Purbaya Tegas Tolak Tax Amnesty Jilid III, Dinilai Rusak Kredibilitas Pajak

Menteri Keuangan Purbaya tolak wacana tax amnesty jilid III (Foto: IG/@pyudhisadewa)

PARBOABOA, Jakarta - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak wacana tax amnesty jilid III yang saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. 

Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi merusak kredibilitas pemerintah sekaligus memberi sinyal keliru bagi para wajib pajak.

Purbaya bilang, pengampunan pajak justru "memberikan sinyal ke para pembayar pajak bahwa mereka boleh melanggar" ketentuan pajak nasional, sebab toh ke depan "ada amnesty lagi,"

“Kalau amnesty berkali-kali, gimana jadi kredibilitas amnesty?" ujarnya di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (19/9/2025).

Menurutnya, terlalu sering memberikan pengampunan pajak hanya akan mendorong praktik penghindaran kewajiban. Alih-alih menumbuhkan kepatuhan, wajib pajak justru bisa menunggu program serupa di kemudian hari. 

“Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, ya sudah, nanti semuanya menyelundupkan duit, tiga tahun lagi buat tax amnesty. Jadi message-nya kurang bagus,” tegasnya.

Mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu juga mengkritik jeda waktu antarprogram yang dinilai terlalu singkat. 

Purbaya menekankan, Indonesia sudah dua kali melaksanakan program ini. Tax amnesty jilid I digelar pada 2016-2017 dengan 956.793 wajib pajak yang mengungkap harta senilai Rp4.854,63 triliun. 

Negara kala itu memperoleh uang tebusan Rp114,02 triliun, atau 69 persen dari target Rp165 triliun. Kemudian, pemerintah kembali membuka ruang serupa melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada Januari-Juni 2022. 

Sebanyak 247.918 wajib pajak mengikuti PPS dengan nilai harta terungkap Rp594,82 triliun dan penerimaan pajak Rp60,01 triliun.

Dengan latar itu, Purbaya mempertanyakan makna amnesti bila dilaksanakan berulang kali. Ia menilai, kebijakan ini tidak tepat dijadikan solusi jangka panjang. 

“Untuk saya sih, tidak terlalu cocok. Tidak terlalu paslah,” ucapnya.

Sebagai alternatif, Purbaya lebih memilih memperkuat kepatuhan wajib pajak dan memperluas basis perpajakan melalui pertumbuhan ekonomi yang sehat. 

Pihaknya disebut akan mengoptimalkan semua peraturan yang ada untuk meminimalkan penggelapan pajak. Langkah lain adalah dengan memajukan ekonomi supaya memperoleh pendapatan lebih maksimal.

Ia menambahkan, pemerintah sebaiknya menempuh jalan harmonisasi perpajakan yang benar, memperlakukan wajib pajak dengan adil, serta menindak tegas pelanggaran tanpa memberikan pengampunan berulang. 

“Jadi yang pas adalah ya, jalankan program-program pajak yang betul, collect yang betul. Kalau enggak ada yang salah dihukum, tapi kita jangan meras gitu. Jadi harus perlakuan yang baik terhadap pembayar pajak,” tutupnya.

Tax Amnesty I dan II

Pemerintah Indonesia pernah meluncurkan program tax amnesty besar-besaran pada 2016 dengan tujuan untuk mendorong pengungkapan aset yang sebelumnya tidak dilaporkan, memulangkan aset (repatriasi), memperluas basis wajib pajak, dan meningkatkan penerimaan negara dalam jangka pendek. 

Program ini berjalan dari 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017 dan digolongkan sebagai salah satu amnesti pajak terbesar di dunia pada masanya. 

Hasil nyata yang dilaporkan adalah hampir Rp4,8-4,9 ribu triliun aset diungkapkan oleh peserta, dan negara memperoleh sekitar Rp114 triliun dari uang tebusan (redemption fees). 

Angka partisipan mencapai ratusan ribu wajib pajak, sehingga program itu berhasil menimbulkan aliran deklarasi aset besar sekaligus rekaman data baru bagi otoritas pajak. 

Namun, efektivitas jangka panjangnya diperdebatkan. Evaluasi dari lembaga internasional dan kajian akademis menyebut bahwa meski tax amnesty memberikan tambahan pendapatan sementara dan data aset. 

Hal ini berdampak pada kepatuhan pajak jangka panjang dan reformasi institusi tidak otomatis kuat sehingga memicu diskusi soal keseimbangan antara insentif dan penegakan. 

Sebagai tindak lanjut dan respons terhadap kebutuhan penegakan, pemerintah kemudian membuka kembali kebijakan sejenis dalam format baru, yakni Program Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure Program, VDP / PPS) pada 2022. 

PPS ini berlangsung pada 1 Januari-30 Juni 2022 dan menargetkan, antara lain, wajib pajak yang belum lengkap pelaporannya sejak amnesti sebelumnya maupun kewajiban perpajakan 2016-2020. 

Hasilnya, 247.918 peserta melaporkan aset senilai Rp594,82 triliun dan negara meraup sekitar Rp60–61 triliun dari pajak terkait pengungkapan tersebut. 

Perdebatan kebijakan terus muncul di mana pendukung menilai amnesti/VDP bisa mempercepat repatriasi modal dan memberi otoritas data baru untuk penagihan di masa depan. 

Di pihak lain, para pengkritik mengingatkan risiko moral hazard, yakni insentif bagi pengemplang untuk menunda kepatuhan dengan harapan ada pengampunan lagi serta kebutuhan memperkuat sistem administrasi dan penegakan pajak agar kepatuhan tahan lama. 

Laporan dan analisis dari IMF/World Bank serta studi akademik merekomendasikan kombinasi dalam menggunakan data yang terkumpul untuk reformasi administrasi, sambil mempertegas aturan dan sanksi.

Kini, dengan penolakan terhadap tax amnesty jilid III, pemerintah bermaksud merumuskan jalan baru bagi model perpajakan di Indonesia agar memberikan manfaat luas bagi pertumbuhan ekonomi negara.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS