PARBOABOA, Jakarta - Langkah mengejutkan datang dari Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, politikus Partai Gerindra sekaligus keponakan Presiden Prabowo Subianto.
Perempuan yang akrab disapa Sara itu menyatakan mundur dari kursi Dewan Perwakilan Rakyat periode 2024–2029.
Keputusan tersebut ia umumkan lewat sebuah video di Instagram pada Rabu, 10 September 2025, setelah pernyataannya dalam sebuah siniar lama kembali mencuat dan menuai kontroversi di tengah masyarakat.
Pengunduran diri Sara terjadi dalam suasana politik yang sedang bergejolak. Beberapa anggota DPR dari berbagai fraksi baru saja dinonaktifkan akibat ucapan yang dinilai menyinggung masyarakat, menyusul gelombang demonstrasi besar di akhir Agustus.
Situasi itu membuat perhatian publik tertuju pada para legislator, termasuk Sara, yang video lawasnya kembali dipotong, disebarkan, dan viral di media sosial.
Sara mengaku bahwa potongan pernyataan tersebut sengaja dijadikan amunisi untuk memancing kemarahan warga.
Meski menilai rekaman itu disalahgunakan, Sara memilih bertanggung jawab atas ucapannya.
Dalam pernyataannya, ia meminta maaf kepada publik dan menyatakan mundur dari DPR. Sikap ini menunjukkan keputusan yang tidak mudah bagi putri pengusaha sekaligus politisi senior Hashim Djojohadikusumo tersebut.
Profil Rahayu Saraswati
Di balik sorotan publik, sosok Sara sejatinya sudah lama bergelut dengan dunia politik dan aktivisme sosial.
Lahir dari keluarga politik, Sara adalah anak kedua dari Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto.
Jejaknya di Partai Gerindra tak lepas dari pengaruh keluarga, hingga akhirnya ia dipercaya menduduki jabatan Wakil Ketua Umum partai.
Namun kiprah Sara tidak hanya di politik. Riwayat pendidikannya terentang dari Tarakanita 2 Jakarta, United World College Singapura, hingga University of Virginia di Amerika Serikat dengan konsentrasi di bidang seni drama dan peradaban klasik.
Ia juga pernah mendalami seni peran di London dan Los Angeles, sebelum akhirnya pulang ke Indonesia.
Kecintaannya pada seni sempat membawanya ke layar lebar, bermain dalam film "Merah Putih", "Java Heat", hingga "Dream Obama".
Selain berkarier di dunia hiburan, Sara juga terjun ke dunia bisnis keluarga Grup Arsari. Meski demikian, panggilan politik lebih kuat.
Pada 2008 ia bergabung dengan Satuan Relawan Indonesia Raya (SATRIA), sayap relawan Partai Gerindra, lalu masuk ke organisasi Tunas Indonesia Raya (Tidar) pada 2012.
Di tahun yang sama, ia mendirikan Yayasan Parinama Astha yang berfokus pada isu perdagangan manusia—sebuah kerja sosial yang menegaskan kepeduliannya pada kelompok rentan.
Karier politiknya semakin serius ketika ia maju di Pemilu 2014 dari Dapil Jawa Tengah IV dan berhasil lolos ke Senayan.
Ia duduk di Komisi VIII DPR hingga 2019, meski pada Pemilu berikutnya gagal mempertahankan kursi.
Tak berhenti, ia mencoba peruntungan di Pilkada Tangerang Selatan 2020 sebagai calon wakil wali kota, namun kandas.
Sara kembali menguatkan basis politiknya dengan menjabat sebagai Ketua Umum Tidar pada 2021, posisi yang masih diembannya hingga kini.
Perjalanan politik Sara berlanjut di Pemilu 2024, kali ini dari Dapil Jakarta III. Ia kembali ke parlemen dan dipercaya menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR yang membidangi energi, riset, dan teknologi.
Posisi itu seolah menjadi puncak baru dalam kariernya. Namun hanya beberapa bulan setelah dilantik, ia harus menanggalkan jabatan tersebut akibat tekanan publik dan kontroversi pernyataan yang menyeruak di media sosial.
Di luar dunia politik, Sara dikenal aktif dalam berbagai organisasi sosial. Ia tercatat pernah menjadi bagian dari Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Yayasan Peduli Down Syndrome Indonesia, hingga Jaringan Nasional Anti-Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Selain itu, ia juga pernah memimpin beberapa perusahaan di bawah naungan Grup Arsari.
Sosoknya kerap dipandang sebagai representasi perempuan muda dengan karier multitalenta—dari seni, bisnis, hingga politik.
Keputusan mundur dari DPR mungkin menjadi titik balik bagi perjalanan Sara. Bagi sebagian orang, langkah ini bisa dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab moral, meski di sisi lain juga memperlihatkan betapa kerasnya tekanan publik terhadap politisi di era digital.