PARBOABOA- "Lari Bu...!!! Ada Pol PP datang," teriak Rudy (17) sambil membopong ibunya, Siti (47), melintasi Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Halte Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat.
Gelas plastik bekas di tangannya dihempaskan begitu saja. Beberapa keping uang logam jatuh berceceran. Keduanya berlari masuk ke dalam area stasiun dengan napas terengah-engah.
Di seberang jalan, tiga pengemis paruh baya yang berjejer di punggung trotoar ikut berhamburan menghindari kejaran aparat.
Parboaboa mengikuti Rudy dan ibunya dari belakang. Mereka perlahan menuruni anak tangga di sisi utara jembatan penyeberangan.
Rudy menggenggam erat tangan ibunya. Siti yang mulai kelelahan terus memaksa melangkah, meski tumpuan kakinya tak lagi sekuat dulu.
"Di sini aja dulu, Bu!" celetuk Rudy, lalu menyandarkan tubuh ibunya ke sudut tembok Halte Palmerah.
Pagi itu, Kamis (29/10/2024), sejumlah anggota Satpol PP DKI Jakarta sedang menggelar operasi penertiban di seputaran area Stasiun Palmerah.
Lokasi yang ramai dipadati pengemis dan penjual asongan itu hanya berjarak sepelemparan batu dari kompleks parlemen.
Larangan menjadi pengemis di Jakarta sebetulnya sudah terekam dalam Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Pasal 40 beleid tersebut menjelaskan, setiap orang atau badan dilarang menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil.
Para pelanggar akan dikenai sanksi pidana kurungan antara 10 hingga 60 hari, serta denda minimal Rp100 ribu dan maksimal Rp20 juta.
Regulasi tersebut rupanya tak memberi efek jera. Bagi Siti, aktivitas di JPO Halte Palmerah yang cukup padat, menjadi area strategis untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
“Di sini kan banyak orang yang lewat, biasanya ada aja yang mau ngasih,” katanya.
Pilihan menjadi pengemis rupanya bukan tanpa alasan. Kerasnya kehidupan di Kota Jakarta memaksa Siti dan putranya harus bertarung di jalanan.
Mereka tak bisa berbuat banyak. Akses pekerjaan di Jakarta memang serba terbatas. Belum lagi harga kebutuhan pokok yang terbilang tinggi.
Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada Juni 2024 lalu terkait persoalan yang dihadapi warga Jakarta, setidaknya mengkonfirmasi hal itu.
Mayoritas responden menyatakan masalah utama di Jakarta adalah mahalnya harga kebutuhan pokok (24%) dan sulit mencari pekerjaan (18%).
Siti tak bisa berharap lebih untuk mendapatkan pekerjaan layak di tengah usianya yang tak lagi produktif.
Di lingkaran kelompok Gen Z saja, keterbatasan akses lapangan pekerjaan masih menjadi persoalan serius yang hingga kini belum tuntas diselesaikan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 menunjukkan, sebanyak 3.618.300 kelompok Gen Z usia 15-24 tahun merupakan pengangguran.
Secara rinci, terdapat 1.034.119 penganggur di kelompok usia 15-19 tahun. Sedangkan untuk kelompok usia 20-24 tahun, jumlah penganggur mencapai 2.584.181 orang.
“Cari kerja susah, saya kan hanya tamatan SMP doang. Mata saya juga sudah buta kan, udah remang-remang,” keluhnya.
Ingatan Siti tiba-tiba kembali ke beberapa tahun silam ketika suaminya masih hidup. Saat itu, ia masih bisa berbagi beban meski keduanya bekerja sebagai pemulung.
Neraca keuangan keluarga sedikit jauh lebih sehat, setidaknya cukup untuk membayar kontrakan dan kebutuhan sehari-hari.
Uang hasil mulung juga bisa disisihkan untuk keperluan sekolah Rudy. Semuanya berubah selepas kepergian sang suami.
Siti terpaksa harus mengambil dua peran sekaligus: menjadi ayah dan ibu bagi putra semata wayang mereka. Rudy pun memutuskan berhenti sekolah demi membantu ibunya.
Rudy mengaku tak punya banyak pilihan. Ia sempat melamar ke beberapa perusahaan untuk bisa mendapatkan penghasilan tetap, namun selalu gagal.
“Pernah melamar kerja hanya selalu nggak keterima. Sekarang tinggal di jalanan aja,” katanya.
Pada 2022 silam, keduanya pernah ditangkap Satpol PP DKI Jakarta saat mengemis di kawasan Senayan City. Mereka ditahan selama sebulan di Dinas Sosial (Dinsos) DKI Jakarta, tanpa mendapatkan pembinaan dan pelatihan.
“Di sana juga makan tidur. Paling dimarahin aja, jangan sekali lagi mengemis ya,” cerita Rudy mengingat peristiwa dua tahun silam itu.
Akses terhadap lapangan kerja yang terbatas, juga membentur kehidupan Dewi (46) ke jalanan. Perempuan kelahiran Jakarta itu terpaksa harus menjadi pemulung demi menyambung hidup di kota metropolitan.
Sore itu, Minggu (10/11/2024), hujan deras mengguyur Jakarta Selatan. Dewi tampak basah kuyup. Suami dan dua anaknya sibuk merapikan terpal dan gerobak kayu tua yang diparkir di bahu jalan.
Kehidupannya dahulu tak sekeras sekarang. Selepas menikah pada 2014 silam, ia percaya bahwa biduk rumah tangga mereka akan baik-baik saja.
Semua berubah ketika memasuki tahun ketiga pernikahan. Suaminya, yang saat itu bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah sekolah swasta, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Keluarganya benar-benar hancur, apalagi ia baru saja melahirkan putra pertamanya. Mereka mencoba keberuntungan dengan melamar sejumlah pekerjaan, namun selalu gagal.
Sementara kantong keuangan keluarga mulai menipis, tak lagi cukup untuk membayar kontrakan. Di penghujung 2017, keduanya memutuskan menjadi pemulung dan tinggal di bawah kolong jembatan.
"Mau bagaimana lagi, sudah berusaha mencari pekerjaan lain tapi tidak pernah dapat," cerita Dewi.
Penghasilan sebagai pemulung tak begitu menentu, hanya Rp100-200 ribu dalam seminggu. Dewi harus pandai-pandai mengatur keuangan.
Ambruknya perekonomian keluarga berdampak pada kedua anaknya, terutama putra sulungnya yang kini berusia delapan tahun.
Ia terpaksa menunda impian menyekolahkan anaknya meski pemerintah menjanjikan pendidikan gratis. Biaya administrasi dan perlengkapan sekolah terlampau mahal bagi pemulung seperti Dewi.
"Jangankan beli baju dan sepatu, untuk alat tulis saja kami kesulitan," ungkapnya.
Harapan untuk mendapatkan bantuan pemerintah seringkali kandas. Meskipun Dewi memiliki KTP Jakarta dan terdaftar di kelurahan setempat, bantuan yang dijanjikan tak pernah ia terima.
"Tidak pernah dapat bantuan. Mungkin karena kami tidak punya tempat tinggal tetap, meski ada KTP," keluh Dewi.
Di saat yang sama, keberadaan mereka di jalanan Jakarta tak jarang jadi incaran Satpol PP. Ia mengaku pernah ditangkap dan dibawa ke Dinas Sosial Jakarta Selatan beberapa tahun lalu.
Selama tiga hari, Dewi tinggal di sana bersama suami dan kedua anaknya. Ia sempat berharap akan mendapatkan pembinaan dan pelatihan dari pihak dinsos.
"Ternyata cuma duduk-duduk saja, habis itu ya pulang lagi ke jalan," katanya.
Mimpi Dewi belum sepenuhnya redup. Ia masih optimis badai pasti berlalu. Setidaknya, akses pendidikan terhadap dua putranya bisa diperhatikan pemerintah.
“Saya cuma ingin anak-anak bisa sekolah sampai besar. Kalau mereka punya masa depan, mereka tidak perlu hidup di jalan seperti saya," ucapnya dengan suara lirih.
