PARBOABOA, Pematangsiantar - Mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohamad merasa ketidakstabilan politik di negaranya dipicu oleh seringnya pergantian kepemimpinan pemerintah.
Dan hal itu menurutnya menjadi alasan mengapa 'Negeri Jiran' tidak lagi dihormati oleh negara lain.
Politisi 96 tahun itu juga mengungkap, banyaknya pembelotan dalam pembentukan pemerintahan Perikatan Nasional maupun Barisan Nasional menyebabkan posisi Ismail Sabri Yaakob sebagai perdana menteri diperdebatkan.
Kondisi ini yang menurut Mahathir membuat negara-negara tertentu tidak memperlakukan posisi perdana menteri secara layak, dikutip dari laman The Star, Selasa (12/4/2022).
“Ini menunjukkan, RUU anti-hopping (anti-lompatan) partai harus disahkan, tapi seharusnya hanya terbatas pada anggota parlemen terpilih dan anggota dewan negara bagian, bukan warga biasa,” kata Mahathir, saat debat di Parlemen Dewan Rakyat, Senin.
RUU anti-hopping diajukan dengan tujuan mencegah politikus dari partai tertentu untuk menyeberang ke partai politik lain setelah mendapatkan kursi parlemen dalam pemilu.
Lebih lanjut Mahathir mengatakan, UU anti-hopping juga menjamin hak individu untuk berserikat.
Sebanyak 65 anggota parlemen telah terdaftar untuk memperdebatkan amandemen Pasal 10 UU Federal di Parlemen hari ini untuk memungkinkan pengesahan aturan baru yang melarang anggota parlemen berpindah partai.
Saat ini, pemerintahan Ismail Sabri beranggotakan koalisi gabungan Perikatan Nasional dan Barisan Nasional.
Pengangkatan Ismail Sabri dilakukan menyusul pengunduran diri mantan perdana menteri Sri Muhyiddin Yassin pada Agustus 2021 setelah 17 bulan berkuasa.
Pemerintah Perikatan Nasional yang dipimpin Muhyiddin berkuasa setelah Gerakan Sheraton pada Februari 2020, di mana 11 anggota parlemen Partai Keadilan Rakyat (PKR) pimpinan Anwar Ibrahim dan Partai Pribumi Bersatu Malaysia keluar dari Pakatan Harapan, mengakibatkan berakhirnya pemerintahan yang dipimpin Mahathir.