Kasus Setya Novanto: Dari “Drama Tiang Listrik” hingga Status Bebas Bersyarat

Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi menghirup udara bebas. (Foto: Instagram/@s.novanto)

PARBOABOA, Jakarta – Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi menghirup udara bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu (16/8/2025).

Pembebasan ini menutup rangkaian panjang perjalanan hukum salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia: proyek e-KTP senilai Rp5,9 triliun yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.

Nama Novanto sejak awal memang tak pernah lepas dari sorotan publik. Dari penetapan tersangka, drama kecelakaan mobil, sidang panjang di pengadilan, hingga vonis yang kemudian dipotong Mahkamah Agung, semua menjadi catatan kontroversial perjalanan hukumnya.

Awal Kasus

Pada Juli 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP.

Ia diduga menyalahgunakan jabatan untuk menguntungkan diri sendiri dan pihak lain hingga menyebabkan kerugian negara Rp2,3 triliun.

Namun, langkah KPK itu tidak langsung mulus. Pada 29 September 2017, Hakim Cepi Iskandar dalam sidang praperadilan memutuskan membatalkan status tersangka Novanto.

Meski begitu, upaya hukum Novanto tak sepenuhnya berhasil karena sebagian gugatan lainnya ditolak.

Drama Tiang Listrik

Tak lama setelah itu, KPK kembali menetapkan dan menahan Novanto pada Jumat (17/11/2017). Namun momen ini justru berubah menjadi drama.

Sebelumnya, ia sempat mangkir dari panggilan pemeriksaan. Bahkan KPK sampai mengeluarkan surat penangkapan dan memasukkan namanya ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Pada Kamis (16/11/2017), saat menuju KPK, mobil yang ditumpanginya justru menabrak tiang listrik di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan.

Kecelakaan itu membuat mobilnya ringsek dan Novanto harus dilarikan ke RS Medika Permata Hijau, sebelum akhirnya dipindahkan ke RSCM.

Baru pada Senin (20/11/2017), setelah penundaan penahanan karena alasan kesehatan, ia resmi ditahan KPK.

Tuntutan Berat

Setya Novanto menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 13 Desember 2017.

Jaksa KPK menuntutnya 16 tahun penjara, denda Rp1 miliar, serta uang pengganti USD 7,43 juta (setelah dipotong Rp5 miliar yang sudah dikembalikan). Selain itu, jaksa menuntut pencabutan hak politik selama lima tahun.

Bagi jaksa, Novanto terbukti memperkaya diri dan berperan besar dalam korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011–2012.

Putusan PK

Pada 2018, hakim Tipikor menjatuhkan vonis lebih ringan: 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, serta uang pengganti USD 7,3 juta (dikurangi Rp5 miliar). Hak politiknya juga dicabut selama lima tahun.

Namun pada Juli 2025, Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Novanto.

Hukuman penjara dipangkas menjadi 12 tahun 6 bulan, dengan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Uang pengganti yang harus dibayar pun ditetapkan sebesar USD 7,3 juta, dikompensasi dengan titipan Rp5 miliar ke KPK, sehingga tersisa Rp49 miliar lebih.

Hak politiknya dicabut selama 2,5 tahun setelah masa hukuman selesai.

Kontroversi Sel

Meski sudah di balik jeruji, nama Novanto tetap menuai kontroversi. Pada September 2018, Ombudsman menemukan sel tahanannya di Lapas Sukamiskin jauh lebih mewah dari tahanan lain.

Sel itu lebih luas, dilengkapi toilet duduk, dan ia disebut bebas keluar masuk kamar meski aturan melarang napi keluar setelah pukul 17.00.

Temuan ini semakin mempertebal anggapan bahwa Novanto mendapat perlakuan istimewa selama menjalani hukuman.

Bebas Bersyarat

Akhirnya, pada 16 Agustus 2025, Setya Novanto dinyatakan bebas bersyarat. Kepala Kanwil Kemenkumham Jabar, Kusnali, menegaskan bahwa keputusan ini sesuai aturan karena Novanto sudah menjalani dua pertiga masa hukuman dari total 12,5 tahun.

Dirjen Pemasyarakatan Mashudi menambahkan, Novanto juga sudah mendapat total remisi 28 bulan 15 hari.

Dengan status bebas bersyarat, ia masih harus menjalani masa bimbingan hingga April 2029 dan wajib melapor ke Balai Pemasyarakatan. Jika melanggar, statusnya bisa dicabut.

Namun Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, menyatakan hal berbeda. Menurutnya, Setya Novanto tidak lagi wajib lapor karena sudah membayar seluruh denda subsidier.

Agus bahkan menegaskan bahwa masa hukuman Setnov seharusnya selesai lebih awal berdasarkan putusan PK MA.

“Seharusnya dia bebas tanggal 25 (Juli 2025) lalu,” ujar Agus usai upacara HUT ke-80 RI di Istana Merdeka, Jakarta (17/8/2025).

Pernyataan ini menimbulkan perdebatan publik, karena di satu sisi Setnov dinyatakan masih klien pemasyarakatan hingga 2029, namun di sisi lain disebut sudah bebas penuh dari kewajiban administratif.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS