Membaca Fratelli Tutti Karya Paus Fransiskus dari Jarak Dekat

Keakraban Paus Fransiskus bersama Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar Saat Lawatannya ke Indonesia September 2024 Lalu. (Foto: Instagram/@nasaruddin_umar)

PARBOABOA, Jakarta - Kabar kematian Paus Fransiskus pada 21 April kemarin membawa dukacita yang mendalam. Pope Francis, sapaannya, dikenal sebagai sosok yang lembut, berani, dan teguh. 

Di benak banyak orang yang pernah disentuh oleh pesan-pesan kasihnya, muncul satu kenangan yang begitu kuat terkait ajarannya berjudul "Fratelli Tutti". 

Ensiklik ini bukan sekadar dokumen gereja, melainkan warisan batin yang memuat impian besar tentang dunia yang lebih bersaudara.

"Fratelli Tutti" diumumkan pada 4 Oktober 2020, bertepatan dengan Pesta Santo Fransiskus dari Assisi, sosok yang sangat dikagumi Paus karena hidupnya yang penuh cinta dan kerendahan hati. 

Tanggal itu bukan sekadar simbolis, melainkan panggung spiritual untuk menyuarakan kerinduan akan dunia yang lebih lembut, penuh kasih, dan bebas dari luka perpecahan.

Nama "Fratelli Tutti" berasal dari bahasa Italia yang berarti “saudara-saudari semua.” Dalam sejarah Gereja, nama ini diperkenalkan pertama kali oleh Santo Fransiskus yang selalu menyapa semua orang sebagai saudara, tanpa membeda-bedakan latar belakang. 

Paus Fransiskus sengaja memilih nama tersebut sebagai cara untuk memanggil umat manusia kembali kepada akar terdalam kemanusiaannya. Ia menggugah kesadaran bahwa kita semua adalah saudara.

Saat "Fratelli Tutti" diluncurkan, dunia tengah diguncang pandemi COVID-19. Manusia diisolasi, perbatasan ditutup, dan jurang sosial tampak makin lebar. 

Tapi dari tengah krisis itu, Paus Fransiskus justru melihat peluang untuk merenung. Ia menulis, “pandemi telah memperlihatkan bahwa tidak seorang pun dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Kita hanya bisa selamat bersama-sama.”

Bagi Paus, krisis ini membuka luka terdalam masyarakat modern terkait hilangnya rasa kebersamaan. Dunia terjebak dalam egoisme, politik identitas, dan ketimpangan yang menindas. 

"Fratelli Tutti" menjadi jawaban atas krisis itu, bukan dengan solusi teknis, tetapi dengan seruan moral agar kita kembali pada nilai-nilai dasar, yakni solidaritas, cinta kasih, dan keterbukaan.

Membangun Dunia Lewat Kasih

Alih-alih menyodorkan ide besar yang rumit, Paus Fransiskus menawarkan sesuatu yang sangat manusiawi. Ia mengajak manusia untuk saling berempati dan berbelas kasih. 

Paus mengingatkan kembali pada kisah Injil tentang orang Samaria yang baik hati. Dari situ, ia menggugah hati manusia dengan berkata bahwa “kasih yang sejati tidak mengenal batas. Ia hadir bagi siapa saja yang membutuhkan, tak peduli dari mana asalnya.”

Paus menegaskan bahwa kasih tidak bisa dibatasi oleh perbedaan suku bangsa, agama, atau golongan. Justru sebaliknya, kasih yang murni muncul saat kita bisa mengasihi mereka yang berbeda dari kita. 

Inilah semangat persaudaraan universal yang menjadi jiwa "Fratelli Tutti". Ia bukan hanya ajaran iman, tetapi panggilan hidup bagi siapa pun yang masih percaya pada kebaikan.

Salah satu bagian yang paling penting dalam "Fratelli Tutti" adalah seruannya untuk membangun “politik kasih.” 

Di tengah dunia yang dipenuhi pemimpin yang haus kuasa dan mengabaikan rakyat kecil, Paus justru menantang dengan berkata bahwa “politik yang agung adalah bentuk tertinggi cinta kasih, karena ia berusaha menjamin kebaikan bersama.”

Ia menggambarkan seorang pemimpin sejati bukan sebagai tokoh kuat yang mendominasi, tetapi sebagai pribadi yang berani dekat dengan mereka yang disakiti, berani menangis bersama mereka yang kehilangan, dan berani melayani tanpa pamrih. 

Dalam pandangannya, politik bukan soal perebutan jabatan, tetapi soal mengulurkan tangan kepada yang terpinggirkan.

Dalam bab-bab selanjutnya, "Fratelli Tutti" menjelajah ke medan global. Ia menyoroti konflik antarnegara, intoleransi agama, dan kebencian yang makin menyala di media sosial. Namun Paus tak ingin dunia larut dalam ketakutan. Ia menawarkan jalan dialog.  

“Jika kita ingin membangun masyarakat yang damai dan adil, maka dialog harus menjadi seni yang kita pelajari dan latih,” tulisnya dalam ensiklik tersebut. 

Lebih dari itu, ia juga menegaskan bahwa “agama sejati tak pernah menghasut kekerasan.” Semua agama, jika dijalani dengan hati murni, harusnya menjadi jembatan kasih, bukan tembok pemisah.

Warisan yang Tak Usang

Kini setelah Paus Fransiskus tiada, "Fratelli Tutti" menjadi salah satu dokumen paling kuat yang mewakili napas imannya. 

Ensiklik ini bukan hanya sekadar himbauan spiritual yang disusun dengan kata-kata indah, melainkan sebuah seruan nyata untuk perubahan dunia yang lebih baik, penuh persaudaraan, dan tanpa diskriminasi

Setiap kalimat dalam "Fratelli Tutti" berperan sebagai pijakan menuju dunia yang lebih inklusif dan mengajak manusia melihat satu sama lain sebagai saudara, bukan sekadar individu dengan kepentingan pribadi.

Paus Fransiskus, dalam kebijaksanaannya, tak hanya menggugah umat Katolik, tetapi seluruh umat manusia untuk mempertanyakan dasar-dasar hidup sosial mereka. 

Pertanyaannya adalah: apakah dunia sudah cukup adil? Apakah kita sudah cukup peduli terhadap sesama? Apakah kita sudah cukup bekerja demi kebaikan bersama, ataukah kita justru terjebak dalam pandangan yang sempit, egois, dan memecah belah? 

Dengan kata lain, "Fratelli Tutti" adalah dokumen yang bukan hanya untuk direnungkan, tetapi dilaksanakan sebagai pedoman dalam tindakan sehari-hari.

Melaluinya, Paus mengajak kita untuk melihat realitas dunia yang penuh dengan ketegangan dan pertikaian, namun dengan perspektif yang lebih penuh harapan. 

Ia menegaskan bahwa dunia yang lebih baik bukanlah impian yang mustahil, tetapi sebuah kemungkinan yang bisa dicapai jika kita berkomitmen untuk hidup dalam kasih dan persaudaraan yang sejati.

Paus tidak hanya menggambarkan sebuah dunia ideal tanpa konflik, tetapi juga dunia yang mampu menyembuhkan luka-luka sosial yang terpendam dalam sejarah panjang ketidakadilan dan ketimpangan. 

Ia ingin agar setiap orang, dari yang paling miskin hingga yang paling berkuasa, bisa merasakan bahwa mereka adalah bagian dari satu tubuh manusia yang saling bergantung satu sama lain.

“Tidak ada masa depan bagi siapa pun jika kita tidak sanggup bermimpi bersama,” ungkap Paus dengan penuh keyakinan. 

Kalimat ini menggugah kita untuk menyadari bahwa masa depan yang lebih baik hanya bisa tercipta jika kita semua bergandengan tangan, saling menguatkan dan saling mendukung satu sama lain.

Selamat jalan, Paus Fransiskus. Meski ragamu telah tiada, pesanmu tetap bernyawa dalam setiap langkah kami menuju kasih yang sejati, tanpa batas, dan tanpa syarat. 

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS