Melacak Rantai Pasok Peredaran Obat Keras Ilegal di Jabodetabek

Obat keras atau Obat golongan G jenis tramadol dan hexymer yang didapatkan begitu mudah di sejumlah daerah DKI Jakarta. (Foto: Tim Parboaboa)

PARBOABOA - Dony, sebut saja begitu, masih ingat betul bagaimana ia bisa terjebak dalam pusaran ketergantungan obat-obat keras.

Semua bermula pada 2011 silam. Beberapa sahabat memperkenalkannya obat-obatan daftar G (gevaarlijk). Ia pun tergoda. Pria paruh baya itu mulai mengecap sensasi psikotropika di luar kendali medis.

"Dulu teman-teman yang kenalkan, lalu coba-coba dan terus ketagihan," cerita Dony kepada Parboaboa medio Agustus lalu.

Obat-obatan daftar G, seperti tramadol, triheksifenidil, klorpromazin, amitriptilin, haloperidol, dan dekstrometorfan, termasuk dalam kategori obat keras dan psikotropika golongan IV. 

Biasanya, obat-obatan ini ditandai dengan label lingkaran merah yang memiliki garis tepi hitam dan huruf K berwarna hitam di bagian tengah.

Penggunaannya, mengacu Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 02396/A/SK/VIII/1989, hanya dibolehkan setelah mengantongi resep dokter.

Dony awalnya mencoba mengkonsumsi triheksifenidil. Efeknya luar biasa. Ia merasakan halusinasi, kebingungan hingga kerap kehausan. 

“Bawaannya seret terus bang, pengen minum,” jelas Dony.

Jika digunakan dalam dosis yang tinggi, triheksifenidil dapat menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, konstipasi, dan kesulitan buang air kecil. 

Seakan tak kapok, Dony mulai menggunakan beberapa obat-obatan daftar G lainnya. Tramadol menjadi pilihan favorit pria berdarah Sunda itu.

Menurutnya, tramadol punya efek yang berbeda. Mengkonsumsi dodol, begitu ia menyebutnya, bisa mengontrol emosi. Dony jauh lebih tenang.

Sebagai kurir pada salah satu jasa pengiriman barang di Jakarta, tramadol menjadi doping yang memompa stamina. Ia mampu beraktivitas sepanjang hari tanpa merasakan sakit dan kelelahan berlebihan.

Bahkan untuk urusan ranjang, pria berkulit sawo matang itu menenggak tramadol sebagai pemacu adrenalin saat sedang bercinta.

“Apalagi kalau mau ‘gituan’ sama istri dan saya lagi lemas, istri nyuruh saya makan itu (tramadol),” jelasnya sambil tertawa. 

Dony tak punya standar takaran ketika hendak memakai tramadol. Jika mood-nya lagi turun, ia bisa mengkonsumsi dalam jumlah yang besar. 

“Pernah makan habis 10 butir dalam satu hari,” katanya.

Mendapatkan obat-obatan tipe G ilegal di Jakarta tak begitu sulit bagi Dony. Ia cukup membeli ke warung kosmetik dekat tempat tinggalnya tanpa perlu menunjukkan resep dokter.

Harganya juga terbilang murah. Dony hanya butuh merogoh kocek Rp30 ribu hingga Rp50 ribu untuk mendapatkan satu renteng tramadol berisi 10 butir. 

Di tahun-tahun awal memakai tramadol, harganya bahkan jauh lebih ekonomis, hanya Rp10 ribu per renteng. Sempat mengalami kenaikan drastis pada tahun 2021, mencapai Rp100 hingga Rp200 ribu per renteng. 

“Itu naik waktu kasus Ferdy Sambo kemarin, bang,” ucapnya.

Di balik sensasi yang dirasakan, efek tramadol ternyata cukup parah. Dony mengalami gatal-gatal di sekujur badan hingga menimbulkan banyak bekas luka. Bentuknya seperti ruam yang menyebar dari punggung hingga ke bagian paha.

Awalnya, Dony mengira gatal-gatal yang ia alami akibat pengaruh mistis orang-orang yang tak menyukainya. Setelah mengobrol dengan beberapa teman sesama pemakai, mereka ternyata mengalami gejala serupa.

Ia pernah mencoba kembali hidup normal, memotong mata rantai ketergantungan. Reaksi tubuhnya malah makin parah. Dony terpaksa memutuskan untuk tetap mengkonsumsi obat tersebut.

“Susah bang, pernah nyoba berhenti tapi badan pada pegal dan ngilu,” katanya.

Peredaran obat-obatan ilegal kategori berbahaya di wilayah Jabodetabek rupanya masih sulit dibendung. Dari Januari hingga Agustus 2023, Polda Metro Jaya mengungkap 22 kasus peredaran obat keras ilegal dengan total transaksi mencapai Rp45 miliar. 

Selama periode tersebut, sebanyak 231.662 butir obat keras ilegal, termasuk hexymer (39.185 butir), tramadol (11.383 butir), dan alprazolam (31.993 butir) yang berhasil disita aparat.

Badan Narkotika Nasional (BNN) juga berhasil menyita 1,7 juta butir obat keras selama periode Oktober-Desember 2023.

Sejumlah penjual menjajakan obat keras atau obat golongan G jenis tramadol di sekitar kawasan Museum Tekstil, Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Foto: Tim PARBOABOA)

Sementara jumlah kasus obat keras kategori G di Indonesia, mengacu laporan Indonesia Drug Report BNN 2023, mencapai 829 kasus. Sebanyak 979 ditetapkan sebagai tersangka. 

Angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 1.201 kasus, dengan 1.256 orang menjadi pelaku. Pada 2021, jumlah kasus mencapai 1.245, dengan 1.584 ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam laporan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri tahun 2023, total kasus tahunan penjualan dan pengedaran obat secara ilegal di Indonesia mencapai 3.330 kasus. 

Polri mencatat penyitaan obat keras tipe G ilegal dalam jumlah yang signifikan. Pada 2023, sebanyak 11,87 juta tablet berhasil diamankan sebagai barang bukti. 

Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2022, dimana Polri berhasil menyita sebanyak 16,477 juta tablet. Sebelumnya, pada tahun 2021, sebanyak 3,387 juta tablet yang disita.

Penelusuran Parboaboa pada beberapa titik di wilayah Jabodetabek mengkonfirmasi masifnya peredaran obat keras ilegal di tengah upaya aparat memutus rantai distribusi.

Di Cileungsi, Kabupaten Bogor, misalnya. Pada Mei 2024, sebuah warung berkedok kosmetik yang menjual obat keras pernah digrebek polisi.

Awal Agustus lalu, Parboaboa ke lokasi untuk memastikan apakah warung tersebut masih beroperasi. Terpantau, meskipun warung kosmetik itu tampak tutup, banyak pemuda terlihat bolak-balik di sekitar area.

Parboaboa berinteraksi dengan beberapa pemuda dan menyamar sebagai pembeli. Mereka lalu mengajak masuk ke dalam lorong sempit tepat di samping warung.

Jual beli terjadi di sana. Transaksi dilakukan dengan sangat cepat. Beberapa pemuda lain tampak berjaga-jaga di depan gang untuk memantau situasi. 

Satu strip tramadol seharga Rp50 ribu berhasil dibeli. Tak banyak informasi yang dihimpun. Penjual yang sibuk melayani para pembeli lain, enggan menjawab pertanyaan Parboaboa.

Praktik serupa juga terjadi di Rawamangun. Lokasinya berada tak jauh dari salah satu kampus negeri di wilayah itu. Seperti di Cileungsi, tempat penjualan obat tipe G ilegal di Rawamangun juga berkedok warung kosmetik. 

Pantauan Parboaboa, beberapa pemuda terlihat datang ke warung tersebut. Setelah menyamar sebagai pembeli, Parboaboa berhasil mendapatkan satu strip tramadol dan empat butir triheksifenidil seharga Rp50 ribu.

Berbagai jenis obat daftar G ilegal juga dijual di sana. Parboaboa tak bisa mendapatkan informasi banyak terkait rantai pasok lantaran komunikasi yang sangat terbatas. 

Parboaboa juga melakukan penelusuran di Tanah Abang. Lokasi ini berada dekat Museum Tekstil. Berbeda dengan dua lokasi sebelumnya, penjualan obat keras ilegal khususnya tramadol, dilakukan secara terbuka.

Penjual dari berbagai usia, mulai remaja hingga lanjut usia, menjajakan tramadol yang mereka sebut “dodol”, ke sejumlah orang yang melintas. Harganya cuma Rp30 ribu per strip, lebih murah dibandingkan di dua lokasi sebelumnya.

Penjualan obat-obatan tipe G ilegal juga terpantau beredar luas di platform lokapasar (marketplace) Facebook. Dengan melakukan pencarian menggunakan kata kunci 'tm', Parboaboa mendapati banyak penawaran di sana.

Potret transaksi jual beli obat keras ilegal secara terang-terangan di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Foto: Tim PARBOABOA)

Parboaboa sudah mengirim surat ke Polda Metro Jaya untuk mengkonfirmasi terkait masih masifnya peredaran obat keras ilegal di Jabodetabek. Namun, pihak Polda belum memberikan jawaban hingga berita ini ditayangkan.

Melacak rantai peredaran obat-obatan ilegal kategori G di wilayah Jabodetabek, memang bukan perkara mudah.

Perkenalan Udin, bukan nama sebenarnya, dengan seorang perwira menengah TNI empat tahun silam, sedikit membuka ‘kotak pandora’ sirkulasi distribusi.

Sebagai salah satu pengguna aktif kala itu, Udin biasanya membeli beberapa obat kategori berbahaya pada salah satu apotek di daerah Cakung, Jakarta Timur.

Di tempat inilah Udin berkenalan dengan oknum prajurit TNI, yang belakangan diketahui sebagai pemilik toko obat langganannya. Ia kemudian ditawari pekerjaan. Tanpa berpikir panjang, Udin menerima tawaran itu.

Medio 2020, Udin mulai aktif bekerja. Awalnya ia diminta untuk menjaga toko obat milik prajurit tersebut. Udin menolak. Menjajakan obat secara langsung, menurutnya, lebih aman dari incaran aparat.

“Saya bilang saya gak mau soalnya kalo di toko itu kan, kadang kan satu hari itu bisa 4 sampai 5 polantas, bang,” jelas Udin.

Setiap bulan, Udin menerima pasokan sekitar 80 kotak obat-obatan golongan G dari oknum perwira TNI. Jenis obatnya bermacam-macam, mulai dari excimer, tramadol,  zolam, double-Y, dan dextro.

Bila stok mulai tipis, Udin segera menghubungi bosnya melalui telepon genggam. Tak perlu menunggu lama, beberapa anggota TNI berseragam lengkap yang merupakan bawahan bosnya, membawa stok obat yang sudah dipesan.

“Iya, bukan kayak gojek, bukan. Ini orang berseragam yang datang bawa itu plastik, pakai baret,” katanya.

Relasi pekerjaan membuat Udin begitu akrab dengan sang perwira. Udin mengaku sudah dianggap seperti adik sendiri. Sejumlah fasilitas operasional, seperti handphone dan motor, bahkan disediakan.

Pada beberapa kesempatan, Udin pernah mengorek informasi ke mantan bosnya itu terkait sumber pasokan obat-obatan keras yang dijualnya. 

Beberapa di antaranya, kata Udin, merupakan barang bukti hasil sitaan dari para pengedar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

“Nih gua habis nangkep orang nih kata dia, oh dimana komandan, nih gua abis nangkep di ini, nih pelakunya nih. Udah di-lakban-lakban kan pelakunya, nih pelakunya. Ada yang dari Cina,” Udin mengenang ucapan ‘komandan’-nya kala itu.

Selama empat tahun berjualan obat-obatan golongan G, Udin mengaku di-backup penuh oleh oknum anggota TNI tersebut.

Beberapa kali saat berjualan, Udin merasa diawasi oleh orang-orang mencurigakan, yang diyakininya sebagai polisi. Ia langsung menghubungi sang perwira. 

“Oh ya udah tenang aja entar adek leting gua ke situ,” cerita Udin.

Beberapa tentara berseragam lengkap pun tiba di lokasi dan mengusir orang-orang yang dicurigai sebagai polisi.

Dari hasil penjualan, ia bisa mendulang laba rata-rata Rp20 juta setiap bulannya. Omset kemudian dibagi rata. Setengah penjualan untuk Udin, setengahnya lagi akan dikirim ke bosnya. 

“Kadang kalau dia gak mau (ditransfer), dia yang ke situ (rumah saya),” katanya.

Jumat, 30 Agustus 2024, Parboaboa menyambangi Mabes TNI untuk meminta konfirmasi terkait dugaan keterlibatan oknum prajurit TNI dalam peredaran obat-obatan daftar G ilegal di Jabodetabek.

Parboaboa diterima Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabidpenum), kemudian diarahkan untuk berkomunikasi langsung dengan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI.

Di hari yang sama, Parboboa menitipkan surat permohonan wawancara untuk Kapuspen TNI. Namun, belum ada tanggapan hingga berita ini diterbitkan.

Kantor Puspen TNI di Cilangkap, Jakarta Timur. (Foto: Tim PARBOABOA)

Suatu malam di penghujung Desember 2023, Udin dihampiri istrinya. Dengan suara yang sedikit parau, sang istri meminta Udin untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai penjual obat keras ilegal.

Meskipun omset yang didapat cukup menjanjikan, istrinya tak ingin Udin menjadi korban jika suatu saat kedok penjualan obat-obatan daftar G ilegal itu dibongkar. 

Apalagi, keduanya tengah mempersiapkan kelahiran anak ketiga mereka saat itu. Tak ada yang bisa memastikan kehidupan Udin akan baik-baik saja meski dibekingi oknum militer.

“Saya berhentinya ya dari istri juga yang ngomong, gak mungkin selamanya dia mau pasang badan,” kenang Udin.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI), dr. Taruna Ikrar, tak menampik peredaran obat-obatan ilegal kategori G di Indonesia masih marak terjadi. 

Masalahnya cukup kompleks dengan dimensi yang beragam. Dalam analisis BPOM RI, peredaran obat keras ilegal yang kian masif disebabkan oleh banyak faktor.

Permintaan obat keras yang tinggi di pasaran, menjadi salah satu pemicu, yang pada akhirnya menciptakan peluang pasar bagi pelaku kejahatan.

Selain itu, penegakan hukum yang belum memberikan efek jera. Taruna menemukan putusan terhadap pelaku kejahatan obat di Indonesia masih sangat rendah.

Minimnya edukasi dan kesadaran masyarakat terkait risiko penggunaan obat keras, juga ikut berkontribusi. 

“Hal ini dapat membuat masyarakat lebih rentan terhadap pengaruh negatif obat keras,” jelas Taruna kepada Parboaboa melalui keterangan tertulis, Jumat (6/9/2024).

Di sisi lain, faktor sosial dan ekonomi, seperti kemiskinan dan kurangnya akses ke pelayanan kesehatan, ditengarai turut menyumbang tingginya angka peredaran obat keras ilegal di Indonesia.

Kondisi ini diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat yang melapor kepada pihak berwajib. “Laporan masyarakat sangat penting untuk mendukung kegiatan penegakan hukum oleh BPOM,” ungkapnya.

Taruna juga menyoroti soal kemudahan akses yang diberikan oleh platform penjualan daring. Penjual biasanya memodifikasi kata kunci pencarian atau mengganti gambar produk untuk menghindari deteksi.

Dalam pemetaan BPOM, tiga varian obat yang sering disalahgunakan yakni tramadol, heximer, dan trihexyphenidil. Pihaknya telah melakukan serangkaian penyidikan terhadap peredaran obat-obatan tertentu (OOT) ini.

Pada 2022, BPOM melalui Direktorat Penyidikan memproses 63 perkara terkait obat keras ilegal. Jumlah perkara yang diproses sedikit menurun pada 2023, yakni 52 perkara. Sementara hingga Agustus 2024, tercatat 33 perkara yang sedang ditangani.

Sementara, berdasarkan hasil patroli siber dari tahun 2021 hingga 2024, ditemukan sebanyak 174.388 tautan pada tahun 2021, 238.940 tautan pada tahun 2022, 73.152 tautan pada tahun 2023, dan 52.264 tautan pada tahun 2024.

Menurutnya, pelanggaran terhadap ketentuan peredaran obat keras ilegal dapat dikenakan sanksi administratif, mulai dari peringatan hingga penghentian sementara kegiatan usaha bagi penjual atau apotek.

Berdasarkan Pasal 436 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, pelanggaran terkait obat keras dapat dikenakan pidana penjara hingga 5 tahun atau denda maksimum Rp500 juta.

"Sanksi yang diberikan berdasarkan proses penyidikan dalam rangka penegakan hukum adalah bervariasi. Putusan yang disampaikan oleh Majelis Hakim dapat berkisar rata rata antara 1 tahun sampai dengan 2 tahun," kata Taruna.

BPOM telah melakukan berbagai upaya preventif, seperti pelibatan sejumlah stakeholder dan edukasi kepada masyarakat melalui kampanye Cek KLIK

Masyarakat didorong untuk memeriksa keamanan dan keabsahan obat-obatan dan produk kesehatan sebelum dikonsumsi.

Pemeriksaan terhadap sarana produksi dan distribusi obat, juga menjadi agenda prioritas BPOM. Hal ini untuk memastikan bahwa obat-obatan yang beredar di pasaran aman dan sesuai dengan standar yang berlaku.

“Dengan begitu, BPOM berharap dapat memutus rantai peredaran obat keras ilegal di Indonesia,” paparnya.

Reporter: Calvin Vadero Siboro, Rahma Dhoni

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS