parboaboa

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu Lewat Nomenklatur Non Yudisial Dinilai Tidak Adil

Rian | Nasional | 28-12-2023

KontraS menilai, penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui proses non yudisial dinilai tidak adil. (Foto: Tangkapan layar youtbe Imparsial)

PARBOABOA, Jakarta - Penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu tak kunjung kelar hingga kini. Alih-alih mencari titik terang, pemerintah justru terjebak dalam kebijakan-kebijakan yang tidak adil.

Salah satu indikasinya, yaitu adanya nomenklatur kasus penuntasan pelanggaran HAM melalui proses non yudisial. 

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya Saputra menunjukkan ketidakadilan kebijakan non yudisial dalam menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.

Ia mengatakan, proses non yudisial hanya menawarkan dua argumentasi, yaitu soal kompensasi dan penyelesaian secara kilat. Persis, disinilah letak ketidakadilannya karena mengabaikan hukuman bagi pelaku.

Selain itu, Dimas menegaskan, kebijakan non yudisial justru bertolak belakang dengan janji presiden Jokowi untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan dan bermartabat, sebagaimana tertera dalam dokumen kontrak politik bernama Nawacita.

"Nah dimana diksi keadilan dan bermartabat yang dijanjikan oleh Presiden, dan itu dituliskan dalam dukumen kontrak politik yakni Nawacita yang sering dibangga-banggakan oleh rezim Joko Widodo," kata Dimas dalam diskusi publik Catatan Akhir Tahun Koalisi Masyarakat Sipil di Sadjoe Kafe & Resto, Jakarta, Kamis (28/12/2023).

Dimas mengatakan, kebijakan non yudisial atau non hukum justru membuka lembaran untuk menghadirkan fenomena impunitas, yaitu ketiadaan hukuman yang setimpal untuk terduga pelaku yang belum diminta pertanggungjawaban hukumnya.

Efek lanjutnya, terduga pelaku bisa secara bebas menikmati hak-haknya tanpa terbebani oleh dosa-dosa masa lalu, seperti hak politik dan lain-lainya, seolah-olah mendapatkan legitimasinya secara hukum.

"Jadinya terduga pelanggaran HAM punya hak konstitutif jadi calon presiden, jadi calon legisltaif, jadi komisiaris dan jadi pejabat-pejabat publik yang harusnya bisa dicegah dalam satu siklus negara demokrasi yang menjunjung tinggi HAM," kata Dimas.

Tak hanya itu, Dimas juga mengendus tidak adanya polical will pemerintah saat ini untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu ditengah ketersediaan infrastuktur hukum dan politik yang memadai.

Ia membandingkan dengan era Presiden Gus Dur yang bisa mencipatkan serta melaksanakan dua Pengadilan HAM sekaligus, yaitu Pengadilan HAM di Timor Leste dan Pengadilan HAM Tanjung Priok.

"Itu adalah bukti bahwa kasus penuntasan pelanggaran HAM mudah kalau misalnya ada kemauan politik dari Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan."

Sementara itu, di era Jokowi, KontraS mencatat, pemerintah hanya berhasil membuat satu Pengadilan HAM, yaitu Pengadilan HAM Paniai di Papau tahun 2014, namun bukan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. 

Dipolitisasi

Di sisi lain, KontraS berharap betul, kasus pelanggaran HAM masa lalu bisa mendapat perhatian penuh dari setiap calon pemimpin. Namun, nyatanya, harapan itu hanya sebagai ilusi.

KontraS berkaca pada ketidakberpihakan calon Presiden terhadap isu pelanggaran HAM masa lalu. Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan, oleh Kandidat Capres-Cawapres, isu HAM sekedar dipolitisasi karena narasinya kencang hanya sekali dalam 5 tahun.

Padahal, kalau punya komitmen kuat menuntaskan pelanggaran HAM, mereka harus berdiri bersama para korban yang perjuangannya untuk mendapatkan keadilan tidak mengenal batas waktu. Karena itu, Dimas tak sungkan menyebut janji-janji politik mereka sebagai hoaks dan upaya pembodohan publik. 

"Ini adalah salah satu hoaks terbesar atau salah satu pembodohan publik terbesar," pungkas Dimas.

Ia mengatakan, "sejatinya, isu Hak Asasi Manusia terutama pelanggaran HAM masa lalu adalah isu yang setiap tahun, setiap hari, bahkan dalam durasi menit akan ada orang-orang dan keluarga korban yang melakukan advokasi."     

Dimas mengangkat contoh aksi Kamisan di depan Istana Negara, sebagai perjuangan panjang keluarga korban menuntut keadilan atas pelanggaran HAM masa lalu.

Ia mengatakan, aksi Kamisan sempat mendapat rekor muri sebagai aksi paling konsisten yang dilakukan selama kurang lebih 15 atau 16 tahun terakhir.

"Teman-teman bisa lihat ketanguhan dari keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu dengan latar belakang kasus yang beragam di aksi Kamisan."

Dimas merinci beberapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga saat ini keluarga korban menuntut keadilan lewat aksi Kamisan, yaitu: kasus 65 dan 66, kasus Tanjung Priok, Talang Sari, kasus 98, Trisakti, Semanggi I, Semanggi II dan kasus-kasus serupa ditempat lain.

"Setiap hari kamis mereka menyuarakan aspirasinya dan keresahannya kenapa negara tidak kunjung untuk melakukan penyelesaian kasus-kasus ini," kata Dimas.

Editor : Rian

Tag : #kontras    #ham    #nasional    #lbh jakarta    #penuntasan pelanggaran ham    #non yudisial    #   

BACA JUGA

BERITA TERBARU