Si Anak Hilang yang Tiada Pulang

Dua sastrawan utama Indonesia, Sitor Situmorang dan Pramoedya Ananta Toer, sedang tergelak. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Merayakan Seabad Sastrawan Utama Sitor Situmorang

PARBOABOA - Tiominar Gultom istri pertama Sitor Situmorang. Lulusan sekolah guru Belanda, dia putri seorang asisten demang [jabatan di zaman hindia-Belanda, kelak berganti nama menjadi asisten wedana sebelum menjadi camat].

Pasangan ini menikah pada Maret 1945. Setelah menjadi suami, Sitor yang saat itu masih 22 tahun pindah dari Sibolga ke Tarutung. Dia pegawai pemerintah.

Sejak bergabung dengan koran Waspada sebagai repoter di Medan tahun 1947, ia mulai jadi pengelana. Imbasnya, enam anaknya dari Tiominar sedikit saja mengecap kasih sayangnya. Demikian selamanya. Wajarlah kalau akhirnya mereka menganggap dia orang asing.

Sitor menyimpan rasa bersalah pada istri dan anak yang ditelantarkannya demi kembara. Di pelbagai sajak itu ia nyatakan. Kepada Anakku, misalnya, yang ia hasilkan pada periode Surat Kertas Hijau.

Kepada Anakku

Hai, anakku jadilah tukang

Di waktu senggang jangan baca

Sajak-sajak petualang

Cintailah kerjamu

Lupakan kepedihan bapak

Tebusan duka ibu

Bila datang penyair

Jangan terima bertamu

Segala yang mengingatkan padamu

Usir

Bahagia

Hanya di hidup sederhana

Antara pagi kerja

Dan senja memuja

Kehidupan sederhana

Di tengah manusia kenal setia

Rasa bersalah itu rupanya selalu dikalahkan oleh hasrat besarnya untuk melangkahkan kaki menjelajahi negeri-negeri jauh.

Rasa sesal karena terlanjur telah berumah tangga pernah menyelip juga di sanubarinya. Seperti yang ia ungkapkan dalam biografinya (1981), saat hendak bertolak ke Jakarta pada 1949 tanpa membawa keluarga, ia membenarkan ucapan koleganya sesama wartawan bahwa di negeri kolonial sebaiknya jurnalis, politisi, apalagi seniman tidak menikah. Sebabnya? “…jadi wartawan atau politikus berarti harus siap terjun tanpa jaminan.”

Setiba di Jakarta Sitor tak tertarik lagi pada dunia wartawan. Sastra dan budaya lebih memikat hatinya. Di lapangan yang masih terbelakang itu ia lebih dituntut lagi untuk senantiasa siap terjun tanpa jaminan. Maka, ‘kehidupan sederhana di tengah manusia kenal setia’ semakin ia tinggalkan.

Ompu Babiat

Kekelanaan abadi Sitor merupakan imbas langsung dari lingkungan masa kecilnya. Masih bocah dia ketika tercerabut dari akar keluarga batihnya. Waktu kemudian menjadikan dia warga dunia yang jiwanya tertambat di dua tempat: negeri kembara dan tanah kelahirannya, Harianboho.

Waktu Raja Usu alias Sitor Situmorang lahir pada 2 Oktober 1924 (sebagai putra ke-5 dari 9 bersaudara), ayahnya sudah 74 tahun. Ompu Babiat Situmorang, ipar yang juga panglima perang Raja Si Singamangaraja XII, bapaknya. Dia tokoh adat kharismatik yang acap dan rutin bepergian jauh.

Jarang berinteraksi secara dekat, salah satu yang paling diingat Sitor dari lelaki yang, menurut sang penyair kelana, tutup usia 123 tahun [pada 1963] adalah tulila [seruling kecil dari bambu yang tumbuh di paya-paya] sebagai buah tangannya sepulang dari tempat jauh.

Itu ia tuliskan antara lain di biografinya, Sitor Situmorang—Seorang Sastrawan 45 (terbit tahun 1981) dan di puisi Danau Toba (dari periode Angin Danau).

Seperti halnya ipar yang acap dilindungnya, Si Singamangaraja XII, Ompu Babiat memiliki kemampuan supranatural tingkat tinggi. Tak sekali saja Harianboho dibumihanguskan pasukan Belanda yang sedang mencari sang raja Batak dari Bakkara namun ia selalu mampu meloloskan diri. Itu contohnya.

Sitor Situmorang, penyair asal Danau Toba yang lama bermukim di Eropa. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

 

Sitor kecil pernah juga merasakan sendiri ‘ilmu tinggi’ dan kemisteriusan sang ayah yakni saat menapak bersama dalam sebuah perjalanan jauh. Ompu Babiat laksana mampu hilang dan muncul begitu saja kapan pun. Kalau dalam film seri ‘Star Trek’ yang tersohor itu sebutannya adalah teleportasi.

Tatkala Sitor sedang gugup saat melintasi titian yang terbuat dari sebatang pohon di atas jurang, umpamanya, ayahnya muncul begitu saja untuk menuntun. Padahal, sebelumnya mereka tak beriringan.

Kelak, Sitor juga beroleh cerita dari para parangan [pengawal] ayahnya tentang kemampuan teleportasi tersebut. Orang tua itu selalu tiba duluan dalam kondisi yang bugar kendati semula jauh di belakang dalam perjalanan panjang menggunakan kaki semata menembus alam raya bertantangan berat. Mereka menganggap Ompu Babiat bisa menghilang dan bergerak serupa angin.

Sitor telah meninggalkan Harianboho, desa terpencil di lembah, pada usia 7 tahun setelah sebelumnya dititipkan setahun di rumah keluarga. Ia melanjut ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS, sekolah dasar berbahasa Belanda) Balige. Dan, di kelas 5 ia pindah ke HIS Sibolga.

Seusai menjalani pendidikan di kelas 7 ia melanjut ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah tingkat pertama) di Tarutung. Pada Juli 1941 ia berangkat ke Batavia untuk meneruskan pendidikan di Algemene Middelbare School (AMS, setingkat sekolah menengah atas).

Sejak bersekolah di HIS Balige tanpa disadarinya ia telah teraneliasai secara permanen dari tanah kelahiran. Tak ada lagi titik balik. Ia pun menjadi sosok asing seperti yang digambarkannya di puisi Si Anak Hilang [periode Dalam Sajak].

Si Anak Hilang

Buat Siti P. Nainggolan 

 

Pada terik tengah hari 

Titik perahu timbul di danau 

Ibu cemas ke pantai berlari 

Menyambut anak lama ditunggu 

 

Perahu titik menjadi nyata 

Pandang berlinang air mata 

Anak tiba dari rantau 

Sebaik turun dipeluk ibu 

Bapak duduk di pusat rumah 

Seakan tak acuh menanti 

Anak di sisi ibu gundah 

- Lakilaki layak menahan hati - 

 

Anak duduk disuruh bercerita 

Ayam disembelih nasi dimasak 

Seluruh desa bertanyatanya 

Sudah beristri sudah beranak? 

Si-Anak hilang kini kembali 

Tak seorang dikenalnya lagi 

Berapa kali panen sudah 

Apa saja telah terjadi?

 

Şeluruh desa bertanyatanya 

Sudah beranak sudah berapa? 

Si-Anak hilang berdiam saja 

la lebih hendak bertanya 

Selesai makan ketika senja 

Ibu menghampiri ingin disapa 

Anak memandang ibu bertanya 

Ingin tahu dingin Eropa 

Anak diam mengenang lupa 

Dingin Eropa musim kotanya 

Ibu diam berhenti berkata

Tiada sesal hanya gembira 

 

Malam tiba ibu tertidur 

Bapa lama sudah mendengkur 

Dị pantai pasir berdesir gelombang 

Tahu si-Anak tiada pulang

Sitor Situmorang, hingga sepuh pun masih saja bernas. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

 

Sekolah Sitor di AMS Batavia putus tahun 1942 akibat pendudukan Jepang. Seperti dikisahkannya dalam Sitor Situmorang—Seorang Sastrawan 45 (1981), ke rumah abangnya di Sibolga ia berpaling. Sejak 1943 ia menjadi pegawai jawatan pemerintah di kota pelabuhan itu. Ia baru pindah ke Tarutung setelah menikahi Tiominar Gultom pada Maret 1945.

Elan revolusi begitu merasuki jiwanya sehingga ia meninggalkan dunia kepegawaian. Ia menjadi wartawan Suara Nasional, Tarutung, terbitan Komite Nasional setempat.

Sebagai jurnalis ia mencatat dengan cermat gejolak revolusi di Sumatra Timur yang dimotori kelompok-kelompok pemuda bersenjata, termasuk yang menyasar kaum ningrat. Penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, salah satu yang tewas dalam revolusi sosial 1946.

Berhasrat menjadi wartawan tulen, ia lantas pindah ke Medan tahun 1947 untuk menjadi reporter Waspada. Di tahun itu juga Pemimpin Redaksi Mohamad Said memercayai dia meliput konferensi negara-negara bonekanya Van Mook, di Bandung.

Dari Bandung, atas inisiatif sendiri, dia bergerak ke Yogyakarta untuk meliput perundingan Indonesia-Belanda di Kaliurang. Akses delegasi Indonesia yang ia manfaatkan.

Ternyata, ibukota Republik yang sangat beratmosfir revolusi itu menjadi semacam oase jiwa baginya. Di kota gudeg ia berinteraksi dengan segala macam manusia termasuk para politisi utama yang hijrah dari Jakarta, dan kaum pekerja kebudayaan. Minatnya pun bergeser.

Jurnalisme tak menarik lagi baginya sehingga ia melupakan kewajibannya untuk Waspada. Di sana ia menjalin hubungan intim dengan seorang perempuan bule eksotik yang bekerja untuk delegasi Indonesia.

Perempuan penyuka karya penyair Inggris, William Blake, itulah menurut dia yang menjadi pengilham sehingga dirinya kemudian mencemplungkan diri ke sagara puisi.

Seperti halnya ke Waspada, ke istri dan anaknya ia akhirnya alpa berkabar selama di Yogyakarta. Sepulang ke Medan setelah bebas dari penjara Belanda di Wirogunan, Yogya, di awal 1949 ia menjumpai keluarganya sedang morat-marit.

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS