PARBOABOA, Jakarta - Ribuan buruh akan turun ke jalan mengawal sidang putusan judicial review (JR) terhadap Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, Senin, 2 Oktober mendatang.
Menurut Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, aksi buruh ini untuk merespons dan mengawal hasil putusan sidang judicial review Undang-Undang Cipta Kerja.
"Partai Buruh dan juga seluruh gerakan buruh di Indonesia, akan menggelar aksi besar-besaran," kata Said Iqbal, dalam konferensi pers daring, dikutip PARBOABOA dari akun Youtube Bicaralah Buruh, Rabu (27/09/2023).
Selain mengawal putusan judicial review UU Cipta Kerja, buruh juga akan menuntut pemerintah menaikkan Upah Minimum sebesar 15 persen di 2024.
Said Iqbal mengatakan, lapangan IRTI Monas akan menjadi titik kumpul massa aksi sebelum berjalan kaki ke Gedung MK dan Istana Negara.
Selain di Jakarta, lanjut dia, aksi massa buruh juga akan digelar di seluruh Indonesia, terutama di kawasan Industri.
"Massa aksi juga didampingi elemen masyarakat lain untuk bersama melawan Omnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial dan mendapat perlawanan panjang," ungkap Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu.
Organisasi buruh lain, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) turut membenarkan rencana aksi mengawal sidang putusan judicial review terkait Undang-Undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, Senin (2/10/2023) mendatang.
Ketua Umum DPP KSPSI Yorris Raweay mengatakan, sekitar 10 ribu buruh dari Jabodetabek-Banten akan memenuhi Gedung MK, Senin mendatang.
"Karena di sini, MK akan mempertaruhkan nasib buruh ke depan. Kalau buruh tidak dapat keadilan, maka jalanan akan menjadi cara buruh untuk meraih keadilan," katanya kepada PARBOABOA, Kamis (28/09/2023).
Yorris Raweay menegaskan, Putusan MK nantinya akan memastikan, apakah keadilan di Indonesia masih hidup atau mati. Apalagi, perlawanan masyarakat dan buruh menggagalkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, begitu gigih dan tak kenal lelah.
"Untuk Hakim MK semoga bisa menggunakan akal sehat dan hati nuraninya. Ubah lah jika memang Undang-Undang tersebut tidak berpihak kepada masyarakat dan merugikan buruh," pintanya.
Tidak hanya buruh, Yorris menilai, Undang-Undang Cipta Kerja adalah musuh bersama masyarakat, termasuk kaum petani dan nelayan.
Ia mendesak Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) di Mahkamah Konstutusi untuk mengubah Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
"Bila ada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dirasa merugikan, dengan segala hormat saya minta untuk merubahnya," desak Yorris.
Ditambahkannya, aksi 2 Oktober nanti merupakan awal perjuangan buruh terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.
"Setelah itu aksi buruh akan terus meluas dan bergelombang di seluruh wilayah Indonesia. Buruh akan terus menyuarakan tuntutan, turun ke jalan sampai menang dan aksi 2 Oktober adalah awalan, bilamana tidak ditemukan adanya keadilan," pungkas Yorris Raweay.
Sebelumnya, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau inkonstitusional bersyarat.
Namun, setelahnya Pemerintah mengeluarkan lagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Undang-undang ini masih menuai kontroversi di berbagai kalangan masyarakat, terutama kaum buruh.