Perjuangan Penenun Tradisional: Memelihara Kearifan Lokal dan Budaya Ulos di Era Modernisasi

Penenun Ulos di desa Lumban Suhi-Suhi (Foto:Parboaboa/David Rumahorbo)

PARBOABOA, Samosir - Transformasi ulos menjadi bagian dari tonggak penting dalam perkembangan seni tekstil. Perpaduan inovasi dengan kekayaan budaya, mampu menciptakan terobosan yang menjadi sorotan para kreatif.

Boru Haloho, seorang penenun ulos berpengalaman berusia 50 tahun, telah mendedikasikan hidupnya pada seni tenun sejak usia muda.

penenun ulos tradisional

Ulos yang dihasilkan salah seorang warga desa Lumban Suhi-Suhi (Foto: Parboaboa/David Rumahorbo) 

Keahliannya dalam menenun berhasil membuat banyak karya, termasuk ulos Toba, ulos Simalungun, dan ulos Karo.

Keahlian ini dimulai ketika beberapa pengunjung dari luar desa Lumban Suhi-Suhi memesan ulos Karo dan ulos Simalungun, meskipun mereka berada di tanah batak Toba.

“Pernah datang pengunjung mencari ulos Simalungun karena mereka memang orang Simalungun. Jadi kami buatlah banyak ulos Simalungun, siapa tau ada lagi yang membeli,” tuturnya sembari menunjukkan ulos Simalangun kepada PARBOABOA, (Minggu, 07/04/24).

Namun, Boru Haloho mampu menaklukkan tantangan tersebut dengan baik dan menciptakan tiga jenis ulos saat ini.

Selama proses pembuatan ulos sendiri, warga desa Lumban Suhi-Suhi mempertahankan cara tradisional tenun tangan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Hal ini menjadikan harga ulos bervariasi, mulai dari Rp300.000 hingga Rp5.000.000 per lembar, karena memakan waktu berbulan-bulan untuk membuat selembar ulos.

Hasil penjualan tersebut kemudian menjadi sumber penghasilan utama bagi parapenenun dan digunakan untuk membeli bahan baku.

Di Balik Mahalnya Seni, Ada Proses yang Harus Dibayar

penenun tradisional desa lumban suhi-suhi

Beberapa hasil tenun warga desa Lumban Suhi-Suhi (Foto: Parboaboa/David Rumahorbo) 

Sayangnya, meski permintaan ulos yang meningkat pesat, penenun tradisional masih menghadapi tantangan serius.

Harga yang tinggi menjadi kendala utama dalam pemasaran produk-produk mereka. Terkadang, pembeli lebih memilih produk yang lebih terjangkau daripada membeli produk orisinal dengan harga yang lebih tinggi.

Simarmata (68), sebagai Tungga Ni Huta (pendiri atau penerus desa) di desa Lumban Suhi-Suhi, mengekspresikan kekecewaannya terhadap sikap intoleransi masyarakat terhadap kesenian budaya.

Dia mencatat bahwa banyak pengunjung menolak membeli ulos karena dianggap terlalu mahal.

"Kalau dijual ulos itu Rp300.000 katanya mahal. Padahal 6 hari mereka bertenun katakan gaji Rp50.000 satu hari, gaji apa itu," jelasnya dengan penuh kekecewaan.

Dirinya juga prihatin dengan ancaman eksistensi penenun tradisional. Meskipun kemajuan ulos pesat, tetapi kurangnya apresiasi terhadap keaslian seni mengancam budaya tradisional.

"Ulos inikan sudah booming, sampai Fashion pun diluar negeri sudah ada. Tapi satu hal yang tidak dibangun adalah manual. Yang dibangun adalah mesin," ungkapnya.

Dalam usia tua, Simarmata memandang kurangnya apresiasi terhadap seni budaya sebagai tantangan utama dalam dunia seni. Dia menekankan perlunya peran pemikir dan mahasiswa dalam meningkatkan kesadaran budaya, terutama dalam sektor pariwisata.

"Di sinilah perlunya kolaborasi mahasiswa dengan para pemikir untuk menyampaikan bahwa budaya itu ibarat emas di dalam lumbung untuk pariwisata dalam jangka panjang," ungkapnya.

Lebih lanjut, Simarmata menegaskan pentingnya memperkenalkan penghargaan terhadap budaya sejak dini. Dia menyarankan peran pendidikan dalam menciptakan tradisi menggunakan pakaian adat sebagai solusi.

"Perlu adanya kebijakan dari pemerintah dalam membuat suatu tradisi atau sekali seminggu siswa atau guru-guru memakai baju adat," tutupnya.

Editor: Ester
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS