Umrah Mandiri Resmi Dilegalkan: Antara Peluang Kebebasan Ibadah dan Ancaman bagi Industri Travel Syariah

Umrah Mandiri Resmi Dilegalkan (Foto: Dok. CNN)

PARBOABOA, Jakarta – Pemerintah Indonesia bersama DPR RI resmi mengesahkan aturan baru yang memperbolehkan umat Islam melaksanakan umrah secara mandiri tanpa harus melalui biro perjalanan resmi.

Legalisasi ini tertuang dalam Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU) Nomor 14 Tahun 2025.

Meski dianggap sebagai langkah progresif dalam memberikan kemudahan beribadah, kebijakan ini menuai kekhawatiran besar dari pelaku industri travel haji dan umrah di Tanah Air.

Diketahui, pemerintah bersama DPR RI, pada Kamis (24/10), secara resmi mengesahkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU).

Dalam pasal 86 ayat 1 huruf b undang-undang tersebut, disebutkan bahwa perjalanan ibadah umrah kini dapat dilakukan tidak hanya melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), tetapi juga secara mandiri. Bunyi pasal tersebut menegaskan: “Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan: a. melalui PPIU; b. secara mandiri; atau c. melalui Menteri.”

Kebijakan ini menjadi tonggak baru yang membuka ruang bagi masyarakat untuk mengatur sendiri perjalanan ibadah umrahnya. Sebelumnya, jamaah diwajibkan menggunakan jasa PPIU berizin untuk dapat berangkat ke Tanah Suci.

Kebijakan ini langsung menimbulkan gelombang reaksi dari kalangan pelaku usaha travel haji dan umrah.

Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Zaky Zakaria Anshary, menyebutkan bahwa pasal baru tersebut membuat pelaku usaha syok.

Menurut Zaky, sejak awal pemerintah menegaskan bahwa penyelenggaraan ibadah umrah hanya boleh dilakukan oleh badan usaha resmi yang terakreditasi dan diawasi ketat.

Dengan legalisasi umrah mandiri, ribuan pelaku PPIU yang telah berinvestasi besar dan patuh terhadap regulasi kini merasa dikhianati.

“Bagi ribuan pelaku PPIU/PIHK yang telah membayar pajak, menjalani sertifikasi, serta menciptakan lapangan kerja bagi jutaan orang, keputusan ini seperti petir di siang bolong,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Zaky menilai, legalisasi umrah mandiri bukan sekadar persoalan kehilangan pangsa pasar, tetapi juga berpotensi mengguncang fondasi ekonomi keumatan.

Sektor haji dan umrah saat ini menopang kehidupan sekitar 4,2 juta pekerja di berbagai lini usaha — mulai dari transportasi, hotel syariah, hingga katering halal.

Ia menyoroti bahwa kebijakan ini membuka peluang bagi perusahaan besar dan marketplace global seperti Agoda, Traveloka, Tiket.com, hingga platform asing seperti Nusuk dan Maysan, untuk menjual langsung paket umrah kepada jamaah Indonesia.

“Mereka punya modal besar dan strategi ‘bakar uang’ yang tidak mungkin disaingi oleh travel kecil berbasis umat. Jika ini dibiarkan, bukan hanya PPIU kecil yang tumbang, tetapi juga rantai ekonomi domestik — dari hotel syariah, katering halal, hingga tenaga kerja lokal — akan ikut runtuh,” tegas Zaky.

Selain dampak ekonomi, AMPHURI juga mengkhawatirkan aspek perlindungan jamaah.

Menurut Zaky, tanpa pendampingan dari PPIU berizin, jamaah yang memilih umrah mandiri berisiko tinggi tersesat secara manasik, kehilangan kesiapan spiritual, bahkan menjadi korban penipuan oleh agen tidak bertanggung jawab.

“Umrah bukan sekadar perjalanan wisata. Ini adalah ibadah yang membutuhkan pembinaan fiqh, pendampingan ruhani, dan kesiapan spiritual,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti ketidakjelasan dua batas pengaman dalam UU PIHU baru, yaitu istilah “penyedia layanan” dan “sistem informasi kementerian.”

Menurutnya, perlu kejelasan apakah penyedia layanan tersebut hanya PPIU berizin atau juga termasuk marketplace global, serta bagaimana sistem informasi kementerian akan memastikan perlindungan jamaah secara nyata.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS