PARBOABOA, Pematangsiantar – Sulitkah menulis? Pertanyaan itu kuajukan tadi. Sudah kuduga apa jawaban mereka.
“Sulitttt….” Laksana paduan suara, spontan semuanya menyahuti.
“Apa saja kesulitannya?”
Ucapan mereka bertalu-talu.
“Menuangkan isi pikiran.”
“Memulai.”
“Merangkai kata.”
“Membuat kalimat.”
“Perbendaharaan kata miskin.”
Sebelum jawabannya lebih banyak, kuminta masing-masing menuliskannya di secarik kertas dalam bentuk poin-poin.
Kertas jawaban kemudian dipertukarkan secara acak sebelum dibacakan oleh masing-masing. Seperti di kelas-kelas lain yang kutangani hampir tiga dekade ini—pesertanya sebagian sarjana yang di antaranya bergelar profesor doktor—daftar keluhan mereka panjang.
Merancang sistematika, memilih ‘angle’ [sudut pandang], membuat judul yang keren, menata alur, memainkan data, dan mengedit termasuk yang termaktub di daftar. Intinya, dari memulai hingga mengujungi serba tak mudah. Seperti kata seseorang yang pernah melakoni, seperti berselingkuh kali pertama saja: susah memulai dan sulit pula mengujungi. Bah!
Langgar Larangan!
Mengapa menulis itu sulit bagi sebagian besar kita orang Indonesia? Itu pertanyaanku yang berikutnya, tadi. Sebelum mereka lebih mengernyitkan kening demi mendapatkan jawaban, penyebabnya kujelaskan.
Sebaik menjadi siswa sekolah dasar, perlahan tapi pasti kreativitas terus menjauh dari kita. Sebabnya? Tidak diberi ruang untuk merdeka berpikir dan berkreasi bebas. Jadi, tak seperti waktu menjadi siswa di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak (TK). Kita menjadi manusia berdaulat hanya di masa kanak-kanak.
Tidak diajar bernalar, berdebat, berargumentasi, dan berpendapat lain, kita cenderung didikte saja sejak bersekolah di SD. Alhasil, pikiran kita jauh dari luwes karena mesti seturut pakem. Ide-ide kita pun tidak liar lagi. Imajinasi menjadi mati. Kita menjadi sekrup dari sebuah mesin besar bernama sekolah atau kampus.
Selain dikekang, pikiran kita juga diganduli dengan macam-macam larangan. Saat menulis, umpamanya, diingatkan agar jangan: boros kata, menggunakan kata-kata yang tak baku, dan melenceng dari Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Masih ada larangan lain: sumber informasi tak boleh kabur, haram jika tidak ilmiah,… Wuih, beratnya!
Puspa pantangan ini membuat menulis tak hanya sulit lagi tapi sungguh berat. Maka, saban waktunya tiba untuk melakukannya otak kita pun seketika serasa mampat.
“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi kesulitan dalam menulis?” Seorang peserta menyahuti.
“Langgar atau bahkan lupakan larangan! Satu lagi: gunakan otak kanan kita yang sungguh kreatif itu.” Begitu jawabku.
Kujelaskan bahwa sistem pendidikan Indonesia yang masih saja kacau itu telah memarkirkan otak kanan kita dan memacu betul otak kiri. Tentu saja kujelaskan kemudian bahwa otak kiri lebih beorientasi ke sains sedangkan yang kiri ke seni.
“Bebaskan pikiran. Menulis itu, sama seperti melukis, memotret, membuat video, atau bermusik adalah urusan kreatif. Adapun kreativitas, ia selalu menuntut kebebasan berkreasi,” aku menambahkan.
Supaya mereka mengerti betul apa yang kumaksudkan, kupandu mereka mempraktikkannya langsung. Teknik menulis bebas kukenalkan. Caranya sederhana saja. Waktunya tujuh menit. Topiknya boleh apa saja. Kalau sudah dipilih, langsung tuliskan apa yang sedang terbersit di benak. Jangan pernah berhenti untuk mengedit atau mencari data atau yang lain. Pokoknya, menulis saja. Kalau macet, kerisauan hati yang diakibatkannya ditulis. Begitu dapat ide lagi, teruskanlah.
Pantang mengedit atau ‘googling’ saat menulis! Itu kutegaskan lagi. Mereka pun mencobanya. Topik dipilih sendiri.
Setelah sepuluh menit lampau, kesepuluh mereka bergantian membacakan karyanya. Hasilnya? Seperti yang di kelas-kelas lain sebelumnya, mencengangkan diri mereka sendiri!
Mesti berlatih dan berlatih lagi mereka. Kali kedua, topiknya dipilih bersama. Asmara yang mereka sepakati. Jalannya cerita bebas.
Setelah tujuh menit lampau, sepuluh karya dibacakan lagi bergantian. Topik serupa namun jalinan kisah puspa. Ada yang curhat pengalaman sendiri, ada yang berefleksi, dan ada pula yang berfilsafat. Kembali mereka takjub setelah menyadari kemampuan diri sendiri.
Sumur Ingatan
Satu hal yang selalu dikeluhkan peserta di kelas yang kuampu tiga dekade adalah tak tahu akan menulis soal apa. Kutegaskan bahwa sesungguhnya kalau boleh memilih, niscaya tak akan kurang hal yang bisa mereka tuliskan. Yang paling gampang adalah menimba bahan yang bertimbun di sumur ingatan sendiri. Seperti kata penulis terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, kalau saja mau, kita tak akan kesusahan memunculkan kembali ke permukaan isi sumur ingatan yang maha kaya itu, termasuk dari masa yang paling lampau.
Agar konkrit, kuminta mereka membuat daftar satu hal yakni pengalaman tak terlupakan. Satu per satu kemudian membacakan poin-poin itu.
Kuminta mereka memilih satu saja dari sepuluh pengalaman tersebut. Sesudahnya, kuinstruksikan agar mereka berdua-berdua. Aturan mainnya, si A dulu pencerita dan si B penanggap. Setelah tujuh menit berselang, posisi dibalik. Kuingatkan bahwa kian banyak ingatan yang keluar akan lebih baik. Jadi, harus saling menjadi perangsang ingatan bagi pasangan.
Langkah berikutnya adalah mengisahkan pengalaman sendiri dalam wujud tulisan. Waktunya 30 menit.
Hasil yang dibacakan kemudian? Penggal yang sangat menjanjikan sebagai bagian dari otobiografi. Kendati masih draf kasar, itu sudah lebih dari cukup. Tentu saja mereka bersepuluh bertambah menghargai kemampuan diri sendiri.
Teknik pemerian yang kemudian kukenalkan sedari usai rehat siang. Prinsipnya, tentukan dulu topik. Kalau sudah, keluarkan sebayak mungkin ide tentang; jangan batasi. Namanya juga bereksperimen dengan otak kanan. Yang tak berhubungan langsung pun maktubkan. Kalau sudah, mainkan teknik menulis bebas.
Kembali berpraktik mereka. Hasilnya jelas-jelas menggugurkan apa yang dikeluhkan sebagian dari mereka di awal: tak bisa menulis.
Tanpa terasa, waktu di Pematangsiantar sudah pukul 16.00. Kutanya apakah mereka masih menganggap menulis itu sulit dan sungguh menyiksa diri. Serempak mereka mengatakan tidak.
Kelas pun kuakhiri setelah mereview secara singkat materi sehari ini dan berucap: besok kita akan mendalami rupa-rupa teknik menulis.
Wajah-wajah mereka sumringah. Terlebih lagi saat kami berdendang ria selepas kelas diringan petikan gitar dan hembusan harmonika. Sebuah relaksasi yang merupakan kelanjutan dari yang kami lakukan selepas makan siang tadi.
Editor: Rin Hindryati