PARBOABOA, Jakarta - Debat cawapres tiga hari yang lalu, Minggu, (21/1/2024) tampaknya tak memberi pemahaman yang utuh kepada publik soal masalah agraria yang rentan terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Hal tersebut disoroti oleh organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang akselerasi transformasi energi & pembangunan yang adil dan berkelanjutan di kawasan Asia, yaitu Trend Asia.
Trend Asia menegaskan, pada prinsipnya, Undang-Undang Pokok Agraria atau (UU PA) Nomor 5 tahun 1960 yang membahas reforma agraria, tidak hanya berfokus pada aspek legalisasi tanah.
Selain itu, reforma agraria yang dimandatkan oleh UU ini juga mencakup tata kelola agraria secara menyeluruh. Termasuk memastikan, pemberian lahan dalam porsi besar kepada korporasi sehingga mencipta ruang ketidakadilan, harus segera diakhiri.
Namun sayangnya, hal tersebut tidak dielaborasi dalam debat cawapres.
"Para cawapres dalam debat kemarin mempersempit masalah reforma agraria terbatas pada legalisasi tanah. Padahal saat ini, masyarakat banyak mengalami perampasan lahan akibat proyek strategis nasional yang memicu konflik," kata Trend Asia dalam realese yang diterima PARBOABOA, Rabu (24/1/2024).
Trend Asia mengangkat contoh konflik Wadas di Purworejo, Jawa Tengah, yang memunculkan ketegangan karena aparat negara, mengintimidasi warga yang menolak melepas kepemilikan tanah untuk pertambangan andesit.
Meski beberapa cawapres sempat menyebut Wadas, tetapi mereka tidak secara substantif membahas isunya. Termasuk mereka tidak menyoroti perlawanan Wadon Wadas, yang menjadi ujung tombak dalam mempertahankan alam sebagai bagian dari sejarah desa di sana.
Di sisi lain, Trend Asia menyinggung kegagalan rezim Jokowi melaksanakan reforma agraria di Indonesia. Terbukti, dari target 9 juta hektar untuk legalisasi dan distribusi tanah, hanya 1,6 juta hektar yang berhasil terpenuhi.
Yang lebih memprihatinkan, para cawapres seolah-olah menutup mata terhadap fakta pengambialihan tanah eks HGU oleh bank tanah yang selanjutnya diserahkan pengelolaanya kepada korporasi.
"Para cawapres tidak ada yang mengkritik redistribusi tanah eks HGU yang seharusnya didistribusi kepada masyarakat, tapi justru dimasukan kembali dalam bank tanah dan menjadi izin bagi korporasi."
Sorotan lain adalah porsi yang kecil untuk lahan perhutanan sosial. Data yang dimiliki Trend Asia, lahan perhutanan sosial hanya seluas 6,4 juta hektar, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan izin lahan perkebunan sawit yang meningkat dari 10,75 juta hektar pada 2014 menjadi 16,38 juta hektar pada 2022.
Solusi palsu transisi energi
Soal transisi energi, meskipun para kandidat menyinggung tentang transisi energi berkeadilan, sayangnya, menurut Trend Asia, pembicaraan tersebut belum secara substansial membahas demokratisasi energi.
Hal inilah yang membuat transisi energi, kata Trend Asia, rentan terhadap solusi palsu. "Itu tergambar dari paparan masalah transisi energi yang masih berorientasi pada penyediaan energi sentralistik."
Meskipun ada cawapres yang mengangkat Desa Mandiri Energi, namun tidak juga memberikan penekanan yang cukup pada pentingnya efisiensi energi, terutama di daerah perkotaan yang merupakan konsumen besar energi.
Debat tersebut juga gagal menyoroti masalah over supply listrik di beberapa wilayah Indonesia, seperti Jawa, Madura, Bali, dan Sumatera. Padahal, beban listrik yang semakin ditumpahkan kepada warga menjadi permasalahan yang belum mendapat perhatian serius hingga saat ini.
Adapaun terkait Kebanggaan cawapres terhadap program PLTS Cirata di Jawa Barat, yang berkolaborasi dengan PT Masdar, memperlihatkan bahwa pemahaman mereka tentang energi terbarukan masih terbatas pada penggunaan sumber energi yang bersih.
"Pemahaman cawapres tentang energi terbarukan masih sesempit penggunaan sumber energi yang bersih, tapi mengabaikan masalah ketidakadilan kepada manusia dan lingkungan yang terjadi."
Trend Asia menekankan, meskipun pemanfaatan PLTS skala besar dapat dianggap sebagai langkah maju, namun dapat memicu masalah baru, terutama terkait dengan penyediaan lahan besar-besaran yang berpotensi memicu konflik.
Proses transisi energi seharusnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat, namun dalam debat, tidak satu pun cawapres yang berbicara kesulitan para pegiat energi terbarukan berbasis komunitas dalam upaya mencapai kedaulatan energi masyarakat.
Contoh nyata pengabaian pemerintah terhadap komunitas terlihat di Batu Songgan, Riau, yang telah memiliki sumber energi mandiri melalui PLTA mikrohidro.
Namun, keberadaannya kini terancam karena PLN memasang tiang-tiang listrik di wilayah tersebut, menunjukkan kurangnya dukungan terhadap upaya komunitas untuk mengelola sumber energi mereka sendiri.
Editor: Rian