Walhi: Banjir Sumatera adalah Bencana Ekologis Bukan Sekadar Fenomena Hidrometeorologi

Walhi Sebut Krisis Lingkungan di Sumatera Akibat Kerusakan Ekosistem (Foto: Dok. Antara)

PARBOABOA, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kembali mengingatkan publik bahwa rangkaian banjir dan tanah longsor yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh sepanjang akhir November hingga awal Desember 2025 bukanlah sekadar fenomena hidrometeorologi.

Menurut Walhi , bencana ini merupakan cerminan krisis ekologis yang telah lama diabaikan.

Pernyataan tegas tersebut disampaikan setelah korban jiwa terus bertambah, sementara wilayah terdampak masih dibayangi kerusakan berat.

Hingga 1 Desember 2025, tercatat 442 orang meninggal dunia, dan ribuan warga masih bertahan di titik-titik pengungsian.

Banyak kawasan tetap terendam, sementara ruas jalan serta jembatan yang rusak menghambat proses evakuasi dan penyaluran bantuan yang sangat dibutuhkan.

Kepada media pada Minggu (30/11/2025), Melva Harahap, Manajer Penanganan dan Pencegahan Bencana Walhi, menegaskan bahwa bencana ini berakar dari buruknya tata kelola ruang dan lingkungan di Indonesia.

Kenapa kita sebut bencana ekologis? Karena kita meyakini ada krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan negeri ini. Yang kemudian bisa kita lihat akibatnya,” ujarnya.

Melva menjelaskan bahwa terbentuknya Siklon Tropis Senyar dan Siklon Tropis Koto memang menjadi pemicu langsung terjadinya hujan ekstrem dan banjir besar.

Namun, menurutnya, faktor tersebut seharusnya tidak memunculkan dampak separah saat ini jika ekosistem masih terjaga.

Ia mengingatkan bahwa BMKG telah memberi peringatan sejak Mei 2025, tetapi respons pemerintah dinilai tidak cukup cepat dan tidak menganggap ancaman tersebut sebagai isu serius.

Pencegahannya enggak bisa kita hindarin kalau pemerintah tidak menanggapinya secara serius,” kata Melva, sambil menyinggung pengalaman serupa di NTT saat terjadinya Siklon Seroja.

Lebih jauh, ia memaparkan bahwa kerusakan ekosistem di beberapa wilayah Sumatera telah mencapai tahap kritis.

Alih fungsi hutan menjadi tambang emas, kawasan geothermal, perkebunan sawit, hingga proyek PLTA dilakukan secara masif dan terus menekan daya dukung alam.

“Banyak yang udah dialihfungsikan… dia jadi membebani ekosistem itu,” tegasnya.

Dampaknya kini terasa nyata: daya tampung dan daya dukung lingkungan runtuh, sehingga banjir yang dulu hanya bersifat lokal kini menyebar luas dan memutus akses antarprovinsi.

“Biasanya ya banjir, banjir aja. Tapi kalau ini ekosistemnya udah hilang, dampaknya jadi meluas,” tambahnya.

Masalah yang sama juga disoroti Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara.

Dalam konferensi pers bertajuk Siklon Senyar, Bencana Ekologis dan Masa Depan Kita di Jakarta pada Senin (1/12/2025), Rianda menekankan bahwa pernyataan pihak pemerintah yang menyebut banjir disebabkan faktor hidrometeorologi semata tidak sesuai dengan kondisi lapangan.

Menurutnya, persoalan utama terletak pada kerusakan hutan yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Walhi mencatat bahwa lebih dari 2.000 hektare hutan hilang dalam satu dekade terakhir, mengakibatkan menurunnya kapasitas lingkungan untuk menahan air hujan.

“Pemicu utamanya bukan cuaca ekstrem ini, pemicu utamanya adalah kerusakan hutan dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi non-hutan,” ujarnya.

Kawasan yang mengalami kerusakan paling parah berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Batang Toru) yang meliputi Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga.

Sejak 2016 hingga 2024, area ini telah kehilangan 72.938 hektare tutupan hutan akibat aktivitas 18 perusahaan yang beroperasi di dalamnya.

Perubahan kebijakan sejak 2014, termasuk melalui SK 579/2014, membuka pintu bagi alih fungsi hutan menjadi APL (Areal Penggunaan Lain). Status baru ini membuat lahan hutan diperjualbelikan dan dialihfungsikan tanpa mempertimbangkan risiko ekologis.

Di antara proyek besar yang memberi tekanan signifikan terhadap Batang Toru adalah pembangunan PLTA North Sumatera Hydro Energy (NSHE), perluasan konsesi Tambang Emas Martabe (Agincourt) sejak 2020, ekspansi HTI PT Toba Pulp Lestari (TPL), serta perkebunan sawit oleh PT Sago Nauli Plantation dan PTPN III Batang Toru Estate.

Deretan proyek inilah yang mempercepat hilangnya bentang hutan yang selama ini menjadi penyangga ekologis wajib bagi kawasan Tapanuli.

Rianda turut menepis narasi yang menyalahkan masyarakat adat atau warga lokal sebagai penyebab kerusakan lingkungan.

“Apakah kontribusi masyarakat untuk pengrusakan ada? Tidak ada kalau kita katakan,” ujarnya.

Justru, menurutnya, masyarakat lokal selama ini memegang tradisi menjaga hutan melalui praktik seperti lubuk larangan dan mekanisme adat yang mengatur pengelolaan air serta ruang hidup secara ketat.

Sebagian besar komunitas di wilayah tersebut telah menjaga keseimbangan lingkungan selama ratusan tahun, menjadikan mereka penjaga ekosistem yang sesungguhnya.

Ia menegaskan bahwa jika pemerintah ingin mencegah bencana yang sama terulang, evaluasi menyeluruh terhadap tata ruang, sistem perizinan, dan pengelolaan ekosistem harus dilakukan tanpa kompromi.

Bagi Walhi, banjir besar yang menelan ratusan korban jiwa ini bukan hanya bencana, tetapi sebuah alarm keras yang menuntut perubahan kebijakan segera.

Tanpa langkah besar dan keberanian politik, bencana ekologis akan terus menghantui masa depan Sumatera dan Indonesia.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS