Babak Baru Sengketa Lahan 16 Hektare di Makassar antara Kalla Group dan GMTD

Sengketa kepemilikan lahan seluas 16 hektare milik mantan Wapres Jusuf kini kian memanas (Foto: dok. BKSDN Kemendagri).

PARBOABOA, Jakarta - Polemik kepemilikan lahan seluas sekitar 16 hektare di Tanjung Bunga, Makassar kembali mencuat setelah kehadiran seorang perwira tinggi TNI dalam kegiatan yang disebut sebagai eksekusi lahan pada Senin (3/11/2025). 

Lokasi ini menjadi titik sengketa antara PT Hadji Kalla, perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), anak usaha dari Lippo Group.

Dalam foto yang beredar di media sosial, Mayjen Achmad Adipati Karna Widjaja tampak mengenakan pakaian sipil dan berdiri bersama sejumlah orang di area yang diklaim kedua pihak. 

Turut hadir pula beberapa aparat kepolisian dan anggota koramil setempat. Kehadiran Mayjen Achmad menimbulkan tanda tanya besar di pihak Kalla.

Kuasa hukum PT Hadji Kalla, Hasman Usman, pada konferensi pers di Makassar, Rabu (12/11/2025), menilai kehadiran perwira aktif TNI di lokasi yang disebut-sebut sebagai area eksekusi merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan kewenangan militer. 

Ia menyebut pelaksanaan eksekusi tersebut tidak sah karena tidak diawali dengan konstatering, yakni pengecekan batas-batas lahan dan kondisi fisik di lapangan. Pihaknya juga berencana melaporkan dugaan pelanggaran ini ke pimpinan TNI Angkatan Darat.

Hasman menegaskan bahwa lahan tersebut sah dimiliki oleh PT Hadji Kalla, berdasarkan empat sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang telah terbit sejak 1996 dan diperpanjang hingga tahun 2036. 

Menurutnya, Kalla membeli tanah itu dari ahli waris keturunan Raja Gowa setelah statusnya berubah dari tanah adat menjadi lahan bersertifikat resmi. 

Ia menambahkan bahwa lahan tersebut pernah menjadi objek sengketa pada tahun 2000 antara dua pihak bernama Mulyono dan Ruhyana, namun PT Hadji Kalla yang mengajukan gugatan intervensi berhasil memenangkan perkara tersebut hingga tahap Peninjauan Kembali (PK) pada 2005. 

Putusan itu, kata Hasman, mengikat secara hukum bahwa lahan tersebut adalah milik sah PT Hadji Kalla.

Sejalan dengan itu, Subhan Djaya Mappaturung, Chief Legal & Sustainability Officer Kalla Group, menjelaskan perusahaan telah menguasai lahan tersebut sejak 1993 setelah membeli tanah dari ahli waris Raja Gowa, Pallawa Ruka, putra Raja Gowa Karaeng Idjo. 

Ia juga menuturkan bahwa sebelum dikembangkan, kawasan tersebut merupakan hasil pengerukan Sungai Jeneberang yang dilakukan anak perusahaan Kalla di bidang kontraktor, PT Bumi Karsa, pada akhir 1980-an hingga 1994. 

Lumpur hasil pengerukan ditempatkan di wilayah Tanjung Bunga, yang saat itu masih termasuk dalam Kabupaten Gowa.

General Manager PT Bumi Karsa, Indra Laksamana, mengungkapkan bahwa pengerukan dilakukan dalam empat tahap dengan sistem pipa penyalur lumpur ke lokasi yang kini disengketakan. 

Ia menegaskan bahwa lahan tersebut dibeli langsung dari warga setempat sebelum proyek bendung karet Sungai Jeneberang dimulai.

Menurut kuasa hukum lain dari pihak Kalla, Aziz Tika, penguasaan fisik lahan oleh perusahaan sudah berlangsung lebih dari tiga dekade tanpa gangguan. 

Ia menilai tindakan GMTD yang melakukan “eksekusi” tanpa disertai kehadiran pejabat berwenang seperti camat atau lurah merupakan tindakan sepihak dan tidak sah secara hukum. 

Kini, lahan tersebut telah dipagari dan dijaga ketat oleh puluhan orang, bahkan alat berat terlihat beroperasi untuk melakukan pemadatan di sebagian area yang masih berupa rawa.

Namun di sisi lain, PT GMTD dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa eksekusi pengosongan dan penyerahan lahan itu dilakukan secara sah berdasarkan Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi Nomor 21 EKS/2012/PN.Mks jo No.228/Pdt.G/2000/PN.Mks, yang telah berkekuatan hukum tetap. 

Eksekusi ini dipimpin Panitera dan Juru Sita Pengadilan Negeri Makassar dengan pengamanan dari Polrestabes Makassar dan Kodim 1408/Makassar.

Presiden Direktur GMTD, Ali Said, menuturkan langkah tersebut merupakan tahap akhir dari proses hukum yang telah berlangsung sejak tahun 2000. 

Ia menegaskan bahwa seluruh proses peradilan telah dilalui secara sah dan transparan, serta menandai berakhirnya sengketa panjang antara pihaknya dan Kalla Group.

Penjelasan Kadispenad

Menanggapi persoalan ini, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Kolonel Inf Donny Pramono, memastikan bahwa Mayjen Achmad Adipati Karna Widjaja masih aktif bertugas dan menjabat sebagai Staf Khusus KSAD. 

Ia juga menyampaikan internal TNI akan melakukan penyelidikan untuk mengetahui secara pasti duduk perkara keterlibatan perwira tersebut di lokasi sengketa.

Selain mempertanyakan legalitas eksekusi, pihak Kalla juga menyoroti peran para pemegang saham di tubuh GMTD. Hasman mengungkapkan adanya ketimpangan antara kepemilikan saham pemerintah daerah dan keuntungan yang diterima. 

Dari informasi yang dikumpulkan, Pemprov Sulawesi Selatan memiliki 13 persen saham, sementara Pemkot Makassar dan Pemkab Gowa masing-masing 6,5 persen. 

Namun, dividen yang diterima Pemkot Makassar dilaporkan hanya sekitar Rp50 juta per tahun, padahal penjualan properti GMTD terus meningkat. Ia pun mendesak aparat penegak hukum untuk menyelidiki dugaan kejanggalan tersebut.

Sengketa lahan di Tanjung Bunga pun kini kembali menjadi sorotan publik. Dua perusahaan besar yang sama-sama memiliki dasar hukum atas klaimnya terus bersitegang, sementara kehadiran aparat militer di lapangan semakin memperkeruh situasi. 

Di tengah tarik-menarik kepemilikan ini, publik menanti langkah tegas dari lembaga penegak hukum untuk memastikan siapa pemilik sah dari lahan strategis di jantung Makassar tersebut.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS