PARBOABOA, Jakarta - Suhu politik internasional kian memanas menyusul adanya ancaman calon Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump terhadap Iran.
Sebagaimana dilaporkan AFP, Kamis (25/7/2024) Trump mengatakan, jika Iran benar-benar membunuhnya kelak saat menjadi presiden, Washington harus benar-benar melenyapkan Teheran dari muka bumi.
Andai AS tidak melakukannya, para pemimpin Negeri Paman Sam, tegas Donald Trump, merupakan pengecut yang tidak memiliki keberanian.
"Jika dia membunuh Presiden Trump, di mana selalu mungkin terjadi, saya harap Amerika melenyapkan Iran, menghapusnya dari muka bumi," kata mantan presiden itu.
Trump mengancam Iran merespons pernyataan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu yang mengungkapkan dugaan adanya rencana Iran membunuh Trump.
Netanyahu menyampaikan hal itu saat berpidato di hadapan kongres AS, Rabu Malam (24/7/2024).
Hal itu dikuatkan oleh laporan salah satu media AS yang mengungkapkan bahwa Secret Service AS telah meningkatkan pengamanan untuk Trump sejak beberapa minggu lalu, terutama setelah otoritas intelijen mengetahui rencana jahat Iran untuk Trump.
Namun, Washington menyatakan bahwa rencana Teheran tersebut tidak ada kaitannya dengan percobaan pembunuhan terhadap Trump yang terjadi selama kampanye di Pennsylvania pada 13 Juli lalu.
Saat itu Trump mengalami luka-luka di telinga kanannya setelah seorang pria AS berusia 20 tahun melepaskan tembakan ke arahnya dari atap gedung.
Sebenarnya, antara Iran dan AS memiliki sejarah hubungan yang sangat dekat, terutama Ketika Iran dipimpin oleh Raja Mohammed Reza Pahlevi.
Sebagaimana dicatat Fenny Rizka Salsabila dan Dina Yulianti dalam tulisan berjudul Security Dilemma dalam Ketegangan AS-Iran Pasca Serangan Kapal Tanker di Teluk Oman - kedua negara semula punya rasa saling ketergantungan satu dengan yang lain.
Bagi Iran, bersekutu dengan AS memberikan perlindungan yang signifikan terhadap kemungkinan serangan dari Uni Soviet. Di sisi lain, bagi AS, aliansi dengan Iran menguntungkan karena Iran membuka wilayahnya untuk kehadiran AS dan bersedia membiayai kebutuhan militernya dengan biaya tinggi.
Pada masa itu, Iran adalah pengimpor senjata terbesar dari AS di kawasan tersebut.
Kondisi berbalik Ketika Raja Reza digantikan oleh pemimpin revolusi, Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini. Setelah Revolusi, negara tersebut berubah menjadi Republik Islam Iran.
Perubahan ini menandai awal dari serangkaian ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat. Pada masa awal revolusi, Amerika Serikat diduga melakukan berbagai upaya sabotase.
Sebagai respons, pemuda Iran menyandera warga negara AS di Kedutaan Besar AS di Teheran selama 444 hari, dari 4 November 1979 hingga 20 Januari 1981.
Insiden penyanderaan ini menyebabkan Amerika Serikat memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran yang berlanjut hingga saat ini.
Selain itu, pada 4 November 1979, Presiden AS Jimmy Carter memerintahkan pembekuan semua aset Iran yang berada di bawah yurisdiksi AS.
Amerika Serikat juga memberlakukan embargo terhadap Iran di berbagai sektor, termasuk minyak dan pengembangan senjata.
Di tahun 2018, saat Donald Trump terpilih jadi Presiden AS, ia menepati janjinya dengan mengumumkan mundurnya AS dari JCPOA pada 8 Mei 2018 dan mengancam akan menerapkan sanksi ekonomi yang lebih keras pada Iran.
Pada 7 Agustus 2018, pemerintahan Trump memberlakukan embargo tahap pertama yang melarang perusahaan AS berbisnis dengan Iran di sektor aeronautika, otomotif, karpet, dan emas.
Kemudian, pada November 2018, diterapkan sanksi tahap kedua yang membatasi kerjasama di industri minyak dan perbankan. Akibat berbagai sanksi ini, perekonomian Iran mengalami penurunan yang signifikan.
Manuver Trump berlanjut pada 8 April 2019, ketika ia menyatakan bahwa militer Iran, Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC), sebagai organisasi teroris asing (Foreign Terrorist Organisation, FTO).
Ini adalah pertama kalinya AS secara resmi menetapkan militer negara lain sebagai "kelompok teroris".
Dengan penetapan IRGC sebagai organisasi teroris asing (FTO), segala bentuk aliran keuangan dan perjalanan yang berhubungan dengan IRGC menjadi terlarang dan dapat dikenai sanksi oleh Amerika Serikat.
Saat ini ketegangan AS dan Iran kian tegang dan mencapai titik puncak ketika Teheran berusaha membalas dendam atas pembunuhan komandan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) Qassem Soleimani tahun 2020 lalu.
Pembunuhan ini diduga dilakukan atas perintahkan Trump yang sewaktu menjabat sebagai Presiden AS.
Editor: Gregorius Agung