah satu anggotanya hilang tanpa jejak.
Perempuan dengan nama lengkap Leila Salikha Chudori ini berhasil mengangkat rasa perih yang dirasakan oleh keluarga-keluarga korban penghilangan paksa, menjadikannya suara yang penting di tengah ingar-bingar sejarah politik yang kerap melupakan sisi kemanusiaan.
Asmara bukan hanya menggambarkan rasa kehilangan, tetapi juga tekad untuk menemukan kebenaran. Bersama keluarga-keluarga lain, ia bergabung dalam sebuah organisasi yang mengadvokasi kasus-kasus penghilangan paksa.
Perjuangan Asmara dan kelompoknya menghadirkan dinamika baru dalam narasi, di mana upaya mencari keadilan seringkali terhambat oleh tembok besar kekuasaan.
Namun, meskipun tantangan yang dihadapi begitu besar, Asmara tidak pernah menyerah. Ia terus maju, membawa harapan dan tekad untuk mengungkap misteri hilangnya sang kakak, dan pada saat yang sama memperjuangkan hak-hak keluarga korban lain.
Dalam perjalanan ceritanya, Laut Bercerita juga membawa kita masuk lebih dalam ke hubungan kakak-adik antara Biru Laut dan Asmara. Kedekatan emosional mereka ditampilkan dengan halus, tetapi terasa begitu nyata.
Leila menghadirkan interaksi-interaksi kecil antara kedua tokoh ini yang menggambarkan cinta, rasa hormat, dan kekaguman satu sama lain, meskipun mereka jarang mengungkapkannya secara eksplisit.
Keterikatan ini menjadikan Asmara bukan hanya sekadar tokoh pendukung, tetapi pusat dari alur pencarian yang emosional.
Melalui sudut pandang Asmara, kita diajak menyelami rasa sakit yang dialami keluarga yang harus hidup dalam ketidakpastian.
Di mana pada saat tulang-belulang manusia ditemukan di sebuah pulau terpencil, Asmara dihadapkan pada dilema emosional yang berat: apakah ia harus menerima kenyataan jika jasad kakaknya ada di antara yang ditemukan, atau terus berharap bahwa Laut masih hidup? Leila berhasil menyajikan momen-momen ini dengan penuh empati, tanpa harus berlebihan.
Penderitaan yang digambarkan dalam novel tidak terasa melodramatis, tetapi hadir dengan kuat dalam setiap keheningan yang dirasakan oleh tokoh-tokohnya.
Selain ceritanya yang kuat, Laut Bercerita juga dipenuhi oleh gaya penulisan Leila yang khas. Dengan bahasa yang puitis tetapi tetap lugas, ia berhasil menciptakan suasana yang menghantui sekaligus menyentuh.
Setiap detail dalam narasi ini memiliki tujuan yang jelas, setiap dialog dirangkai dengan hati-hati sehingga terasa alami.
Pembaca tidak hanya diajak memahami peristiwa sejarah, tetapi juga merasakan intensitas emosi yang dirasakan oleh para karakter dalam setiap halaman. Kekuatan ini menjadikan Laut Bercerita lebih dari sekadar novel sejarah, tetapi juga sebuah karya yang hidup dan bernafas dengan cerita-cerita para korban.
Melalui karakter Biru Laut dan Asmara Jati, Leila S. Chudori menggambarkan perjuangan yang tak berkesudahan, baik itu dalam upaya meraih kebebasan maupun dalam pencarian keadilan.
Novel ini mengingatkan kita pada sisi gelap sejarah yang kerap terlupakan, tetapi dengan cara yang tidak pernah membiarkan kita tenggelam dalam keputusasaan. Meski tragedi meliputi seluruh alur cerita, ada juga secercah harapan yang muncul dari kekuatan cinta keluarga dan tekad manusia untuk tidak menyerah pada ketidakadilan.
Di dalam Laut Bercerita, Leila tidak hanya membawa kita menyelami sisi kelam sejarah Indonesia, tetapi juga menyalakan api harapan melalui suara-suara yang bertahan.
Pesan utama dari novel ini, bahwa kebenaran harus terus diperjuangkan meskipun terbungkus dalam gelapnya kekuasaan, yang terasa relevan hingga hari ini.
Karakter-karakternya bukan hanya sekadar simbol perjuangan, tetapi representasi dari keberanian manusia untuk mempertahankan kemanusiaan mereka di tengah kekejaman.
Penulis: Luna
Editor: Wanovy