PARBOABOA, Jakarta - Tubuh kecil KB (8), terbaring tak bernyawa di salah satu sekolah di Kelurahan Pangkalan Kasai, Kecamatan Seberida, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Bocah kelas dua Sekolah Dasar itu meregang nyawa bukan karena penyakit atau kecelakaan, melainkan akibat perundungan brutal yang dilakukan kakak-kakak kelasnya sendiri.
Diduga kuat, alasan di balik kekerasan itu disebabkan adanya perbedaan keyakinan yang dianut KB dengan para pelaku. Kejadian tersebut membawa luka yang mendalam di hati orang tua dan keluarga korban.
SETARA Institute juga menyuarakan keprihatinan mendalam dan menyerukan serangkaian langkah konkret yang harus diambil negara dan seluruh pihak terkait untuk mencegah tragedi serupa terulang kembali.
Dalam sebuah keterangan tertulis yang diterima pada Jumat (30/5/2025), mereka menyampaikan empat sikap yang menyoroti berbagai aspek penting dari tragedi tersebut.
Pertama, SETARA dengan tegas mengutuk kekerasan yang merenggut nyawa KB. Insiden ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 28B ayat (2) UU ini menyatakan bahwa "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."
Selain itu, lanjut SETARA, "peristiwa ini juga menyentuh pelanggaran atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945."
Kedua, SETARA menilai bahwa tragedi ini memperlihatkan tumbuhnya benih-benih intoleransi yang menyebar hingga ke jenjang usia yang sangat muda.
Tragedi tersebut memperkuat temuan mereka pada Februari 2023, yang menunjukkan terdapat 24,2% pelajar SMA yang bersikap intoleran pasif, 5% intoleran aktif, dan 0,6% bahkan telah terpapar ekstremisme.
Ketiga, dalam konteks peristiwa di Riau, negara diminta untuk tidak tinggal diam. Negara berkewajiban hadir dan memberikan perlindungan nyata, khususnya bagi anak-anak serta kelompok minoritas agama atau keyakinan.
"Proses hukum terhadap para pelaku harus dijalankan dengan adil dan transparan sesuai ketentuan yang berlaku," tulis lembaga yang giat melakukan advokasi HAM dan pluralisme itu.
Keempat, SETARA juga mendorong beberapa pihak untuk mengambil langkah konkret.
"Kepolisian diharapkan segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap kasus ini, termasuk menggali kemungkinan adanya kelalaian atau pembiaran dari orang dewasa yang terlibat secara tidak langsung."
SETARA menegaskan perlunya proses hukum yang profesional sehingga mampu memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya.
Selain itu, kepolisian bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diminta untuk memastikan perlindungan yang memadai bagi orang tua korban agar tidak mengalami tekanan atau intimidasi lanjutan.
Pemerintah Daerah juga memiliki tanggung jawab besar untuk mengevaluasi situasi di lingkungan sekolah, terutama dalam hal kerentanannya terhadap diskriminasi dan kekerasan berbasis intoleransi.
Sumber daya dan program-program yang relevan perlu dimobilisasi guna menciptakan suasana pendidikan yang damai, inklusif, aman, dan bebas diskriminasi.
Lebih lanjut, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah disarankan untuk melakukan peninjauan serius terhadap efektivitas Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang dibentuk sesuai Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023.
"Tim ini seharusnya menjadi garda depan dalam mencegah segala bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk kasus memilukan yang dialami KB."
SETARA juga menekankan peran penting Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam menyediakan layanan rehabilitasi dan pendampingan psikologis kepada keluarga korban.
Selain itu, hak-hak anak yang menjadi pelaku juga harus dipertimbangkan dan dilindungi selama proses hukum berlangsung.
Terakhir, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri diharapkan turut berperan aktif dalam menyusun langkah-langkah pencegahan diskriminasi berbasis agama di tingkat lokal.
Keterlibatan seluruh perangkat pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan sikap toleran, memperkuat interaksi lintas identitas, dan membangun masyarakat yang inklusif sejak usia dini di tengah keragaman bangsa.
Tren Kasus KBB
Kasus kekerasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia menunjukkan pola yang fluktuatif dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2023, misalnya SETARA mengungkapkan sebanyak 217 peristiwa yang melibatkan 329 tindakan pelanggaran KBB.
Dibandingkan tahun sebelumnya, angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah peristiwa, meskipun jumlah tindakannya sedikit menurun dari 333 tindakan pada 2022.
Direktur Eksekutif SETARA, Halili Hasan, menegaskan bahwa dominasi pelanggaran oleh masyarakat sipil memperlihatkan meningkatnya kemampuan warga untuk melakukan tindakan koersif.
Fakta ini sekaligus menjadi cerminan bahwa simpul-simpul sosial yang seharusnya menopang toleransi masih rapuh dan belum mampu menjadi benteng bagi keberagaman.
Di balik angka-angka tersebut, wajah negara juga tampak tak sepenuhnya netral.
Dari 114 tindakan pelanggaran yang dilakukan aktor negara, pemerintah daerah menjadi pelaku terbanyak dengan 40 tindakan, disusul kepolisian (24), Satpol PP (10), TNI (8), Forkopimda (6), hingga institusi pendidikan (4).
Di sisi lain, warga tercatat sebagai pelaku utama dari kalangan non-negara (78 tindakan), disusul individu (19), Majelis Ulama Indonesia (17), organisasi keagamaan (8), dan WNA (5 tindakan).
Persoalan paling mencolok dalam dinamika KBB tahun 2023 adalah meningkatnya gangguan terhadap tempat ibadah. Sebanyak 65 kasus tercatat, mayoritas menyasar gereja (40), lalu masjid (17), pura (5), dan vihara (3).
Penolakan terhadap pendirian rumah ibadah sebagian besar dipicu oleh tafsir sempit dan manipulasi terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Meski persyaratan administratif seperti dukungan dari 90 calon pengguna dan 60 warga sekitar telah dipenuhi, sejumlah tempat ibadah tetap tak bisa berdiri karena penolakan masyarakat.
Ironisnya, regulasi yang justru menjadi akar masalah ini belum disentuh dalam draf Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.
Menurut Halili, tanpa keberanian politik dari para pemimpin negara, sosial, dan birokrasi, situasi ini akan terus berulang, khususnya bagi kelompok minoritas seperti umat Kristiani.