PARBOABOA, Jakarta - Lautan manusia memenuhi pelataran Basilika Santo Petrus sejak satu Minggu terakhir. Mereka berdoa, bernyanyi dan melantunkan permohonan untuk proses konklaf yang tengah berlangsung.
Konklaf tentu bukan sebuah peristiwa elektoral biasa. Kardinal Suharyo, Uskup Agung Jakarta dalam sebuah sesi wawancara menyebut konklaf sebagai saat-saat penuh rahmat di mana kuasa Allah bekerja.
Sebanyak 135 kardinal yang terpilih harus bersumpah satu per satu sebelum masuk ke dalam dinamika konklaf. Maksudnya agar mereka benar-benar terbuka pada penyelenggaraan Roh Kudus.
Selama konklaf berlangsung, mereka juga terhindar dari kontak bersama dunia luar. Keputusan untuk menentukan pilihan harus lahir dari pertimbangan matang, tanpa intervensi dari pihak manapun.
Setelah melalui tiga putaran pemungutan suara sejak Rabu (07/05/2025), sosok yang dirindukan sebagai pemimpin Gereja Katolik dunia itu akhirnya muncul. Ia adalah Kardinal Robert Francis Prevost.
Ribuan manusia berteriak gembira di lapangan Basilika. Anak-anak menangis haru. Para misionaris dari berbagai benua tak hentinya bersyukur. Di kejauhan, asap putih muncul dari cerobong Kapel Sistina.
Tak lama setelahnya, lonceng Basilika berdentang meriah. Seorang Cardinal Proto-Deacon muncul dari balkon Basilka dan memberikan pengumuman resmi. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 00.20 WIB.
"Annutio vobis gaudium magnum, Habemus Papam!" ucap Cardinal itu. Kalimat ikonik tersebut berarti "Aku mengumumkan kepada kalian kabar sukacita besar, Kita memiliki Paus!"
"Robert Prevost. Paus Leo XIV!" lanjut Cardinal.
Mengutip laporan AP News, Robert Prevost yang kini dikenal sebagai Paus Leo XIV, merupakan orang Amerika pertama yang terpilih menjadi Paus dalam sejarah dua milenium Gereja Katolik.
Dalam sapaan hangatnya yang dikutip dari Vatican News pada Jumat (9/5/2025), ia menyampaikan ucapan terima kasih dan menyapa umat dengan membawa pesan damai.
"Saudara-saudari terkasih, ini adalah salam pertama dari Kristus yang bangkit. Saya juga ingin agar salam damai ini masuk ke dalam hati Anda, menjangkau keluarga dan semua orang, di mana pun mereka berada. Semoga damai menyertai Anda," ucapnya dengan penuh kelembutan.
Ia juga mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih kepada Paus Fransiskus, serta menyampaikan harapannya untuk melanjutkan semangat dan berkat yang telah diwariskan pendahulunya itu.
"Ini adalah damai dari Kristus yang bangkit, damai yang melucuti senjata, merendahkan hati, dan memelihara. Itu datang dari Tuhan. Tuhan, yang mengasihi kita semua, tanpa batasan atau syarat apa pun," tutur Paus Leo.
"Marilah kita dengarkan suara Paus Fransiskus yang lemah tetapi selalu berani, yang memberkati Roma dan dunia pada pagi hari Paskah," tambahnya lagi.
Siapa Robert Prevost?
Robert Francis Prevost, O.S.A., lahir di Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1955. Prevost tumbuh dalam lingkungan yang memperkuat panggilan imamatnya sejak usia muda.
Ia menempuh pendidikan teologi di Catholic Theological Union. Pada usia 27 tahun, ia dikirim ke Roma untuk melanjutkan studi dan memperdalam pemahaman teologisnya.
Di sanalah ia ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1982 dalam naungan Ordo Santo Agustinus (OSA), yang dikenal dengan semangat komunitas dan pelayanan.
Setelah ditahbiskan, Prevost langsung terjun sebagai misionaris ke Peru. Ini menjadi sebuah pengalaman yang sangat membentuk visi pastoral dan spiritualitasnya.
Selama bertahun-tahun, Prevost mengabdikan diri di Peru. Di sana, ia melayani umat di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat Gereja.
Pengabdiannya kemudian mengantarkannya menjabat sebagai Uskup Chiclayo, sebuah keuskupan di bagian utara Peru, selama lebih dari delapan tahun.
Dalam pelayanan ini, ia dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan umat, rendah hati, dan sangat mementingkan dialog serta kedekatan dengan para imam dan komunitas setempat.
Kiprahnya di Peru tak hanya menunjukkan kepemimpinan rohani yang kuat, tetapi juga ketajaman dalam memahami dinamika sosial dan pastoral.
Hal ini membuat Paus Fransiskus menunjuknya sebagai "Prefek Dikasteri untuk Para Uskup" pada tahun 2023, menggantikan Kardinal Marc Ouellet.
Jabatan ini menempatkan Prevost sebagai tokoh sentral dalam proses seleksi para uskup di seluruh dunia—sebuah tanggung jawab besar yang menentukan arah kepemimpinan Gereja global.
Dalam wawancaranya bersama sebuah media Katolik, Prevost menegaskan bahwa "menjadi seorang uskup adalah panggilan pastoral, bukan sekadar jabatan administratif".
Seorang uskup, menurutnya, harus siap melayani umat, mendengarkan, dan membangun komunitas yang hidup dalam semangat Injil.
Ia juga menyoroti pentingnya semangat sinodalitas, yaitu berjalan bersama seluruh umat Allah dalam semangat mendengarkan dan keterbukaan terhadap Roh Kudus.
Prevost menilai bahwa sinode bukan hanya sekadar pertemuan atau proses birokratis, melainkan kesempatan Gereja untuk memperbarui diri secara mendalam.
Ia percaya bahwa saat ini adalah momen penting di mana Gereja harus lebih bersandar pada Roh Kudus daripada sekadar mengandalkan prosedur atau kebiasaan lama.
Selama masa kepemimpinannya di Dikasteri, Prevost membuka ruang lebih luas bagi keterlibatan kaum perempuan dan umat awam.
Baginya, keterlibatan berbagai kelompok dalam Gereja adalah cerminan dari tubuh Kristus yang terdiri atas banyak anggota, masing-masing memiliki kontribusi unik demi keseimbangan dan pertumbuhan Gereja.
Prevost juga menyuarakan pandangan tegas terkait penanganan kasus kekerasan seksual dalam Gereja. Ia menegaskan bahwa "keheningan bukanlah solusi" sebab korban harus mendapat pendampingan serta pengakuan yang layak.
Gereja, menurutnya, harus bersikap terbuka, jujur, dan penuh empati dalam menghadapi luka-luka yang ditinggalkan oleh skandal tersebut.