PARBOABOA, Parapat -- Logline (ikhtisar) dan sinopsis film, itu yang harus kami buat. Waktunya pendek saja: sekitar 40 menit. Sebagai murid yang baik, kami menjalankan instruksinya sepenuh hati. Bahwa ilmunya baru saja kami dapatkan dari dia, itu tak jadi masalah.
Barusan, satu per satu kami dimintanya maju ke depan. Diriku tak terkecuali. Tujuannya adalah membacakan karya itu. Tentu saja ada dari kami yang gugup sebab berada 1,5 meter saja di sisinya sementara ia senantiasa menyimak sembari memainkan sorot matanya yang tajam.
Setiap peserta usai membacakan karya, ia akan berkomentar kritis. Tapi, di penggal akhir tak lupa pula ia menyemangati.
“Namanya juga masih belajar. Kalau semakin sering berlatih tentu logline dan sinopsismu akan lebih baik,” ucapnya begitu mendengar seorang peserta mencoba berapologi untuk karya yang sebenarnya bagus.
Ismail Basbeth nama guru film kami itu. Sebagai orang yang berlatar aktor, bahasa tubuhnya selalu bermain. Teatrikal sang sutradara Kelurga Cemara 2. Demikian juga olah vokalnya. Beraksen Jawa yang masih kental, lelaki berdarah Yaman-Jawa yang lahir dan besar di Wonosobo sungguh pembicara yang bersemangat. Ia sanggup ngomong terus-menerus sampai dua jam dengan jedah saat meneguk kopi atau mendengar pertanyaan atau komentar singkat hadirin belaka.
Ia menjadi pemateri tunggal. Hari ini pokok bahasannya adalah Scripwriting 1: Logline & Synopsis dan Sriptwriting 2: Treatment & Step Outline. Nanti malam ia akan menyuguhkan empat film pendeknya untuk kami tonton dan percakapkan.
Di hari pertama kemarin materi ajar dia adalah Film Introduction dan Cinematography. Malamnya ia mengajak kami menikmati karya terbarunya, SARA. Dibintangi aktris tersohor Christine Hakim dan Jajang Pamuntjak yang berkolaborasi dengan seorang transpuan dan seorang biduan perempuan, film layar lebar ini belum diputar di bioskop.
Besok, kami praktik syuting seharian seusai kelas. Hasilnya akan menjadi telaahan bersama.
Pengalaman Sendiri
Ismail Basbeth sutradara yang beberapa kali menyabet penghargaan internasional juga berpengalaman sebagai produser dan aktor. Dengan demikian pengetahuan seniman Yogyakarta yang semula merupakan musisi tentulah komplit. Wajar saja kalau sebagai guru dia lebih banyak mengandalkan pengalaman sendiri daripada teori-teori yang dicomot dari sana-sini.
Serba gamblang jika ia yang menerangkan. Peserta yang sebagian besar awam soal pengetahuan tentang pembuatan film—mereka berasal dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aman Tano Batak, HKBP, GKPS, dan Sekolah Jurnalisme Parboaboa Pematang Siantar—tidak kesulitan mencernanya.
Bagi diriku sendiri, lokakarya di Parapat, tepi Danau Toba, yang merupakan buah manis kerjasama KSPPM—Aman Tano Batak—Parboaboa.com—sungguhlah penting dan berfaedah. Sebab itulah sejak sesi awal di hari pertama aku merupakan salah satu peserta yang paling bersemangat.
Sejak lama memang aku ingin menulis skenario film dan kalau mungkin menyutradarai juga. Setelah mendengarkan paparan Sutradara Ismail Basbeth dua hari ini diriku kian yakin akan bisa mewujudkannya. Wajar saja kalau diriku girang, bukan?