parboaboa

Liga Arab Cabut Status Teroris Hizbullah, Apa Dampaknya?

Defri Ngo | Internasional | 01-07-2024

Negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab (Foto: alecso.org)

PARBOABOA, Jakarta - Liga Arab resmi mencabut status kelompok milisi Hizbullah dari daftar organisasi teroris pada Sabtu (29/06/2024) lalu. 

Dalam pernyataan yang disiarkan Al-Qahera News Channel, Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab, Hossam Zaki mengungkapkan bahwa organisasi tersebut tidak lagi melabeli Hizbullah sebagai kelompok teroris.

Menurut Zaki, negara anggota Liga Arab setuju bahwa label Hizbullah sebagai kelompok teroris tidak boleh lagi digunakan.

Ia menegaskan, Liga Arab kini tidak lagi menyimpan daftar teroris dan tidak secara aktif berupaya untuk menunjuk entitas sebagai teroris.

Liga Arab pertama kali memasukkan Hizbullah ke dalam daftar organisasi teroris pada 11 Maret 2016. 

Saat itu, Liga Arab mendesak Hizbullah untuk berhenti mempromosikan ekstremisme dan sektarianisme, serta menghentikan campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain dan tindakan melanggar hukum.

Pencabutan status ini terjadi setelah kunjungan Hossam Zaki ke Beirut pada Jumat (28/6), di mana ia bertemu dengan Muhammad Raad, kepala blok Loyalitas terhadap Perlawanan yang berafiliasi dengan Hizbullah. 

Pertemuan tersebut merupakan kontak langsung pertama antara Liga Arab dan Hizbullah dalam lebih dari satu dekade.

Pertemuan ini membahas beberapa isu utama, termasuk meredakan ketegangan di Lebanon selatan akibat agresi Israel di Gaza dan mengatasi kekosongan jabatan presiden di Lebanon yang telah berlangsung selama lebih dari 19 bulan.

Perbatasan Israel-Lebanon belakangan ini mengalami ketegangan setelah tewasnya Taleb Abdallah, komandan senior Hizbullah di Lebanon selatan. 

Israel telah menyetujui rencana perang dengan Hizbullah, sementara Hizbullah menantang balik Israel dan menyatakan solidaritas dengan Hamas di Gaza.

Dengan pencabutan status teroris ini, Liga Arab berharap dapat membuka jalan untuk dialog lebih lanjut dan meredakan ketegangan di kawasan tersebut.

Sejarah dan Tujuan Liga Arab

Liga Arab adalah organisasi regional negara-negara Arab di Timur Tengah dan sebagian Afrika. 

Organisasi ini didirikan di Kairo pada 22 Maret 1945 sebagai perwujudan dari semangat Pan-Arabisme. 

Negara-negara anggota pendiri Liga Arab meliputi Mesir, Suriah, Lebanon, Irak, Transyordania (sekarang Yordania), Arab Saudi, dan Yaman. 

Seiring berjalannya waktu, keanggotaan Liga Arab terus bertambah dengan masuknya negara-negara seperti Libya (1953), Sudan (1956), Tunisia dan Maroko (1958), Kuwait (1961), Aljazair (1962), dan beberapa negara lainnya hingga Komoro pada 1993.

Setiap anggota Liga Arab memiliki satu suara di Dewan Liga dan keputusan hanya mengikat negara-negara yang memilih untuk mendukungnya. 

Tujuan utama Liga Arab saat didirikan adalah untuk memperkuat dan mengoordinasikan program politik, budaya, ekonomi, dan sosial anggotanya, serta menengahi konflik di antara mereka atau dengan pihak ketiga. 

Penandatanganan perjanjian tentang kerja sama pertahanan dan ekonomi bersama pada 13 April 1950 mengharuskan para penandatangan untuk mengoordinasikan langkah-langkah pertahanan militer mereka.

Dinamika Politik Liga Arab

Pada awal pendiriannya, Liga Arab fokus pada program ekonomi, budaya, dan sosial. 

Pada 1959, Liga Arab mengadakan kongres perminyakan Arab pertama dan mendirikan Organisasi Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Liga Arab (ALECSO) pada 1964.

Meskipun mendapat keberatan dari Yordania, Liga Arab memberikan status pengamat kepada Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai perwakilan seluruh rakyat Palestina pada 1964 yang kemudian ditingkatkan menjadi keanggotaan penuh pada 1976.

Di bawah kepemimpinan Mahmoud Riad, sekretaris jenderal ketiga (1972-1979), aktivitas politik Liga Arab meningkat. 

Namun, organisasi ini seringkali dilemahkan oleh perselisihan internal, terutama yang berkaitan dengan isu Israel dan Palestina. 

Ketika Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 26 Maret 1979, negara-negara anggota Liga Arab lainnya menangguhkan keanggotaan Mesir dan memindahkan kantor pusat Liga Arab dari Kairo ke Tunis. 

Mesir kemudian kembali menjadi anggota Liga Arab pada 1989, dan kantor pusat Liga Arab dikembalikan ke Kairo pada tahun 1990.

Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 dan keterlibatan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dalam mengusir Irak dari Kuwait, menimbulkan perpecahan di dalam Liga Arab. 

Negara-negara seperti Arab Saudi, Mesir, Suriah, Maroko, Qatar, Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab, Lebanon, Djibouti, dan Somalia mendukung kehadiran pasukan asing di Arab Saudi, dengan beberapa di antaranya memberikan dukungan militer.

Liga Arab juga harus beradaptasi dengan perubahan politik yang cepat di dunia Arab saat gelombang protes yang dikenal sebagai Musim Semi Arab melanda beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara pada akhir 2010 dan awal 2011. 

Pada Februari 2011, Liga Arab menangguhkan partisipasi Libya akibat kekerasan yang dilakukan oleh rezim Muammar al-Qaddafi terhadap pemberontakan di Libya. 

Pada Maret, Liga Arab mendukung penerapan zona larangan terbang untuk melindungi pihak oposisi dari serangan udara oleh pasukan loyalis Qaddafi. 

Partisipasi Libya di Liga Arab dipulihkan pada Agustus di bawah Dewan Nasional Transisi (TNC) setelah Qaddafi digulingkan.

Pada 2011, ketika pemberontakan di Suriah semakin memanas, Liga Arab mencapai kesepakatan dengan pemerintah Suriah untuk mengakhiri kampanye berdarah terhadap pengunjuk rasa. 

Namun, kurang dari dua minggu kemudian, Liga Arab menangguhkan partisipasi Suriah setelah pasukan Suriah terus melakukan kekerasan meskipun ada perjanjian. 

Penangguhan ini berlangsung selama 12 tahun hingga 2023, ketika pemerintahan Presiden Bashar al-Assad dikembalikan ke Liga Arab dengan konflik yang sebagian besar terbatas di wilayah barat laut Suriah.

Editor : Defri Ngo

Tag : #Liga Arab    #Teroris Hizbullah    #Internasional    #Sejarah Liga Arab    #Tujuan Liga Arab    #Siapa Teroris Hizbullah   

BACA JUGA

BERITA TERBARU