Menteri LH: Delapan Perusahaan Diduga Andil Dalam Banjir Sumut

Delapan Perusahaan Dicap Berkontribusi pada Banjir Sumut oleh Menteri LH (Foto: Dok. Antara)

PARBOABOA, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq kembali menyoroti kerusakan lingkungan yang diduga kuat menjadi salah satu pemicu utama bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra pada akhir November 2025.

Dalam keterangannya kepada wartawan pada Selasa (2/12), ia menyebut terdapat delapan perusahaan—mulai dari perusahaan tanaman industri, tambang emas, hingga perkebunan sawit—yang diduga berkontribusi memperparah kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatra Utara (Sumut).

“Batang Toru ini memang DAS, jadi kotanya Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah ini ada di sisi lembahnya. Kemudian dia curam, sementara di curamnya itu ada aktivitas, saya mencatat ada delapan entitas,” ujar Hanif.

Ia menjelaskan bahwa aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut berada di area sensitif yang seharusnya dijaga ketat karena memiliki fungsi hidrologis penting bagi wilayah di bawahnya.

Temuan itu, menurut Hanif, diperkuat lewat analisis citra satelit. Bahkan, Deputi Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup sudah melayangkan surat pemanggilan kepada delapan perusahaan tersebut pada Senin (8/12).

Mereka diminta hadir untuk menguraikan asal-usul gelondongan kayu yang terseret arus deras ketika banjir terjadi.

“Kami minta mereka menjelaskan semua persoalannya termasuk menghadirkan citra satelit resolusi sangat tinggi pada saat kejadian supaya bisa membuktikan ini kayu itu dari mana asalnya sehingga citra satelit itu harus dibawa ke kita untuk kita rumuskan,” tuturnya.

Hanif menegaskan bahwa harus ada pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan yang menyebabkan bencana besar tersebut.

Ia juga mengekspresikan penyesalan karena tidak mampu mendeteksi sejak awal potensi bahaya yang terus meningkat akibat perubahan iklim.

“Kami sangat menyesal tidak mampu memberitahu hal ini lebih lanjut kepada pemerintahan daerah sehingga menimbulkan korban jiwa,” ujarnya dengan nada penuh duka.

Selain menunggu klarifikasi dari perusahaan-perusahaan tersebut, Hanif menyampaikan bahwa dirinya akan turun langsung ke kawasan Batang Toru pada Kamis (4/12).

Ia ingin melihat secara detail bagaimana kondisi kerusakan di lapangan setelah rentetan bencana hidrometeorologi yang terjadi, bukan hanya di Sumut, tetapi juga di Sumatera Barat dan Aceh.

Menurutnya, DAS Batang Toru yang luasnya mencapai 340 ribu hektare memiliki bentuk lanskap menyerupai huruf V, dengan Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan berada di bagian tengahnya.

Struktur alam ini sebenarnya dapat menjadi penyangga alami bila hutan masih terjaga. Namun kenyataannya, bentang hutan di hulu DAS kini telah beralih fungsi menjadi area budidaya tanaman kering dan basah.

Bahkan, kapasitas hutan di bagian hilir hanya menyisakan 38 persen, sehingga tidak mampu menahan curah hujan ekstrem yang mencapai 300 mm pada 24–25 Oktober 2025.

Situasi diperparah oleh pembukaan lahan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air, hutan tanaman industri, serta perkebunan kelapa sawit.

Aktivitas itu menyebabkan gelondongan kayu berukuran besar terlepas dan hanyut saat hujan deras mengguyur.

Bencana hidrometeorologi yang terjadi akhir tahun itu menjadi salah satu yang paling parah dalam beberapa tahun terakhir.

Data Kementerian Lingkungan Hidup mencatat curah hujan harian di Sumut mencapai 300–400 mm—kategori ekstrem.

Di Sibolga, meski luas DAS relatif kecil, curah hujan lebih dari 300 mm menyebabkan longsor hebat dan menelan banyak korban.

Kondisi Aceh tak jauh berbeda. Curah hujan mencapai 303 mm pada 24–25 Oktober, dan dengan lanskap seluas 3,3 juta hektare, provinsi itu menerima 9,7 miliar kubik air dalam dua hari.

Walau dampak kerusakannya tidak seberat Sumut, jumlah korban tetap besar. Sementara di Sumatera Barat, daerah dengan lanskap lebih pendek dibanding Aceh, curah hujan hampir menembus 400 mm dan menimbulkan korban jiwa dalam jumlah signifikan.

“Kita masih sibuk melakukan langkah mitigasi, sementara di depan mata kita, bencana hidrometeorologi harus kita adaptasi dengan sangat serius,” kata Hanif.

Untuk memulihkan kapasitas hutan, Hanif menjelaskan bahwa Indonesia membutuhkan waktu setidaknya 5–10 tahun.

Karena itu, ia menekankan pentingnya Innovation and Technology Fund (ITF), sebuah mekanisme pendanaan untuk membantu provinsi mengembangkan skema adaptasi iklim dan pembangunan rendah karbon.

Ia menutup pernyataannya dengan ajakan tegas agar semua pihak mengambil langkah cepat dan terukur:

“Hari ini dan seterusnya, sesuai ramalan BMKG, maka curah hujan relatif tinggi akan tetap terus berdatangan. Mari kita segera rumuskan langkah-langkah adaptasi yang tidak mengorbankan lagi orang-orang tak mampu, tak berdaya, di negara kita ini, karena keteledoran kita bersama.”

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS