PARBOABOA, Jakarta - Lembaga pemerhati korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) inkonstitusional.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyebut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 melemahkan KPK, alih-alih memperkuat pemberantasan korupsi.
"Periodisasi masa jabatan pimpinan KPK sejatinya merupakan open legal policy dan hal tersebut merupakan kewenangan absolut dari pembentuk peraturan undang-undang, bukan MK," ujar Kurnia dalam keterangan tertulis yang diterima Parboaboa di Jakarta, Senin (29/5/2023).
Menurutnya, alasan hakim MK mengabulkan uji materiil Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terhadap Pasal 34 Undang-Undang KPK terkait masa jabatan empat tahun yang disebut tidak memberikan kepastian hukum, sangat tidak masuk akal.
"Apalagi, pimpinan KPK terpilih, dilantik dengan masa jabatan yang pasti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KPK," ungkap Kurnia Ramadhana.
KPK Dilemahkan Berkali-kali
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana juga menilai putusan MK soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi bentuk pelemahan terhadap lembaga antirasuah yang dipimpin Firli Bahuri tersebut.
"Perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, dapat dianggap publik pemerintah membiarkan KPK mengalami destruksi berkepanjangan. Mulai dari revisi UU KPK, memilih Firli dan mendiamkan pemberhentian puluhan pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan," ujar Kurnia.
Putusan MK itu, lanjut Kurnia, juga membuat publik menilai KPK saat ini krisis integritas. MK, kata dia, berpotensi dianggap mempunyai konflik kepentingan dengan pemerintah karena mengabulkan uji materiil masa jabatan pimpinan KPK.
Sementara eks Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai, pemberantasan korupsi telah tersungkur berkali-kali dalam periode lima tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu, kata Bambang, terkonfirmasi dengan indeks persepsi korupsi yang merosot tajam sehingga skornya sama dengan periode awal pemerintahan Jokowi, yakni hanya 34 poin.
"Serta kinerja KPK periode 2019-2023 diperburuk dengan revisi UU KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019," jelas Bambang kepada Parboaboa.
Selain itu, putusan MK soal perpanjangan masa jabatan dan syarat calon pimpinan KPK, tidak akan membuat pemberantasan korupsi di Indonesia semakin baik.
"Putusan MK tidak akan pernah mengubah apapun dan atau membuat upaya pemberantasan korupsi makin berwibawa dan terhormat apalagi menjadi efektif," tegasnya.
"Putusan itu juga tidak membuat upaya pemberantasan korupsi semakin tajam dan tuntas mengulik semua kejahatan korupsi. Bahkan disinyalir, upaya pemberantasan korupsi bertambah runyam dan suram, serasa sudah di tubir jurang," lanjut Bambang.
Sebelumnya, Bambang menilai putusan MK soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK tidak bisa langsung diterapkan pada periode ini.
Menurutnya, ada prinsip non retroaktif yang tersebut secara implisit di Pasal 281 ayat (1) UUD 1945 yang harus diberlakukan atas Putusan MK di atas," katanya kepada Parboaboa, Jumat (26/5/2023).
Non retroaktif adalah asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang. Non retroaktif juga untuk memberikan kepastian hukum.
Bambang mengatakan, putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 tentang perubahan masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun, tak serta merta dapat dilaksanakan tahun ini.
"Pemberlakuan atas Putusan MK dimaksud tidak serta merta dapat dilaksanakan pada periode jabatan Pimpinan KPK saat ini 2019-2023," tegasnya. Jika putusan MK itu diterapkan pada tahun ini, akan terjadi tindakan inkonstitusional.
"Jika nekat tetap diterapkan maka akan terjadi tindakan inkonstitusional. Kita tentu sepakat pemberantasan korupsi harus terus dihidupkan, angka IPK yang jeblok dengan skor 34 yang salah satu penanggung jawabnya adalah KPK. Quo Vadis MK dan KPK," pungkas Bambang.
Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan uji materiil yang dilayangkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron atas Pasal 34 dan Pasal 29 huruf e UU KPK. Dengan keputusan itu, masa jabatan pimpinan KPK berubah dari 4 tahun menjadi 5 tahun.
Selain itu, MK juga mengubah ketentuan syarat calon pimpinan KPK yang termuat pada Pasal 29 huruf e UU KPK.
Dari semula berbunyi "Berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan", diubah menjadi "Berusia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan".