PARBOABOA, Jakarta - Sekretaris Jendral PDIP, Hasto Kritiyanto, kembali menegaskan posisi PDIP sebagai partai politik berhaluan kiri karena memiliki sifat yang progresif.
Hal tersebut disampaikan Hasto dalam pembukaan Rakerda PDIP Banten yang digelar di Kantor DPD PDIP Banten, Serang pada Minggu (10/9/2023).
Menurut Hasto, dalam dasar-dasar teori politik, konfigurasi politik diklasifikasi menjadi tiga, yakni berhaluan kanan (right), tengah (centre), dan berhaluan kiri (left).
Haluan Kanan, demikian Hasto, cendrung konservatif; kemudian tengah yang meramu catch all party dengan target semua tanpa diferensiasi ideologis yang jelas; dan berhaluan kiri yang progresif.
Hasto mengatakan, kendati pun merupakan partai berhaluan kiri, PDIP bukan komunis atau sosialis. Yang membedakannya dengan partai lain, kata Hasto, haluan kiri atau progresif itu ingin merombak tatanan yang menghisap orang banyak.
Jimat Setan di Jidat Bu Mega
Pernyataan Hasto soal PDIP sebagai partai berhaluan kiri yang progresif namun bukan komunis atau sosialis, menarik untuk dibedah.
Secara sepintas, penegasan Hasto soal 'bukan komunisme atau sosialisme' tidak terlepas dari tudingan yang sering dialamatkan ke PDIP sebagai jelmaan Partai Komunis.
Hal tersebut bisa dilacak dari beberapa peristiwa, misalnya pada 2020 lalu bendera PDIP pernah dibakar massa dalam aksi demonstrasi menentang RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Massa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti-Komunis (Anak NKRI) itu menuding PDIP sebagai jelmaan Partai Komunis dan mengklaim konsisten mencegah komunisme menguasai Indonesia.
Cap komunis juga pernah dialamatkan ke PDIP oleh Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Kivlan Zen.
Kivlan menuding partai Moncong Putih itu banyak menampung pihak yang berhubungan dengan PKI. Ia bahkan blak-blakkan menyebut sejumlah nama seperti Eva Kusuma Sundari, Rieke Dyah Pitaloka, dan Budiman Sudjatmiko.
Tak hanya itu, Kivlan juga menyebut PDIP mengirimkan kadernya menemui Partai Komunis Tiongkok untuk belajar ilmu politik dan pemerintahan.
Dalam beberapa kesempatan, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, berulang kali menepis tudingan tersebut. Ia mengaku bingung mengapa cap komunis selalu disematkan ke PDIP. Megawati juga heran dengan cap komunis yang dilabelkan ke Soekarno setelah menggagas demokrasi terpimpin.
Pada Ferbruari 2017 lalu, melalui surat bernomor 2588/IN/DPP/II/2017, Megawati pernah meneken surat bantahan atas tudingan komunis yang melekat ke PDIP.
Dalam surat bantahan yang terdiri dari lima poin itu, Megawati dengan tegas menyebut PDIP sebagai partai nasionalis dan tidak terkait dengan ideologi komunisme. PDIP, kata Megawati, berpegang teguh pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila.
Cap komunis yang kerap diterima Megawati dan PDIP pernah disinggung Pengarsip Sejarah, Muhidin M. Dahlan dalam wawancaranya bersama vice.com pada 2020 lalu dikutip PARBOABOA, Senin (11/9/2023).
Muhidin menyebut tudingan terhadap PDIP sebagai jelmaan komunisme sarat muatan politik. Menurutnya, cap komunisme telah lama disematkan ke Megawati saat dirinya mendominasi PDIP pada 1993. Di masa itu, kata dia, Megawati merupakan simbol politik paling kuat sekaligus antitesa rezim orde baru di bawah kendali Soeharto.
Di tahun pertama kepemimpinannya itu, Megawati pun dituduh memelihara 300 kader yang terlibat G30S/PKI yang kemudian dilegitimasi ABRI. Muhidin kemudian menyebut, "komunis menjadi jimat setan yang selalu ditempelkan ke jidat Bu Mega."
Tak hanya itu, cap komunis terbaca dalam manuver Orde Baru yang menjegal peraliahan kepemimpinan PDI ke Megawati dari ketua lama yang dianggap boneka Orde Baru, seperti lewat Kongres Luar Biasa (KLB) Medan 1996, hingga mencapai puncaknya pada peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996.
Peristiwa yang juga dikenal dengan Sabtu Kelabu itu, merupakan peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI di Jln. Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati.
Jika dirunut, tudingan komunis erat kaitannya dengan isu yang dihembuskan Orde Baru ke Soekarno sebagai komunis, yang kemudian berdampak pada PDIP sebagai partai penerus ideologi nasionalisme Soekarno.
Dalam tahun-tahun kekuasaannya pada 1959-1965, Soekarno menggagas sosialisme ala Indonesia sebagai visi bangsa yang kemudian diturunkan dalam Panca Azimat Revolusi.
Mengutip Rudiyanto dalam Jurnal Abdiel berjudul 'Sosialisme Bung Karno: Memahami Imajinasi Sosial Bung Karno,' Panca Azimat Revolusi Soekarno mencakup Nasakom, Pancasila, Manipol USDEK, Trisakti dan Berdikari.
Konsep Nasakom, sebagai salah satu Panca Azimat Revolusi, membuat komunisme mulai dilekatkan pada Soekarno. Hal ini, yang pada era Orde Baru merasionalisasi tuduhan bahwa Soekarno adalah seorang komunis.
Nasakom merupakan akronim dari nasionalisme, agama dan komunisme, yang merupakan konsep politik yang digagas Soekarno sekaligus menjadi ciri khas Demokrasi Terpimpin.
Namun, jika ditelusuri secara historis, Nasakom sudah digagas Soekarno jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni pada 1926. Hal ini bisa dideteksi melalui rangkaian artikel yang diterbitkan di majalah politik Soeloeh Indonesia Moeda bertajuk Nasionalisme, Islam dan Marxisme.
Menurut Soekarno, komunisme pada Nasakom merupakan sosialisme karena dilandaskan pada keadailan sosial (social justice) yang juga menjadi dasar Marxisme yang ditulisnya pada 1926 itu.
Nasakom, demikian Rudiyanto, hadir sebagai antitesa atas demokrasi parlementer yang menurutnya didasarkan pada konflik inheren dan berlawanan dengan harmoni bangsa Indonesia. Karena itu, Sukarno mencari sistem alternatif yang mengedepankan diskursus dan konsensus.
Ia kemudian mengusulkan perpaduan tiga unsur utama yakni nasionalisme, agama dan komunisme menjadi pemerintahan yang kooperatif yang kemudian disingkat Nasakom.
Di sisi lain, gagasan ini juga tidak terlepas dari upaya Soekarno untuk memenuhi tuntutan tiga faksi utama dalam politik Indonesia kala itu, yakni militer, kelompok Islam, dan komunis.
Mengutip Dr. Rama Pratama dalam catatanya di Historia berjudul 'Sukarno dalam Pusaran Islam, Nasionalisme, dan Komunisme' Soekarno sesungguhnya hendak menjadikan Nasakom lebih sebagai konsep dan interpretasi operasional, bukan sebagai konsep ideologis.
Menurut Rama, Nasakom tidak menggantikan Pancasila sebagai dasar negara, tetapi lebih merupakan semacam sinkretisme politik Soekarno untuk menyatukan tiga kubu kekuatan politik saat itu, yakni kubu nasionalis, kubu islamis dan kubu komunis.
Penegasan Soekarno bahwa dirinya bukan Komunis juga bisa dibaca dalam pernyataannya kepada rakyat Indonesia ketika mencegah pemberontakan komunis yang dipimpin Muso; "Pilih Soekarno atau Muso?"
Soekarno bukan komunis juga ditegaskan kembali dalam biografinya berjudul 'Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' yang ditulis kolumnis Amerika Serikat, Cindy Adam.
Karena itu, Rama menilai, cap komunis yang ditempelkan ke PDIP saat ini lebih kepada membangun stigma buruk dan menciptakan ketakutan irasional. Di sisi lain, kata Rama, tudingan tersebut juga sebagai upaya merawat sentimen negatif publik terhadap Soekarno dan PDIP.
Hal ini, menurutnya, sama seperti stigma terorisme yang hingga hari ini disematkan ke kelompok Islam politik dan seringkali dilekatkan secara serampangan oleh lawan-lawan politik mereka.
Editor: Andy Tandang