Parboaboa sudah mengirimkan surat permohonan wawancara ke Dinsos Provinsi DKI Jakarta sejak pekan lalu. Beberapa kali Parboaboa juga menyambangi kantor Dinsos di Jl. Gunung Sahari II, Kota Jakarta Pusat.
Pihak Humas beralasan, hanya akan bersedia melakukan wawancara dengan media yang bermitra dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sementara itu, anggota DPD RI dapil DKI Jakarta, Prof. Dailami Firdaus, menilai Dinsos DKI Jakarta belum mempunyai sistem pembinaan yang berkelanjutan dalam menekan persoalan pengemis di Jakarta.
Berdasarkan data Dinas Sosial DKI Jakarta, pada 2022 terdapat sekitar 8.327 tunawisma, termasuk pengemis, yang mendapat pembinaan. Namun, hanya 23% dari mereka yang mengikuti program pelatihan keterampilan secara berkelanjutan.
“Perlu ada evaluasi dan perbaikan program pembinaan bagi tunawisma dan pengemis di Jakarta,” jelas Dailami kepada Parboaboa beberapa waktu lalu.
Menurut Dailami, bekerja di sektor informal, seperti menjadi pengemis atau pemulung, sering kali merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat miskin di Jakarta akibat keterbatasan lapangan kerja formal.
Data BPS pada 2022 menunjukkan, sekitar 56,8% tenaga kerja di DKI Jakarta bekerja di sektor informal.
Angka tersebut menunjukkan besarnya proporsi masyarakat yang bekerja di sektor yang rentan, tidak terjamin, dan umumnya tidak mendapatkan perlindungan sosial.
“Ini mengindikasikan ketidakstabilan ekonomi yang dialami oleh sebagian besar penduduk Jakarta, meskipun kota ini dikenal sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi negara,” jelasnya.
Jebolan The American University itu mendorong adanya kebijakan yang mendukung transformasi sektor informal menuju sektor formal.
Salah satunya adalah pengembangan program pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
“Seperti pelatihan di bidang kuliner, pertanian perkotaan, atau daur ulang limbah, yang dapat memberikan alternatif penghidupan yang lebih berkelanjutan bagi kelompok rentan,” ungkapnya.
Dailami juga menyoroti masalah distribusi bantuan sosial dan subsidi yang sering tidak tepat sasaran.
Banyak warga miskin, seperti pengemis dan pemulung, yang justru tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.
Masalahnya terletak pada minimnya pengawasan dan akurasi pendataan kelompok rentan yang tersebar di wilayah Jakarta.
“Karena itu perlu pemanfaatan teknologi seperti e-wallet serta pengawasan yang lebih ketat agar bantuan sosial benar-benar sampai ke tangan yang tepat,” jelas Dailami.
Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, menyebut keberadaan tunawisma di DKI Jakarta selalu beririsan dengan masalah kemiskinan yang menjadi fenomena usang di perkotaan.
Dalam analisisnya, industri kerja di Jakarta didominasi oleh sektor jasa, yang menuntut kompetensi khusus dan sertifikasi formal seperti ijazah.
Akibatnya, mereka yang datang tanpa bekal tersebut tersingkir dari pekerjaan formal. Ketidakmampuan untuk memenuhi kriteria tersebut memaksa banyak orang untuk beralih ke pekerjaan informal.
"Pekerjaan seperti pengemis dan pemulung pun semakin banyak dijalani sebagai jalan keluar sementara dari himpitan ekonomi," kata Devie.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Jakarta menunjukkan tren fluktuatif dalam tiga tahun terakhir.
Pada tahun 2019, sebelum pandemi Covid-19 melanda, tercatat sebanyak 2.661 orang tergolong PMKS.
Situasi ini sedikit membaik pada tahun 2020 ketika jumlah PMKS turun menjadi 2.169 orang. Namun, keadaan kembali memburuk pada tahun 2021, ketika jumlah PMKS naik menjadi 2.659 orang.
Adapun rincian PMKS di Jakarta pada tahun 2021 yakni; jumlah gelandangan tercatat sebanyak 1.096 jiwa, diikuti oleh pengemis sebanyak 289 jiwa. Lansia terlantar mencapai 210 jiwa, sementara jumlah anak jalanan dan anak terlantar masing-masing mencapai 205 jiwa dan 103 jiwa.
Yanu Endar Prasetyo, dalam risetnya berjudul "Kemiskinan dan Masalah Orang Miskin di Jakarta (2023)", menegaskan bahwa persoalan kemiskinan tidak hanya dapat diatasi melalui berbagai program sosial semata, tetapi juga memerlukan reformasi politik.
Menurutnya, meskipun banyak inisiatif yang telah diambil oleh pemerintah, perubahan yang substansial hanya akan tercapai jika ada perubahan dalam kebijakan dan struktur kekuasaan yang ada.
Ia berpendapat, akar masalah terletak pada keputusan-keputusan politik yang sering kali tidak berpihak kepada kelompok miskin.
"Realitas yang kita rasakan bisa jadi akibat dari keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang memegang kekuasaan," tulis Prasetyo.
Karena itu, reformasi politik yang lebih berpihak pada rakyat miskin menjadi sangat penting agar kebijakan yang dihasilkan dapat benar-benar mendorong perbaikan kondisi sosial-ekonomi mereka.
Tanpa perubahan pada tataran kebijakan politik, program-program sosial yang ada hanya akan menjadi solusi sementara yang tidak menyentuh akar masalah.
Sementara itu, Koordinator Urban Poor Consortium (UPC), Guntoro Gugun Muhammad, menilai bahwa upaya pengentasan kemiskinan oleh pemerintah, khususnya Dinsos DKI Jakarta dan Kemensos RI, belum efektif.
Gugun menyebut masih banyak kelompok miskin di Jakarta yang belum merasakan dampak nyata dari program pemerintah, seperti Pemenuhan Kebutuhan Dasar (PKD) untuk lansia, penyandang disabilitas, dan kartu bantuan untuk anak-anak prasejahtera.
Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) 2020 menunjukkan, hanya sekitar 40.919 lansia yang menikmati manfaat dari Kartu Lansia Jakarta (KLJ), yang setara dengan 12% dari total populasi lansia di Jakarta.
Namun, dari jumlah tersebut, hanya 2% yang benar-benar menerima bantuan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun program tersebut ada, cakupan dan efektivitasnya masih sangat terbatas.
Tahun 2024, penerima baru bansos PKD tercatat 78.097 orang, dengan rincian 17.398 anak, 54.165 lansia, dan 6.534 penyandang disabilitas, masing-masing menerima Rp 300.000 per bulan selama enam bulan.
Meski Dinsos DKI menargetkan 219.252 penerima, realisasi tahap pertama dan kedua hanya mencapai 194.067 dan 188.746 orang. Ini kontras dengan jumlah penduduk miskin Jakarta yang mencapai 464.930 pada Maret 2024.
Gugun menyebut, masalah utama dalam program pemerintah menanggulangi kemiskinan adalah pendekatan karitatif yang cenderung konsumtif, seperti pemberian sembako. Hal ini dinilai mempersempit ruang gerak warga miskin untuk berkembang.
"Memberikan sembako hanya membuat mereka bergantung, tanpa adanya alat produksi atau dukungan untuk memulai usaha. Ini justru menghina, bukan solusi," tegas Gugun.
Menurutnya, pendekatan bansos perlu dikaji ulang dan digantikan dengan kebijakan yang lebih struktural, yang fokus pada penguatan kapasitas individu.
Peningkatan sumber daya manusia dan penguatan sektor pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam mengatasi kemiskinan.
Dia juga mengusulkan pengembangan program perumahan berbasis koperasi di Jakarta, seperti yang telah dilakukan di Kampung Akuarium, yang menunjukkan hasil positif.
Program semacam ini dinilai dapat memberikan dampak jangka panjang yang lebih signifikan bagi masyarakat miskin.
"Sekarang mereka memiliki rumah susun yang dikelola koperasi, bukan pemerintah. Masyarakat lebih fokus membangun usaha tanpa khawatir akan penggusuran," ungkapnya.
Reporter: Calvin Vadero Siboro, David Rumahorbo, Rahma Dhoni