Jejak Kerusakan Batang Toru: KLHK Selidiki Delapan Perusahaan Usai Banjir Mematikan

Kondisi banjir yang menghantam wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, pada Kamis (27/11/2025) (Foto: dok. BPBD Aceh Tenggara)

PARBOABOA, Jakarta - Rangkaian banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 memunculkan skala krisis yang belum pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. 

Hingga Rabu (3/12/2025) pagi, BNPB mencatat 753 korban meninggal dan 650 orang masih hilang, sementara 2.600 warga terluka dan 3,3 juta jiwa tercatat terdampak di tiga provinsi.

Rinciannya, yakni Aceh melaporkan 218 korban meninggal dan 227 hilang, Sumatera Utara 301 meninggal dan 163 hilang, serta Sumatra Barat 234 meninggal dan 260 hilang. 

Operasi penyelamatan yang dikoordinasikan Basarnas telah mengevakuasi 35.857 warga, dengan Sumatra Barat menjadi wilayah dengan jumlah evakuasi terbesar. 

Namun akses darat yang terputus, cuaca ekstrem, dan medan berat membuat pencarian korban berjalan lambat. BNPB juga mengaktifkan hotline 081161645500 untuk membantu warga mencari anggota keluarga yang hilang.

Di tengah tingginya korban dan luasnya kerusakan, perhatian pemerintah kini mengarah pada dugaan kerusakan lingkungan yang memperparah banjir. 

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memastikan akan memanggil delapan perusahaan di Sumatra Utara, terutama di wilayah Batang Toru, untuk diaudit izin dan kepatuhan lingkungannya. 

Wakil Menteri LH Diaz Hendropriyono menegaskan bahwa pemanggilan tersebut mencakup pemeriksaan administratif sekaligus audit lapangan.

“Itu kan nanti akan kita undang lah, akan kita undang dan untuk lihat apakah perizinan lingkungannya sudah lengkap atau belum,” ujarnya di Jakarta, Rabu (3/12/2025). 

Audit akan melihat tutupan lahan, vegetasi, potensi pencemaran, serta faktor alamiah, dan jika ditemukan pelanggaran, Gakkum KLH dipastikan akan menindak. 

“Kalau misalnya memang ada pelanggaran-pelanggaran pastinya Gakum akan menindak,” tegas Diaz.

Sementara pemeriksaan di Aceh menunjukkan skala dugaan pelanggaran yang masih kecil, penelusuran di Sumatra Barat masih berlangsung. 

Namun di Sumatera Utara, temuan awal kelompok masyarakat sipil memperkuat urgensi audit. WALHI Sumut mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai aktor yang membuka tutupan hutan Batang Toru dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi. 

Degradasi Signifikan

Direktur WALHI Sumut, Rianda Purba, menyatakan bahwa citra satelit memperlihatkan kawasan hutan tropis esensial itu mengalami degradasi signifikan.

“Ekosistem itu sudah mengalami kerusakan serius. Dalam sepuluh tahun terakhir saja, kita mencatat lebih dari 2.000 hektare yang hilang,” ujar Riandra dalam sebuah diskusi di kantor Walhi Nasional, Jakarta Selatan, Senin (1/12/2025).

Riandra juga menepis pernyataan Bobby yang menyebut banjir di Sumut semata-mata disebabkan cuaca ekstrem. Ia menegaskan, berdasarkan temuan Walhi, penyebab utamanya justru terletak pada rusaknya kawasan hutan.

“Kami mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai pemicu kerusakan karena aktivitas eksploitatif yang membuka tutupan hutan Batang Toru,” ujarnya.

Daftar perusahaan yang disebut WALHI meliputi PT Agincourt Resources, PT NSHE, PT Toba Pulp Lestari, PT Pahae Julu Micro-Hydro Power, PT SOL Geothermal Indonesia, PT Sago Nauli Plantation, dan PTPN III Batangtoru Estate.

Dalam konteks korban yang terus bertambah dan wilayah-wilayah yang masih terisolasi, audit KLH menjadi salah satu langkah penting untuk melihat apakah bencana ini murni faktor cuaca ekstrem atau juga buah dari degradasi ekologis bertahun-tahun. 

Pemerintah pusat dan tim pencarian gabungan masih bekerja membuka akses dan menyalurkan bantuan, sementara proses pemeriksaan lingkungan akan menentukan arah penegakan hukum pada tahap berikutnya.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS