Kemenhut–Bareskrim Ungkap Forensik Kayu Gelondongan Banjir Sumut

Kemenhut bersama Bareskrim Polri memaparkan hasil identifikasi forensik awal terhadap kayu gelondongan yang terbawa banjir bandang di Garoga, Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. (Foto: Dok. Kemenhut)

PARBOABOA, Jakarta - Kementerian Kehutanan bersama Bareskrim Polri memaparkan hasil penelusuran forensik serta kebijakan terkait kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Sumatera Utara.

Di tengah upaya pemulihan wilayah terdampak, pemerintah menegaskan bahwa seluruh pemanfaatan kayu hanyut harus berada dalam koridor hukum yang jelas, tanpa mengabaikan aspek kemanusiaan.

Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kemenhut, Laksmi Wijayanti, menjelaskan bahwa timbunan kayu yang menumpuk di lokasi bencana sebenarnya dapat menjadi sumber material penting untuk kebutuhan darurat.

Menurutnya, pemanfaatan ini memungkinkan rekonstruksi fasilitas dan sarana prasarana masyarakat berjalan lebih cepat, asalkan tetap mengutamakan aspek legalitas dan pencegahan penyalahgunaan.

Bahwa pemanfaatan kayu hanyutan untuk penanganan darurat bencana, rehabilitasi dan pemulihan pascabencana, serta bantuan material untuk masyarakat terkena dampak bagi pembangunan fasilitas dan sarana prasarana, dapat dilaksanakan atas dasar asas keselamatan rakyat dan kemanusiaan,” ujar Laksmi, dikutip dari Antara, Jumat (12/12/2025).

Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa setiap batang kayu yang terbawa arus banjir memiliki status hukum yang harus ditelusuri.

Pemerintah mengategorikan kayu hanyutan itu sebagai kayu temuan, sehingga mekanisme pemanfaatannya wajib berpedoman pada Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Dengan kata lain, walaupun kayu tersebut muncul akibat bencana alam, proses pelaporannya tetap harus dilakukan secara ketat untuk menjaga prinsip keterlacakan (traceability).

Kemenhut menekankan bahwa pelaporan dan pencatatan ini bukan sekadar prosedur administratif. Langkah tersebut penting untuk menutup ruang bagi praktik pembalakan liar maupun pencucian kayu yang memanfaatkan situasi bencana sebagai kedok.

Laksmi juga memastikan bahwa seluruh proses distribusi kayu hanyut kepada masyarakat tidak boleh dilakukan secara sepihak. Ia menyebutkan bahwa tata kelola harus dilaksanakan secara terpadu, melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta aparat penegak hukum.

“Penyaluran pemanfaatan kayu hanyutan untuk penanganan dan pemulihan pasca bencana diselenggarakan bersama secara terpadu antara Kementerian Kehutanan dengan instansi terkait pada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan berbagai unsur aparat penegak hukum,” jelasnya.

Pendekatan lintas-lembaga tersebut dianggap penting untuk memastikan bahwa bantuan material benar-benar sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan, tanpa tumpang tindih kewenangan antarinstansi.

Selain itu, pemerintah mengambil langkah tegas berupa penghentian sementara seluruh kegiatan pemanfaatan dan pengangkutan kayu bulat yang berasal dari lokasi kegiatan pemanfaatan hutan di tiga provinsi terdampak. “…dihentikan sementara, sampai dengan ketentuan lebih lanjut,” ujar Laksmi.

Kebijakan ini bertujuan memperjelas sumber kayu yang beredar di lapangan sekaligus menghindari upaya penyamaran illegal logging sebagai kayu hanyut.

Dengan demikian, fokus penanganan bencana tidak terganggu oleh praktik ilegal yang dapat memperburuk kondisi lingkungan.

Di tengah terbatasnya akses logistik ke sejumlah wilayah terdampak, material kayu tersebut menjadi aset strategis yang mampu mempercepat rekonstruksi. Namun pemerintah menegaskan: pemanfaatan cepat tidak boleh mengorbankan akuntabilitas.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS