PARBOABOA, Pematang Siantar – Mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.11 Tahun 2006, tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) disebutkan bahwa dampak potensial dari pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) adalah pencemaran gas/udara, risiko kesehatan masyarakat, dan pencemaran lindi.
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi lingkungan di sekitar TPA adalah proses pengolahannya. Apabila sampah di TPA tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah, baik untuk lingkungan maupun kesehatan.
Hal ini pun terjadi di TPA Pematang Siantar. Kondisi sampah yang menumpuk atau overload memberikan dampak yang sangat terasa terhadap masyarakat di sekitarnya, seperti bau tidak sedap, kegagalan panen, hingga kematian ternak.
Tidak Sesuai Amanat Undang-Undang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pemerintah Kabupaten/ Kota berkewajiban untuk mengelola sampah secara baik, berwawasan lingkungan, dan memperbaiki pengelolaan dari sistem open dumping menjadi sistem sanitary landfill.
Merujuk dari undang-undang tersebut, proses pengolahan sampah di TPA Pematang Siantar masih salah, karena masih menggunakan metode open dumping.
Pemrosesan menggunakan metode yang sudah dilarang ini, dilatarbelakangi akibat lahan yang tidak memadai untuk menggunakan sistem yang dianjurkan pemerintah, yakni sanitary landfill.
Selain proses pengelolan sampah yang masih memberikan dampak negatif terhadap sekitar, luas lahan TPA saat ini juga mengalami kendala.
Sudah Dihibahkan, Namun TPA Masih Nyewa
Berdasarkan informasi yang didapatkan Tim Parboaboa di lapangan, pemilihan lokasi TPA ini awalnya direncanakan berada di lahan yang dihibahkan dari PTPN III Pematang Siantar.
Namun, diketahui bahwa sebagian lahan yang digunakan untuk TPA merupakan milik pribadi dan disewa per tahun oleh Pemko. Untuk tahun 2022, kontrak sewa lahan akan berakhir pada Desember mendatang.
Luas lahan untuk TPA saat ini pun hanya sekitar 2 hektar. Keterbatasan lahan ini akhirnya menyebabkan sampah di TPA Pematang Siantar menumpuk sehingga menimbulkan bau tidak sedap berkepanjangan, membuat AMDAL TPA Kota Pematang Siantar diragukan.
Terlebih, tidak adanya saluran lindi di lokasi TPA. Padahal, pengolahan lindi merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pengelolaan sampah pada Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Saat ditanyai mengenai AMDAL, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Sofian Purba membenarkan hal itu. Ia menyebutkan bahwa saluran lindi dan pembuangan gas ada, namun kondisinya tertimbun oleh sampah yang sudah menumpuk.
“Saluran lindi sebenarnya ada di bagian belakang TPA, cuma karena beban sampah yang sudah berat, saluran tersebut jadi tertutup. Bahkan pembuangan gas yang kita hidupkan apinya juga ada. Tapi, sarana yang sudah ada dulu mau tidak mau jadi tertimbun, akibat dari beban sampah tersebut.”
Sofian pun menjelaskan, bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak karena lokasi TPA lama masih berstatus menyewa, bukan aset daripada Pemko. Hal ini dinilai menghambat akses pihak ketiga untuk melakukan tindak lanjut terhadap pengelolaan sampah dan dampak lingkungan.
“Kenapa kita gak bisa berbuat banyak? karena lokasi lahan kita masih TPA lama. Kita juga mau mengakses dengan pihak ketiga untuk pengelolaan, juga tidak bisa. Karena di saat mereka punya alat, kita tidak bisa dudukkan alatnya di tempat yang kita sewa, karena itu melanggar perjanjian, toh,” ucapnya.
Lahan Baru Dengan Kondisi Baik, Namun Tak Kunjung Terealisasi
Setelah kontraknya habis, TPA Pematang Siantar rencananya akan kembali diperpanjang hingga TPA baru yang berlokasi di kelurahan Gurilla, Kecamatan Sitalasari selesai dibangun. Nantinya lokasi TPA baru itu berada di lahan seluas kurang lebih 8 hektar, yang merupakan hibah dari PTPN III dan tanah masyarakat.
Khusus tanah masyarakat, Pemko Pematang Siantar nantinya akan memberikan ganti rugi sebagai bentuk kompensasi dari pembebasan lahan tersebut.
“Tim penghitung independen sedang menghitung kelayakan harga. Kita dalam proses lah ini sekarang. Mudah-mudahan tidak ada kendalanya. Kita kan pingin jangan salah bayar. Semua TPA baru itu lahan kebun PTPN 3, tapi ada masyarakat yang menanam di situ. Jadi untuk ganti rugi tanaman masyarakat.”
Selain itu, TPA baru tersebut nantinya akan menggunakan metode sanitary landfill sesuai dengan amanat undang-undang. Artinya, TPA baru akan dibangun dengan kondisi yang lebih baik ketimbang TPA saat ini (Tanjung Pinggir).
Sofian juga memaparkan jika progres pemindahan TPA sedang dalam tahap penyusunan dokumen, termasuk kajiannya lingkungan dan kajian sosialnya. Agar pembangunan TPA nantinya akan memberikan dampak positif dan juga lebih meminimalisir dampak negatif yang muncul.
“Sesuai dengan rencana tata ruang 2017 kan itu diperuntukkan di sekitar lokasi di sana dan kebetulan itu masih eks HGU. Sekarang ini masih dalam tahap proses penyusunan-penyusunan, karena di dalam membuat sesuatu khususnya seperti TPA itu kan gak segampang itu, ada kajiannya lingkungannya, kajian sosialnya. Kita juga gak ingin dampaknya lebih banyak negatifnya ketimbang yang positif.”
Ketika ditanyakan kapan pemindahan TPA akan direalisasikan, Sofian menyampaikan bahwa proses pemindahan tersebut tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat.
“Cuman yang pasti, dari pihak kebun sudah lampu hijau. Cuma gak segampang itu. Makanya kita susun dokumen agar kemudahannya, jangan sampai ditangani pusat. Soalnya, kalau pusat sampai turun tangan, 5 tahun ini belum tentu selesai. Karena ada banyak tim yang dilibatkan. Jadi, target yang baru diselesaikan di tahun ini masih hanya persiapan lahan TPA saja. Tahun depan baru bisa diajukan proposal pendanaan ke pusat.”
“Semua masih asetnya PTPN, tapi sudah sepakat jika mereka akan berikan kemudahan untuk pemindahan TPA. Tapi harus lengkaplah dokumen-dokumennya. Kita harus punya dokumen AMDAL, kemudian penetapan objek,” jelasnya.
Tim Parboaboa pun mencoba menanyakan kepastian hal ini kepada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), akan tetapi Kabid Penataan Ruang dan Bangunan Henry Jhon Musa Silalahi sedang tidak berada di tempat.
Selain itu, tim Parboaboa juga mendatangi Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) untuk meminta kejelasan mengenai lahan tersebut. Namun, Kabid Aset sedang berada lapangan dan Kepala Dinas tidak dapat ditemui sebab sedang ada rapat.