PARBOABOA, Jakarta – Suasana ruang rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025), terasa lebih hangat dari biasanya ketika Komisi XII DPR RI menggelar rapat kerja bersama Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq.
Di tengah dinamika pembahasan, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Putri Zulkifli Hasan (Putri Zulhas), membuka pernyataan dengan nada keprihatinan mendalam terkait rangkaian bencana besar yang melanda Aceh dan Sumatra.
Putri Zulhas menyampaikan duka cita atas banjir bandang dan tanah longsor yang menewaskan ratusan warga di tiga provinsi tersebut.
Ia mengingatkan bahwa para anggota Komisi XII baru saja kembali dari kunjungan kerja ke Sumatera Utara minggu sebelumnya.
“Komisi XII DPR RI pada saat kunjungan kerja ke Sumatera Utara minggu lalu juga telah menyampaikan bantuan. Semoga dapat bermanfaat dan sedikit meringankan beban saudara-saudara kita yang terdampak bencana tersebut,” ujarnya di hadapan peserta rapat.
Pernyataan itu menjadi pintu masuk bagi pembahasan yang lebih luas mengenai urgensi mitigasi bencana.
Putri Zulhas mengungkapkan bahwa pihaknya telah membahas potensi bencana hidrometeorologi dalam rapat-rapat terdahulu bersama Menteri Lingkungan Hidup.
Menurutnya, diskusi tersebut kini terasa semakin relevan mengingat dampak kerusakan yang kian meluas.
Ia menekankan bahwa ancaman bencana tidak hanya membutuhkan respons tanggap darurat, tetapi juga perubahan menyeluruh dalam tata kelola lingkungan.
Karena itu, ia kembali menegaskan perlunya sinergi antarinstansi dan perhatian khusus terhadap daerah-daerah yang masuk kategori rawan.
“Dan kami tentu berharap Menteri Lingkungan Hidup dapat menjadikan hal tersebut sebagai momentum untuk mengevaluasi tata kelola lingkungan hidup di wilayah rentan bencana yang ada di Indonesia,” tegasnya.
Kondisi di lapangan memang memprihatinkan. Data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dirilis Rabu (3/12/2025) pagi mencatat bahwa sebanyak 753 orang meninggal dunia akibat banjir bandang dan tanah longsor di Aceh,
Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. “Jumlah meninggal dunia 753 jiwa, hilang 650 jiwa, dan korban luka-luka 2.600 jiwa,” tulis BNPB dalam laporannya.
Selain korban jiwa, kerusakan bangunan pun terus bertambah. Sedikitnya 3.600 rumah rusak berat, 2.100 rumah rusak sedang, dan 3.700 rumah rusak ringan.
Fasilitas publik seperti sekolah, tempat ibadah, dan jembatan juga mengalami kerusakan signifikan: jembatan 39,34 persen, fasilitas ibadah 16,97 persen, fasilitas pendidikan 42,5 persen, dan fasilitas kesehatan 1,18 persen.
Laju pengungsian pun meningkat drastis. Hingga hari yang sama, tercatat 106.200 warga mengungsi di Sumatera Barat, 538.000 di Sumatera Utara, dan 1,5 juta warga di Aceh.
Secara keseluruhan, total warga terdampak mencapai 3,3 juta jiwa—angka yang menggambarkan betapa serius dan luasnya dampak bencana ini.
Dalam suasana rapat yang penuh ketegangan dan kesungguhan, pernyataan Putri Zulhas menjadi pengingat bahwa perhatian pemerintah tidak boleh berhenti pada penanganan darurat saja.
Dibutuhkan langkah lebih jauh untuk memastikan bahwa bencana serupa dapat diminimalisir di masa mendatang melalui pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik, lebih terukur, dan lebih berpihak pada keselamatan masyarakat.
Semoga momentum pertemuan tersebut menjadi pijakan awal untuk menghadirkan kebijakan lingkungan yang lebih tangguh, sekaligus memperkuat ketahanan daerah-daerah rentan di seluruh Indonesia.
