PARBOABOA, Jakarta – Beberapa waktu lalu asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mengaku terharu tatkala melihat dua kakak-baradik saling rangkul dan rukun. “Saya jadi ingin nangis,” katanya sambil menyeka air mata di ujung mata.
Yati, sebut saja demikian pernah bekerja di keluarga selama 6 tahun kala anak-anak masih kecil. Tapi dia sempat ‘menghilang’ sekian belas tahun. Baru beberapa bulan lalu muncul tiba-tiba menawarkan diri untuk kembali bekerja. Wajar jika hatinya tersentuh oleh adegan kakak-beradik itu.
“Mbak Yati masih ingat waktu abang-abang masih kecil ngikutin kucing ke masjid. Mbak Yati yang cariin abang-abang karena enggak pulang-pulang padahal udah sore,” kenangnya. Ia berkisah di hadapan kedua remaja itu.
Sebagai orang tua, kami tentu merasa bahagia melihat kerukunan remaja yang bertaut usia 2,5 tahun. Bahagia karena kami merasa berhasil memupuk ikatan emosi di antara keduanya untuk saling menyayangi, menghormati, dan membantu di saat suka dan duka. Sang adik saat kami sarapan atau makan malam tak sungkan mengatakan,’ Abang Kei kok makin kece aja,’ dengan nada serius meski direspon dingin sang Abang. Hmm, orang tua mana yang tak bahagia melihat keakraban mereka.
Apa sebetulnya rasa bahagia itu? Saya pikir bahagia adalah gabungan rasa senang, damai, tenang, puas, dan lega. Rasa itu tentu tidak mungkin permanen tapi sebisanya kita pertahankan. Keadaan dapat berubah sewaktu-waktu jika, misalnya, mereka tak akur. Kebahagiaan itu pasti akan terusik.
Untuk mencapai dan mempertahankan kebahagiaan tentu butuh usaha. Pada kasus bahagia melihat anak-anak akur, buah itu tidak ujug-ujug datang. Sebagai orang tua kami terus menanamkan di sepanjang hidup mereka kata-kata pengingat seperti adik harus menghormati kakak, kakak harus melindungi adik, hindari bentrokan fisik, mengalah demi kebaikan, saling memberi perhatian karena saat dewasa nanti pasti akan saling membutuhkan, selalu saling memberi dukungan dan perhatian, tetap menjaga privacy, dan sering-sering bertemu fisik menjaga ikatan emosi.
Jadi kalau ada kuis yang pertanyaannya “apa yang membuatmu bahagia?” Saya dengan cepat akan jawab sesuatu yang membuat hidup ini tenang, damai, dan puas hati. Kenapa? Karena apa yang kita upayakan mewujud sesuai ekspektasi.
Ternyata kebahagiaan menurut ajaran Yunani Kuno bisa dikelompokkan menjadi dua kategori utama. Pertama, disebut kesejahteraan eudaimonik (eudaimonic well-being) yang secara sederhana diartikan sebagai memiliki makna dan tujuan dalam hidup. Ilustrasi di atas termasuk katagori ini.
Jadi ada makna dan tujuan yang lebih dalam. Contoh lain misalnya saat kita merasa berhasil menuntaskan pekerjaan yang menantang. Rasa puas dan bahagia bercampur menjadi satu. Atau bagi sebagian orang menjadi relawan di komunitas tertentu memberi kebahagiaan kategori ini.
Dalam lingkup yang lebih kecil, kebahagian eudaimonik dapat tercapai dengan menjalin kedekatan bersama orang-orang tercinta, hidup rukun, dan guyub.
Ada sebuah keluarga sekandung 11 bersaudara rutin dan konsisten menyelenggarakan zoom meeting seminggu sekali sejak pandemi Covid-19 mendera hingga hari ini. Barangkali mereka telah memecahkan rekor dunia. Pertemuan virtual diadakan setiap Minggu malam yang kerap berakhir hingga tengah malam. Kebahagian jelas terpancar dari riuh rendahnya pertemuan mingguan itu. Tak pernah absen diselenggarakan, seluruh peserta menjadikan Minggu malam sebagai agenda tetap yang terus dinanti dengan antusias.
Kebahagiaan kategori kedua adalah hedonik. Para ahli memaknainya sebagai merasakan kesenangan dan menghindari rasa sakit. Contohnya, menemukan kedai kopi yang menawarkan cookies terenak di kota kita tinggal, menikmati mie ayam langganan yang tiada ada tara lezatnya, tertawa saat melihat unggahan lucu di media sosial, atau bersantai di gazebo rooftop tempat tinggal kita.
Keduanya, menurut para ahli, penting agar seseorang dapat berkembang secara utuh.
Sebagian orang barangkali lebih mementingkan untuk mencari kebahagian yang hedonik belaka. Karena umumnya bahagia secara eudaimonik perlu hubungan yang kuat.
Saran ahli carilah orang-orang yang dalam hidupmu membuatmu merasa menjadi diri sendiri seutuhnya. Habiskan waktu bersama mereka. Atau mulailah mengirimi pesan singkat secara acak kepada teman tersayang yang sudah lama tidak kamu ajak bicara.
Cara lainnya adalah mengembangkan keterampilan atau hobi baru. Ini bisa menjadi sumber besar kesejahteraan eudaimonik—apakah itu olah raga badminton, jogging rutin mengelilingi taman, melukis, menulis novel, atau sekadar belajar bahasa baru.
Meski menciptakan kegembiraan sesaat, para ahli sepakat bahwa kebahagiaan hedonik pun jangan sampai kekurangan. Hal-hal sederhanal bisa memberimu kesenangan seperti merancang petualangan kecil bersama keluarga untuk piknik ke pantai, hiking ke bukit dekat rumah, menikmati musik yang membuatmu tersentuh dan memberi kebahagiaan.
Satu hal yang merupakan sumber kebahagiaan adalah berhubungan seks. Meski masih dianggap tabu bagi sebagian orang, para ahli meyakini hubungan seks merupakan sumber kebahagian hedonik sekaligus eudaimonik karena pada saat itu kita akan merasa terhubung secara emosional dengan orang lain.
Tentu Anda boleh tidak sependapat dengan penulis soal memaknai kebahagiaan. Karena sejatinya sulit mendefinisikan kebahagiaan dan betapa banyaknya jalan untuk mencapai itu.